
SOLO, JOGLOSEMARNEWS.COM – Balaikota Surakarta, Jumat, 14 November 2025 sore hari. Curah hujan nan lebat tampaknya sudah tuntas tercurah pada siang harinya, meninggalkan langit di cakrawala yang semburat kemerahan.
Rumput hijau yang terhampar di lapangan depan pendapa Balaikota tak menampakkan genangan air, meskipun sesiang tadi dicurahi ribuan kubik air hujan. Bukti bahwa saluran pembuangan dan resapan air di kawasan Balikota itu tampaknya berfungsi dengan baik.
Di tengah lapangan depan Pendhapi Gede, sejumlah anak-anak berlarian dengan cara bersalto, sungguh amat lincahnya. Mereka mengenakan seragam dengan warna dominan merah dan pelisir hitam di ujung lengan maupun kakinya. Sementara kepalanya mengenakan topeng dengan rumbai-rumbai yang lebat.

Para penonton yang kebanyakan kalangan Gen Z itu tampak terpukau. Mereka ibarat barisan yang mengepung anak-anak maupun remaja yang sedang memamerkan aksinya tersebut. Kilatan blitz dari pada wartawan maupun penonton menghujani tubuh-tubuh mungil mereka.
Penampilan komunitas seni Denata dari Ponorogo itu memang disajikan sebagai pembuka perhelatan akbar International Mask Festival (IMF) tahun 2025 di Balaikota Surakarta yang berlangsung Jumat (14/11/2025) hingga Sabtu (15/11/2025). Dalam ajang tersebut, komunitas Denata berkolaborasi dengan Sanggar Singayuda dari Banyuanyar, Solo.
Keberadaan anak-anak dan remaja pelaku tari dalam perhelatan internasional tersebut memang sejalan dengan tema yang diangkat oleh Panitia, yang mencoba memberikan ruang untuk kawula muda dari kalangan Gen Z.
Mereka, kaum muda Gen Z ini, bukan saja dihadirkan sebagai pelaku atau penari topeng semata, namun mereka sengaja diundang sebagai penikmat seni tradisi. Tentu saja, untuk menghadirkan Gen Z dalam festival tari topeng, butuh trik dan effort yang lebih dari panitia. Itulah maka, sebagaimana diungkapkan oleh Founder IMF, Irawati Kusumorasri, festival topeng perlu dibikin semenarik mungkin bagi kalangan muda.

Tak kurang delegasi dari enam negara dihadirkan. Seperti dari Myanmar, Malaysia, Taiwan, Singapura, Thailand dan Korea Selatan. Negara yang disebut terakhir ini, tak dipungkiri merupakan negara yang paling akrab di benak anak muda Indonesia.
Kehadiran budaya pop Korea—mulai dari K-Pop, K-Drama, hingga gaya hidup dan fesyennya sudah lama menjadi bagian dari keseharian generasi muda. Media sosial semakin menguatkan kedekatan itu, membuat tren make-up, pakaian, hingga gaya hidup ala Korea cepat menyebar dan mudah diikuti.
Begitupun, produk budaya Korea seperti musik, film, makanan, hingga gim digital juga diterima dengan sangat antusias di kalangan Gen Z. Citra “Korea” sendiri kini identik dengan modernitas, kreativitas, dan dinamika anak muda.
Dari kedekatan emosional inilah maka tak mengherankan jika delegasi Korea yang tampil membawakan tarian tradisional negara itu dalam IMF 2025 mendapat sambutan hangat. Mereka menjadi salah satu yang paling menyedot perhatian pengunjung, khususnya kalangan remaja dan milenial, sekalipun para penarinya bukan dari kalangan Gen Z.
“Kami mencoba untuk menarik para penonton muda. Sebab merekalah estafet topeng Nusantara, tentu di bidangnya masing-masing,” ujar Irawati Kusumorasri kepada wartawan di Hotel Ibis, Rabu (12/11/2025).
Ia berharap budaya topeng serta festival yang telah berjalan selama puluhan tahun itu dapat terselenggara semakin baik dari waktu ke waktu. Ia juga menekankan pentingnya menghadirkan ruang yang lebih luas bagi para seniman topeng, sekaligus memberi kesempatan bagi perajin, budayawan, dan para pemerhati topeng untuk terus berkembang bersama.

Untuk lebih menarik minat anak-anak muda, panitia sengaja menghadirkan duo musik folk/akustik yang sangat akrab di kalangan anak muda, yakni Banda Neira. Nama dua personelnya, Ananda Badudu dan Sasha Iguana terbukti masih cukup ampuh untuk memikat anak-anak muda.
Ria Ananda, adalah salah satu penonton yang rela datang jauh-jauh dari Klaten mengendarai sepeda motor ke lokasi festival topeng internasional di Balaikota Solo itu. Jarak sekitar 38 kilometer tak dirasakan, demi memanjakan kerinduan pada sang idola. Saat bincang-bincang dengan JOGLOSEMARNEWS.COM , ia mengaku tidak tahu kalau ada festival topeng di lokasi pementasan Banda Neira.
“Saya tahunya pentas Banda Neira, open gate -nya jam empat sore,” ujarnya.
Siswa sebuah Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) di Klaten itu mengaku tahu informasi tersebut dari aplikasi TikTok. Ia pun datang ke Solo demi sang idola, bersama dengan tiga orang temannya, Dayu Hajar, Ria Santika dan Noviana Nurbaiti. Mereka datang ke Solo dengan menggunakan dua sepeda motor, masing-masing berboncengan.
Ria dan ketiga temannya hanyalah sebagian kecil dari penonton dari kalangan Gen Z. masih banyak lainnya, penonton yang dari kalangan Gen Z ini, yang jumlahnya cukup dominan. Dan uniknya, dari kalangan Gen Z yang jumlahnya mayoritas ini, selintas pandang didominasi kaum perempuan.
Benarkah upaya mendekatkan kaum muda dengan budaya topeng tradisi itu terbilang sukses? Tentu hasilnya tak bisa dilihat secara instan dan terukur dalam waktu sesaat. Hanya saja, dari ajang IMF kemarin memunculkan sebuah optimisme baru. Banda Neira memang menjadi magnet yang menjadi perekat, namun beberapa pementasan tari topeng sebelum Banda Neira tampil, tetap mendapat antusiasme yang luar biasa dari penonton yang memenuhi pendapa Balaikota.
Setidaknya, hal itu sudah menjadi pengobat kecemburuan yang dirasakan dan dipendam lama oleh Irawati Kusumorasri. Sebuah kecemburuan ketika menyaksikan betapa megahnya festival topeng tradisional yang selalu digelar secara periodik di Korea dan selalu dipenuhi penonton dari segala usia.
“Saat saya beberapa kali melawat ke Korea, di kota Andong, selalu digelar hajatan Andong International Mask Dance Festival. Ini membuat saya cemburu, mengapa Indonesia yang kaya akan warisan topeng tradisional tidak mengadakan festival topeng seperti di Korea?” ungkap Irawati.
Solo sebagai destinasi wisata, menurut Irawati yang juga seorang penari itu, memiliki tantangan besar. Karena itulah menurutnya, sasaran penonton yang paling tepat untuk festival topeng tersebut justru kalangan anak-anak dan generasi muda. Sebab merekalah yang diharapkan bisa berpartisipasi untuk meneruskan warisan leluhur tersebut.
Menyemai Bakat Sejak Dini
Upaya mendekatkan generasi muda pada seni tradisi, termasuk seni topeng, tidak hanya dilakukan dengan mendorong mereka hadir sebagai penonton. Lebih dari itu, berbagai komunitas dan pelaku seni juga berupaya melibatkan anak muda sebagai bagian dari proses kreatif, agar mereka tumbuh sebagai pelaku seni yang memahami, merawat, dan meneruskan warisan budaya tersebut.

Hal itulah yang dilakukan oleh Agus Dwiyanto (23), yang mewakili delegasi Among Roso Semarang. Ditemui usai melakukan latihan di Pendapa Balaikota Solo, ia bercerita bahwa dirinya menggeluti tari topeng tersebut sejak masih duduk di bangku Sekolah Dasar (SD) lewat pintu paguyuban.
“Sejak kelas 4, saya sudah masuk paguyuban dan ikut belajar menari,” ujarnya berkisah.
Setelah lebih dari puluhan tahun menekuni dunia tari topeng, Agus mengaku semakin mampu menyatu dengan karakter setiap topeng yang dikenakannya. Ia menyebut menari topeng sebagai sebuah tantangan tersendiri, karena ekspresi tidak bisa mengandalkan wajah penari. Seluruh karakter harus dihidupkan melalui gerak tubuh—terutama dari dinamika topeng itu sendiri.
“Karena itu, gerakan kepala yang menjadi kunci utama. Fokusnya di gerakan topeng, agar muncul karakternya,” ujarnya.
Di Semarang, khususnya di paguyuban tempat Agus ditempa, regenerasi penari topeng sebenarnya berjalan cukup baik. Para remaja yang bergabung umumnya datang dari dua jalur.
Sebagian besar awalnya terlibat karena faktor keluarga. Ketika orang tua aktif di paguyuban desa, anak-anak pun ikut hadir, lalu lama-kelamaan merasa nyaman dan akhirnya terus menekuni tari topeng. Tradisi yang diwariskan di rumah itu kemudian menjadi pintu pertama bagi mereka mengenal seni topeng.
Namun, tidak sedikit pula yang bergabung karena dorongan minat pribadi. Mereka sering menonton pertunjukan bersama teman-teman, terbiasa melihat panggung dan suasananya, hingga suatu hari muncul keinginan dari dalam diri untuk ikut menari.
“Jadi mereka masuk tanpa disuruh orang tuanya. Mereka masuk dan belajar karena memang tertarik pada keindahan serta tantangan tari topeng itu sendiri,” ujarnya.
Agus dan para pemuda di paguyubannya tidak hanya akrab dengan topeng-topeng kontemporer, tetapi juga sangat dekat dengan topeng-topeng tradisional. Wajar saja, sebab di paguyuban tempat mereka berlatih tersedia sejumlah topeng klasik yang masing-masing memiliki nama dan karakter tersendiri. Di antaranya ada topeng Sontoloyo, Kebo Giro, topeng Jangkrik Genggong, dan beberapa jenis lainnya. Keberagaman topeng inilah yang membuat mereka semakin memahami kekayaan tradisi yang diwariskan dari generasi ke generasi.
Bukan hanya di Semarang, penyemaian dini juga terjadi di Kota Solo dan Ponorogo, Jawa Timur. Di Banyuanyar, Solo ada sanggar tari reog bernama Sanggar Singayuda, di bawah pimpinan Agung Setyono. Di sanggar ini, penyemaian bibit-bibit penari tradisional sudah dilakukan sejak kecil, sejak anak masih kelas 2 SD.

Namanya memang terkesan “sangar”, Singayuda. Kata singa merujuk pada raja hutan yang melambangkan keberanian dan kewibawaan, sementara yuda berarti peperangan atau pertarungan.
Kedua unsur itu berpadu membentuk nama dengan daya gugah yang kuat, menghadirkan beragam pemaknaan, seperti: Singa Perang, Pejuang sekuat singa, Pertarungan seekor singa, hingga Sang pemberani yang berperang. Semua arti itu melekat dan memberi karakter pada nama Singayuda sebagai simbol kekuatan dan keteguhan dalam menghadapi tantangan.
Seolah berkebalikan dengan namanya yang terkesan sangar itu, sanggar Singayuda justru mengutamakan sikap kerendahan hati, kejujuran dan sikap tenggang rasa. Sikap itu ditanamkan sejak anak pertama kali masuk sanggar tersebut.
“Sejak awal masuk, kita berikan ke anak-anak tata cara berbicara yang baik. Anggota sanggar tidak boleh bicara kotor, itu kuncinya,” kata Agung saat bincang-bincang dengan JOGLOSEMARNEWS.COM di sela-sela pementasan.
Menurut Agung, pihak sanggar tidak hanya mengajarkan olah keterampilan menari saja, namun lebih dari itu, guru menari juga mencoba mengenal lebih dalam pribadi masing-masing anak didik. Termasuk bagaimana pergaulan anak-anak tersebut di luar.
Larangan kedua yang tidak boleh dilanggar di sanggar Singayuda, adalah tidak boleh terlibat dalam kasus Miras. Dalam soal yang satu ini, pihak sanggar bersikap tegas, jika sampai ketahuan anak didik mengonsumsi Miras, dia akan disuruh memilih, melanjutkan kebiasaan Miras dengan konsekuensi keluar dari sanggar, atau tetap belajar di sanggar tapi menghentikan kebiasaan buruk tersebut.
“Belajar tari Reog itu sejatinya belajar kepribadian. Tarian ini bersumber pada sang pencipta,” beber Agung.
Sekalipun demikian, menurut Agung, reog yang diajarkan di Sanggar Singayuda sama sekali tidak memuat unsur mistis. Fokus pembelajarannya justru pada penguasaan teknik. Ia mencontohkan, anak-anak yang berlatih dengan rajin di sanggar dengan teknik yang benar, pasti mampu memainkan topeng reog seberat delapan kilogram tanpa merasa keberatan.
“Itu bukan karena mistis, itu murni karena penguasaan teknik. Kekuatan fisik memang perlu, tapi yang lebih utama, teknik harus benar dan rajin berlatih, itu kuncinya,” beber Agung.
Tak jauh berbeda dengan Sanggar Singayuda, Sanggar Denata di bawah asuhan Ria Kusuma Wardani sejak awal juga membidik anak-anak untuk dilatih menari, memainkan reog.

“Komunitas kami memang fokus ke anak-anak. Kami berupaya, bagaimana agar generasi muda itu suka dan bangga dengan kebudayaannya sendiri,” ujar Pimpinan Sanggar Denata, Ria Kusuma Wardana dalam perbincangannya dengan Joglosemarnews beberapa saat sebelum pentas.
Bagi Ria Kusuma, perkembangan dunia digital boleh saja cepat berpacu. Namun teknologi bukanlah menjadi ancaman bagi tradisi Reog Ponorogo. Munculnya media-media sosial semacam IG, Instagram, Facebook dan Youtube justru menjadi celah masuk bagi Kesenian Denata ini untuk menasional dan go internasional.
Ia menjelaskan, sebelum tampil dalam ajang IMF di Balaikota Surakarta ini, mereka baru saja pulang dari pementasan di Thailand. Dan sebelum mentas di Thailand, anak-anak asuhnya yang rerata masih bocah itu juga sempat tampil memenuhi undangan dari Pemerintah Malaysia.
Setelah itu, mereka juga mendapatkan undangan untuk beraksi di Paris, Prancis. Hanya saja, mereka tidak dapat memenuhi undangan tersebut karena kesulitan ongkos. Tim penari memang mendapatkan biaya selama di Paris, namun bagi para pendamping, harus menanggung biaya sendiri.
“Akhirnya kami tak sanggup. Kalau untuk kawasan Asia Tenggara, kami masih mampulah, seperti Malaysia dan Tahailand, dan beberapa negara lainnya,” ungkap Ria Kusuma.
Ria menjelaskan, secara umum anak-anak di Ponorogo banyak yang memiliki minat untuk menggeluti seni tari. Mula-mula minat anak-anak pada umumnya adalah di tari kreasi, namun setelah melalui pengamatan, banyak juga yang tertarik dan berbakat untuk menari reog.

Ria Kusuma melihat adanya rasa bangga di kalangan anak-anak Ponorogo ketika mereka berkesempatan tampil menari hingga ke luar kota, atau bahkan ke luar negeri. Anak-anak yang pernah tampil di mancanegara biasanya menjadi buah bibir di tengah masyarakat. Terlebih lagi, pihak sekolah juga memberikan apresiasi kepada siswa yang berprestasi di bidang tari tersebut, sehingga semakin memotivasi mereka untuk terus berkarya.
Ria menjelaskan bahwa bagi anak-anak Ponorogo, reog bukanlah sesuatu yang asing. Sejak kecil mereka sudah akrab dengan kesenian itu, terlebih karena topeng Dadak Merak hadir dalam dua ukuran: versi besar yang dimainkan para penari dewasa, dan versi kecil yang memang dibuat agar bisa dikenakan oleh anak-anak. Dengan begitu, kedekatan mereka dengan reog tumbuh secara alami dari waktu ke waktu.
IMF Menjadi Jembatan
Di zaman sekarang, topeng-topeng tradisi di Indonesia memang demikian beragam. Ada sebagian di antaranya yang masih terkait dengan ritus-ritus sosial serta dipercaya memiliki daya magis tersendiri, seperti di Bali, Kalimantan, Batak dan beberapa daerah di Jawa lainnya. Namun di sisi lain, ada juga topeng tradisi yang bernilai profan yang kemudian dikemas secara entertains.
“Misalnya topeng Kelana di Cirebon, atau di khasanah seni tari Sunda. Di Bali Topeng Barong, Rangda, dan topeng Ramayana, yang menjadi topeng-topeng tradisi unggulan dalam khasanah seni-B7data Bali,” jelas dosen Senior ISI Yogyakarta, Dr. Sumaryono, MA.
Ia menjelaskan, seni topeng adalah “seni penyamaran” yang menyembunyikan wajah asli penarinya. Aspek itulah yang menuntut para penonton muda untuk mengimajinasi dan menafsir ulang wajah-wajah topeng terkait dengan peran dan fungsinya dalam suatu penampilan tari topeng.
“Bagi anak-anak muda yang serba berpikir praktis dan menghibur, maka mengimajinasikan dan menafsir suatu pertunjukan topeng tidaklah mudah,” ujar dosen yang juga penerima Anugerah Kebudayaan DIY 2025 tersebut.
Sementara pada sisi yang lain, sangat jarang para koreografer memilih seni topeng sebagai sumber eksplorasi kreatifnya untuk menjadikan tari topeng sebagai suatu pertunjukan yang aktual, tampak modern, dan bernafas kekinian.
Karena itu, menurut Maryono, sapaan akrabnya, frekuensi pertunjukan seni topeng perlu diperbanyak, baik melalui gelaran festival maupun berbagai seremoni tertentu. Selain itu, pelatihan dan workshop juga penting untuk digencarkan, disertai dengan publikasi yang lebih luas mengenai seni topeng sebagai salah satu cara untuk mendekatkan kembali tradisi ini kepada masyarakat, khususnya generasi muda.
“Makanya apa yang terjadi pada IMF kemarin adalah salah satu upaya strategis untuk menjembatani para penonton muda untuk mengenal seni topeng,” lanjut Maryono.
Pandangan tersebut diperkuat oleh dosen senior ISI Surakarta, Basnendar Herry Prilosadoso, S.Sn., M.Ds. Ia menjelaskan, sebuah tradisi apabila ingin berkembang, seyogyanya memang harus akrab dan sejalan dengan perkembangan zaman.
Begitu pula dengan gelaran IMF yang berlangsung pekan lalu. Melalui kolaborasi dengan para anak muda, kegiatan tersebut diharapkan dapat semakin mengenalkan seni topeng kepada masyarakat luas, terutama generasi muda, sebagai pewaris dan penerus seni tradisi di masa mendatang.
Edukasi tentang seni topeng, demikian Basnendar, dapat dilakukan melalui berbagai cara agar lebih diminati anak muda, baik lewat kegiatan yang bersifat rekreatif dan menghibur, maupun melalui program formal seperti workshop pembuatan topeng, pelatihan menari, hingga kesempatan bagi mereka untuk memperagakannya langsung. Ragam kegiatan yang dekat dengan dunia dan minat generasi muda akan membuat seni topeng terasa lebih relevan dan menarik.
Selain itu, jelas Basnendar, pemanfaatan berbagai media juga menjadi strategi penting. Media sosial, internet, dan platform digital lainnya dapat menjadi alternatif efektif untuk memperluas jangkauan dan memperkenalkan seni topeng kepada kalangan muda secara lebih kreatif dan mudah diakses.
Lantas, bagaimana pemerintah, pelaku seni dan sekolah agar seni topeng tetap hidup dan dicintai generasi selanjutnya? Basnendar mengatakan, pengembangan seni topeng perlu tetap dilakukan baik dari aspek format pertunjukkan, modifikasi topeng itu sendiri, dan edukasi kepada siswa dan generasi muda yang disesuaikan dengan segmentasinya.
“Memang perlu keterlibatan banyak pihak untuk selalu melestarikan dan mengembangkan di masa depan,” tutupnya. [Suhamdani]
Harap bersabar jika Anda menemukan iklan di laman ini. Iklan adalah sumber pendapatan utama kami untuk tetap dapat menyajikan berita berkualitas secara gratis.














