Beranda Umum Nasional Kemenhub Rancang Regulasi Transportasi Online, Diklaim Adil untuk Driver, Aplikator dan Konsumen

Kemenhub Rancang Regulasi Transportasi Online, Diklaim Adil untuk Driver, Aplikator dan Konsumen

Ilustrasi driver ojek online | pixabay

JAKARTA, JOGLOSEMARNEWS.COM – Pemerintah melalui Kementerian Perhubungan (Kemenhub) tengah memformulasikan regulasi baru yang akan menjadi pijakan hukum transportasi online di Indonesia. Kebijakan tersebut  ditujukan untuk menjawab persoalan struktural di sektor ojek online yang kini melibatkan lebih dari tujuh  juta mitra pengemudi di seluruh penjuru negeri.

Direktur Jenderal Perhubungan Darat Kemenhub, Aan Suhanan menyatakan,  bahwa penyusunan aturan itu dilakukan secara menyeluruh dan melibatkan berbagai unsur lintas sektor. Tujuannya,  agar kebijakan yang dihasilkan tidak hanya adil bagi pengemudi, tetapi juga mempertimbangkan kepentingan aplikator dan konsumen.

“Sebagai regulator di bidang transportasi, kami perlu menyerap berbagai informasi dan data untuk memutuskan suatu kebijakan transportasi yang berkeadilan dan berkelanjutan,” ujar Aan, Jumat (25/7/2025).

Menurut Aan, ekosistem transportasi online memiliki cakupan yang luas dan kompleks, sehingga koordinasi dengan kementerian dan lembaga lain menjadi penting. Ia menyebut keterlibatan Kementerian Komunikasi dan Digital dalam pengaturan platform aplikasi, serta Kementerian Ketenagakerjaan dalam hal sistem ketenagakerjaan.

Dalam proses penyusunan kebijakan tersebut, Kemenhub turut membuka forum diskusi yang melibatkan kalangan akademisi, pakar transportasi, dan perwakilan perusahaan aplikator. Mereka membahas berbagai isu seperti dampak kenaikan tarif, model bisnis, serta masukan dari pengemudi.

Aan menekankan bahwa pihaknya tidak akan tergesa-gesa dalam merumuskan regulasi ini.
“Proses perumusan aturan ini akan terus dibuka melalui forum-forum diskusi lanjutan agar kebijakan yang dihasilkan benar-benar berpihak pada keadilan dan keberlanjutan,” imbuhnya.

Salah satu aspirasi yang mengemuka dari para pengemudi adalah pentingnya memiliki perjanjian kemitraan yang sah secara hukum dengan aplikator. Tujuannya agar hubungan kerja menjadi lebih setara dan memberikan perlindungan hukum yang memadai.

Baca Juga :  Hari Guru Nasional: Prabowo Klaim Prioritaskan Pendidikan, Tapi Anggaran Pertahanan Tetap Nomor Satu

“Sehingga warga negara dapat mendapatkan pekerjaan dan penghidupan dengan layak,” ujar salah satu mitra pengemudi dalam forum tersebut.

Dari sisi aplikator, mereka menyebut bahwa sistem potongan saat ini sudah berada dalam level yang dianggap seimbang. Potongan itu, kata mereka, digunakan untuk mendanai pengembangan teknologi, operasional harian, program kesejahteraan pengemudi, serta subsidi promosi kepada pelanggan.

Meski demikian, sejumlah kelompok pengemudi dan pengamat transportasi tetap mendorong kehadiran aturan yang lebih tegas, terutama soal perlindungan pendapatan dan keadilan tarif.

Analis Kebijakan Transportasi, Azas Tigor Nainggolan, menilai belum adanya regulasi komprehensif membuat posisi pengemudi rentan.
“Regulasi harus mencakup legalitas sepeda motor sebagai angkutan umum, model bisnis transportasi online, peran para pemangku kepentingan, baik pengemudi, perusahaan angkutan umum, maupun aplikator,” tegasnya.

Sementara itu, lembaga riset Next Policy menilai perlu ada langkah lebih konkret untuk memperkuat posisi tawar pengemudi. Direktur Next Policy, Yusuf Wibisono, mengusulkan pembentukan koperasi pengemudi di kota-kota besar sebagai solusi jangka panjang.

Ia menyebutkan bahwa berdasarkan kajian lembaganya, mayoritas pengemudi ojol bekerja lebih dari 40 jam per minggu, namun sekitar 75 persen dari mereka masih berpenghasilan di bawah Rp 3 juta per bulan. Yusuf menilai sistem kerja saat ini cenderung eksploitatif dan memperburuk ketimpangan sosial akibat tidak adanya jaminan sosial dan perang tarif antarplatform.

Ia menyarankan agar pemerintah membantu pendirian minimal 20 koperasi pengemudi di kota-kota seperti Jakarta dan Surabaya, dengan dukungan modal awal tanpa skema utang. Dengan demikian, koperasi bisa menjadi jalan bagi pengemudi untuk mengelola layanan transportasi sendiri secara kolektif.

Baca Juga :  Kubu Yahya Staquf Tegas Bantah Isu Aliran Dana Mardani Maming sebagai TPPU

Sorotan lain datang dari Serikat Pekerja Angkutan Indonesia (SPAI), yang menilai potongan tarif oleh aplikator sangat memberatkan.
Ketua SPAI, Lily Pujiati, menyebut pengemudi hanya menerima sebagian kecil dari tarif yang dibayarkan konsumen. Ia bahkan menyebut potongan yang dikenakan bisa mencapai 70 persen, sementara semua beban biaya operasional seperti bensin dan pemeliharaan kendaraan ditanggung sendiri oleh pengemudi.

“Biaya operasional pengemudi bisa mencapai Rp 50.000 hingga Rp 100.000 per hari,” kata Lily.

Dengan kompleksitas tantangan yang ada, Kemenhub diharapkan mampu merumuskan regulasi yang tidak hanya berpihak pada keberlangsungan industri, tetapi juga menjamin hak-hak dasar dan kesejahteraan jutaan mitra pengemudi yang menjadi ujung tombak layanan ini.
Kita tunggu saja. (*)  Berbagai sumber

Harap bersabar jika Anda menemukan iklan di laman ini. Iklan adalah sumber pendapatan utama kami untuk tetap dapat menyajikan berita berkualitas secara gratis.