JAKARTA, JOGLOSEMARNEWS.COM – HUT kemerdekaan RI ke-80 tinggal dua minggu lagi, dan proyek penulisan ulang sejarah Indonesia ditargetkan bakal dilaunching bertepatan dengan Ulang Tahun kemerdekaan besok.
Meski demikian, ternyata masih belum sepi dari kritik terhadap proyek penulisan ulang sejarah Indonesia tersebut. Salah satunya datang dari sejarawan senior, Anhar Gonggong.
Guru besar ilmu sejarah Universitas Indonesia itu menganjurkan Menteri Kebudayaan Fadli Zon untuk menunda rencana peluncuran penulisan ulang sejarah yang dijadwalkan pada 17 Agustus 2025.
Menurut Anhar, penulisan sejarah nasional tidak bisa dilakukan secara tergesa-gesa karena membutuhkan riset mendalam, verifikasi data yang ketat, dan pengujian narasi secara menyeluruh agar hasilnya akurat dan bisa dipertanggungjawabkan. Karena itu, ia mengingatkan pemerintah untuk tidak memaksakan peluncuran proyek tersebut pada peringatan kemerdekaan tahun ini demi menjaga kualitas dan kredibilitas sejarah bangsa.
“Saya menganjurkan untuk ditunda dulu. Kenapa? Karena menulis sejarah itu tidak mudah, memerlukan waktu, memerlukan penelitian,” kata Anhar seperti dikutip dalam kanal YouTube miliknya, 20 Juli 2025.
Anhar mencontohkan, meskipun Ketua Tim Proyek Penulisan Ulang Sejarah Susanto Zuhdi menyebut sudah ada banyak referensi berupa buku maupun disertasi, bukan berarti semua bisa langsung diadopsi begitu saja. “Mengutip itu juga perlu pembacaan, perlu mana yang perlu diteliti, dilihat lagi. Kalau kita mau pakai sebagai sumber, tidak dengan sendirinya semua disertasi yang sudah selesai,” ujarnya.
Bahkan, lanjutnya, karya akademis berkualitas tinggi sekalipun tetap memerlukan pengujian ulang sebelum digunakan, apalagi untuk proyek besar yang menargetkan 10 jilid buku dengan melibatkan ratusan penulis dan tenggat hanya sebulan. “Jadi, saya tetap berpendapat, jangan tergesa-gesa menulis sejarah. Kalau saya boleh disarankan, saya mau mengulangi saran saya, agar supaya lebih baik ditunda,” tegasnya.
Pengalaman serupa pernah ia alami pada era Presiden B. J. Habibie, ketika Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Juwono Sudarsono memintanya menulis ulang sejarah Indonesia. Saat itu, pascareformasi, banyak buku sejarah ditarik dari peredaran karena dinilai sarat propaganda Orde Baru. “Saya katakan, paling tidak saya memerlukan waktu antara dua sampai tiga tahun. Karena kan saya harus melakukan penelitian lagi. Saya harus menulis dan sebagainya. Dan itu memerlukan waktu,” kenangnya.
Anhar menekankan, penulisan sejarah adalah keahlian khusus yang tidak otomatis dimiliki semua lulusan sejarah. Ia khawatir bila proyek ini dikerjakan secara terburu-buru, hasilnya justru memicu kontroversi yang merugikan negara. Ia pun menyarankan pemerintah memanfaatkan waktu lima tahun masa jabatan Menteri Fadli Zon, apalagi anggaran yang tersedia mencapai Rp 9 miliar, agar pekerjaan bisa dilakukan secara matang.
Selain soal tenggat, Anhar juga mengkritisi kemungkinan penulisan ulang sejarah yang hanya menonjolkan sisi positif masa lalu, khususnya periode Orde Baru. “Saya kira kalau dia melakukan itu, salah besar. Karena bagaimanapun juga, persoalan Orde Baru yang kemudian diruntuhkan oleh reformasi, apa yang dilakukan selama Orde Baru itu kan banyak sekali hal-hal yang positif dan negatif,” ujarnya. Menurutnya, jika hanya memuat narasi baik-baik saja, maka penulisan ulang sejarah tidak akan memberi manfaat apa-apa.
Ia juga mempertanyakan metode wawancara terhadap tokoh-tokoh yang pernah terlibat langsung dalam peristiwa sejarah, termasuk bagaimana menilai validitas kesaksian tersebut. “Bagaimana dia mau wawancara, lalu bagaimana dia menyeleksi apakah wawancara itu benar atau tidak, kan itu persoalan metode, itu yang harus juga dipikirkan mereka,” kata Anhar.
Sementara itu, Menteri Kebudayaan Fadli Zon membantah tudingan bahwa proyek ini dikerjakan terburu-buru. Ia menegaskan penyusunan 10 jilid buku sejarah nasional melibatkan 113 penulis dari 34 perguruan tinggi, termasuk guru besar dan sejarawan senior. “Bukan orang yang baru belajar menulis atau baru baca Google. Ini ditulis oleh maestro-maestro yang sudah puluhan tahun mendalami bidangnya masing-masing,” tegasnya.
Fadli mengatakan, penulisan ulang sejarah ini mengusung tone positif dan berupaya menghapus bias kolonial agar narasi yang lahir benar-benar Indonesia-sentris. Ia menyebut pembaruan sejarah nasional sudah tertunda selama 26 tahun sejak 1999. “Kita ingin sejarah ini Indonesiacentris. Mengurangi atau menghapus bahkan bias-bias kolonial,” ujarnya.
Dari pihak Istana, Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan Hasan Nasbi meminta publik memberi kesempatan kepada para sejarawan untuk bekerja. Ia menegaskan proses ini bukan menulis ulang dari nol, melainkan melanjutkan pekerjaan yang terhenti sejak akhir 1990-an. “Lihat saja dulu ya pekerjaan yang sedang dilakukan oleh para ahli sejarah dalam menulis sejarah Indonesia,” ujarnya, sembari menambahkan bahwa nantinya publik tetap bisa mengawasi dan memberi masukan sebelum buku-buku tersebut dirilis resmi. [*] Berbagai sumber
Harap bersabar jika Anda menemukan iklan di laman ini. Iklan adalah sumber pendapatan utama kami untuk tetap dapat menyajikan berita berkualitas secara gratis.















