Beranda Umum Nasional Road to Munas X LDII 2026: Sarasehan Kebangsaan Bicara Pancasila Islam Wasathiyah...

Road to Munas X LDII 2026: Sarasehan Kebangsaan Bicara Pancasila Islam Wasathiyah hingga Tantangan Anak Muda

Sarasehan
Sarasehan menuju Munas LDII. Dok. Panitia

JAKARTA, JOGLOSEMARNEWS.COM – Menjelang pelaksanaan Musyawarah Nasional (Munas) X LDII tahun 2026, DPP Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII) mulai memanaskan mesin. Salah satunya lewat Sarasehan Kebangsaan bertema “Nasionalisme Berkeadaban: Merawat Pancasila, Meneguhkan Islam Wasathiyah, Membangun Indonesia Berkeadilan” yang digelar Selasa (16/12/2025).

Kegiatan ini bukan agenda seremonial biasa. Sarasehan menjadi bagian penting dari rangkaian Road to Munas X LDII 2026, dengan melibatkan tokoh-tokoh nasional lintas sektor dan disiarkan secara luas melalui lebih dari 200 studio mini LDII di seluruh Indonesia. Artinya, gagasan yang dibahas tidak berhenti di ruang diskusi Jakarta, tetapi langsung menjangkau akar rumput.

Ketua Umum DPP LDII, KH Chriswanto Santoso, menegaskan sarasehan ini dirancang sebagai ruang refleksi sekaligus perumusan arah organisasi. Hasil diskusi akan menjadi bahan strategis dalam penyusunan program kerja LDII pada Munas X mendatang.

Menurut KH Chriswanto, Pancasila tidak boleh berhenti sebagai teks normatif, melainkan harus hidup dalam sikap, perilaku, dan relasi sosial masyarakat. Ia menekankan pentingnya koridor penerapan Pancasila yang relevan dengan kondisi zaman, dengan Persatuan Indonesia sebagai bingkai utama.

“Dalam bingkai NKRI, kita bertindak bukan atas dasar kesamaan, tetapi atas dasar perbedaan yang dikelola. Apa pun program dan kegiatannya, harus tetap berada dalam satu koridor, yaitu persatuan,” tegasnya.

Menteri Kebudayaan: Pancasila Adalah Panduan Moral Bangsa

Sarasehan ini menghadirkan Menteri Kebudayaan RI, Fadli Zon, sebagai pembicara kunci. Ia menyebut forum yang digelar LDII ini sebagai momentum strategis untuk memperkuat kolaborasi antara pemerintah, ulama, dan masyarakat sipil dalam membangun karakter bangsa.

Menurut Fadli Zon, peran umat Islam di Indonesia sangat menentukan arah kemajuan kebudayaan nasional. Kebudayaan tidak hanya berbicara soal seni dan tradisi, tetapi juga nilai hidup, akhlak, dan adab yang membentuk peradaban.

“Ketika umat Islam mampu menjadi teladan dalam akhlak dan adab, di situlah kontribusi nyata dalam membangun kebudayaan yang mencerahkan,” ujarnya.

Baca Juga :  Bencana Sumatera, Presiden Prabowo Tolak Bantuan Asing dan Pastikan Situasi Terkendali

Ia mengingatkan bahwa keberagaman merupakan realitas yang tak terpisahkan dari Indonesia. Karena itu, Bhinneka Tunggal Ika harus menjadi pedoman bersama dalam mengelola perbedaan.

Di tengah tantangan global seperti perpecahan sosial, ketimpangan ekonomi, hingga krisis iklim, Fadli Zon menilai bangsa Indonesia perlu kembali meneguhkan jati dirinya. Pancasila harus diterapkan secara utuh, bukan sekadar simbol atau konsensus politik, melainkan sebagai panduan moral dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Ketua Panitia Sarasehan Kebangsaan yang juga Ketua DPP LDII, Singgih Tri Sulistiyono, menyoroti pentingnya Pancasila sebagai etika publik. Ia menilai bangsa Indonesia hanya bisa dirawat dengan sikap saling menghormati, toleransi, dan semangat gotong royong.

Menurut Singgih, derasnya arus globalisasi, banjir informasi digital, serta menguatnya politik identitas telah memicu polarisasi sosial. Dalam situasi tersebut, Pancasila harus kembali dihadirkan sebagai titik temu kebangsaan, bukan alat pembeda.

“Perbedaan itu bukan untuk saling meniadakan, tetapi untuk saling menguatkan dalam bingkai Bhinneka Tunggal Ika,” ujarnya.

Guru Besar Sejarah Universitas Diponegoro itu juga mengulas dinamika perjalanan Pancasila dalam sejarah Indonesia. Dari masa pascakemerdekaan, demokrasi liberal, demokrasi terpimpin, hingga Orde Baru, Pancasila mengalami berbagai pendekatan dalam implementasinya.

Pasca-Reformasi, menurut Singgih, tantangannya justru berbeda. Kebebasan yang luas sering kali tidak diiringi dengan internalisasi nilai Pancasila. Karena itu, pendekatan bottom-up melalui komunitas dinilai lebih relevan untuk kondisi saat ini.

“Kalau komunitas mampu mengamalkan Pancasila secara konkret, para pemangku kepentingan akan belajar dari sana,” jelasnya.

Dalam sesi diskusi, cendekiawan Yudi Latif menegaskan bahwa keunikan Indonesia terletak pada kemampuannya memadukan mayoritas umat Islam dengan sistem negara yang tidak berbasis agama tertentu. Pancasila, menurutnya, bersinergi dengan nilai-nilai agama dan menjadi fondasi sosial serta moral dalam mengelola keberagaman.

Baca Juga :  Pembangunan IKN Hampir Rampung, Wapres Gibran Bakal Ngantor di IKN Mulai 2026

Namun, Yudi Latif juga mengkritisi realitas yang ada. Ia menilai Indonesia belum optimal dalam memanfaatkan potensi sumber daya alam, SDM, dan teknologi. Kurangnya inovasi, jiwa kewirausahaan, serta keterhubungan antara ilmu dan kebutuhan masyarakat menjadi persoalan serius.

Ia juga menyoroti praktik hilirisasi yang secara konsep benar, tetapi dalam pelaksanaannya justru minim dampak bagi kesejahteraan rakyat karena lebih banyak dikuasai pihak asing.

Agar Indonesia mampu tampil sebagai kekuatan global, Yudi Latif mendorong pemanfaatan SDA dan SDM secara adil dan berkelanjutan, serta penanaman nilai Pancasila yang relevan dengan karakter generasi muda melalui literasi digital, pendidikan karakter, dan praktik nyata.

“Jika Pancasila diterapkan secara benar, itu adalah padanan yang paling pas untuk mengelola potensi besar dan keragaman manusia Indonesia,” pungkasnya.

Sarasehan Kebangsaan ini turut menghadirkan sejumlah tokoh nasional lainnya, di antaranya KH Ahmad Fahrur Rozi dari PBNU, Faozan Amar dan Marjuki Al Jawiy dari PP Muhammadiyah, perwakilan BPIP, serta Lemhannas. Diskusi lintas perspektif ini menegaskan posisi Pancasila sebagai simpul kebangsaan yang terus relevan di tengah perubahan zaman. Aris Arianto

Harap bersabar jika Anda menemukan iklan di laman ini. Iklan adalah sumber pendapatan utama kami untuk tetap dapat menyajikan berita berkualitas secara gratis.