SOLO, JOGLOSEMARNEWS.COM – Dalam jagat batik tradisional Jawa, motif Parang menempati posisi istimewa. Ia bukan sekadar rangkaian pola bergelombang yang menghias kain, tetapi sebuah simbol kebijaksanaan, perjuangan, dan keteguhan hidup. Batik Parang lahir dari kebesaran budaya keraton, khususnya Kerajaan Mataram, dan dipercaya diciptakan oleh Sultan Agung pada abad ke-17. Konon, motif ini terinspirasi dari bentuk ombak di Pantai Selatan, tempat yang disakralkan dan diyakini sebagai pertemuan kekuasaan raja dengan kekuatan alam.
Motif Parang berasal dari kata “pereng” yang berarti lereng atau kemiringan. Motif ini tersusun dari bentuk lengkung berbentuk huruf “S” yang tersusun diagonal, menciptakan kesan gerak yang tak terputus. Dalam falsafah Jawa, garis-garis diagonal ini menyiratkan tekad dan kontinuitas—bahwa hidup adalah perjuangan yang mesti dilalui dengan ketekunan dan kebijaksanaan.
Dalam skripsi karya mahasiswa UIN Sunan Kalijaga yang berjudul Semiotika Motif Batik Parang Rusak, tahun 2016 dijelaskan bahwa setiap lekukan dalam motif Parang memiliki makna yang dalam, termasuk simbol perlawanan terhadap hawa nafsu, bukan terhadap sesama manusia.
Makna filosofis dari Parang tidak lepas dari konsep “perang” dalam bahasa Jawa. Namun perang yang dimaksud bukan perang secara fisik melawan musuh, melainkan pertempuran melawan kelemahan diri sendiri.
Oleh karena itu, batik Parang kerap digunakan oleh kalangan bangsawan dan raja dalam upacara-upacara penting. Salah satu varian klasiknya, yakni Parang Barong, memiliki ukuran motif yang lebih besar dan sering dikenakan oleh raja sebagai lambang kekuasaan dan kendali diri.
Dalam jurnal Visualisasi Batik Parang Yogyakarta oleh Stevani Precious Vallerie, Ninna Amadea Tanumihardja, dan Michelle (2024), motif Parang dijelaskan sebagai ekspresi visual yang tidak hanya estetik, tapi juga sarat dengan nilai moral dan spiritual.
Dalam tradisi keraton, tidak semua orang bebas mengenakan batik bermotif Parang. Dulu, motif ini memiliki hierarki pemakaiannya. Parang Barong hanya boleh dikenakan oleh raja, sementara Parang Rusak diperuntukkan bagi bangsawan tinggi. Sementara itu, Parang Klitik dan Parang Slobog dipakai oleh kalangan yang lebih luas, namun tetap dalam batasan adat tertentu. Hal ini menunjukkan bahwa batik bukan sekadar sandang, tapi juga sistem nilai yang mengatur hubungan sosial dan spiritual.
Seiring waktu, larangan-larangan tersebut mulai melonggar. Batik Parang kini telah menjadi warisan budaya yang dinikmati lebih luas oleh masyarakat. Seiring berjalannya waktu, motif Parang mengalami perkembangan bentuk dan pemaknaan, namun tetap mempertahankan nilai filosofisnya sebagai simbol keteguhan dan keagungan. (RV Hasan, 2009)
Kini, motif Parang tidak hanya ditemukan dalam busana tradisional, tetapi juga telah merambah ke berbagai medium seni dan desain modern, mulai dari dekorasi interior hingga karya seni kontemporer. Namun demikian, esensi dari motif ini tetap terjaga: sebuah ajakan untuk menjalani hidup dengan konsistensi, keberanian, dan kepekaan terhadap nilai-nilai luhur.
Dengan segala kekayaan makna dan sejarahnya, batik Parang layak disebut sebagai artefak budaya yang hidup. Ia tidak hanya berbicara dalam bentuk dan warna, tetapi juga dalam nilai-nilai yang membentuk karakter bangsa. Maka tak berlebihan jika motif Parang perlu terus dijaga, dirawat, dan dipelajari oleh lintas generasi sebagai warisan luhur budaya Jawa. Suhamdani
Harap bersabar jika Anda menemukan iklan di laman ini. Iklan adalah sumber pendapatan utama kami untuk tetap dapat menyajikan berita berkualitas secara gratis.