Beranda Panggung Sastra Mata

Mata

Cerpen Ruly R

            Sorot mataku tajam ke arahnya. Kupikir aku yang lebih dulu menatapnya. Namun setelah mata itu jauh kuselami baru kusadari mata itu yang lebih dulu menatapku. Dengan kaki yang tegak, dengan sekujur tubuh yang tanpa sehelai benang pun dia terus menatapku. Seakan tak bisa lepas mata itu dariku. Untuk alasan apa aku tak tahu. Aku merasa kesal ketika dia terus melakukan hal itu.

Kulihat rambut panjangnya yang warna hitam tak dikucir. Bau amis darah menusuk hidungku ketika angin berhembus lembut menerobos masuk lewat celah dinding. Dia terus menjatuhkan tajam matanya kepadaku, seakan sedang melucuti segala yang terpendam di dalam hatiku. Aku sejenak memalingkan wajahku, menghindar dari tatapannya. Tapi pikiranku terus saja bertaut dengan indra penglihatannya. Matanya memanggilku dan itu tak bisa kuhindari.

***

Dia duduk. Mengambil kretek dan menghisapnya dalam-dalam. Asap mengepul memenuhi ruang, tak lama hilang ditiupkan angin. Setengah tubuh miliknya, terutama separuh bagian atas  kulihat. Buah dada yang ranum dan bibir merah berlapis gincu miliknya seakan memanggilku.

Dulu, aku mengenalnya sebagai seorang perempuan yang masa remajanya dihabiskan untuk mengajari ngaji anak-anak di masjid dekat rumahnya. Bulan merambat ke bulan lain, tahun pun berganti, dia tumbuh menjadi seorang perempuan yang dewasa secara pikiran, ucapan dan perbuatan. Aku tak heran akan hal itu, karena dia yang tinggal hanya dengan ibunya sejak kecil selalu diberi pendidikan akhlak yang tak kurang. Tapi kehidupannya berubah sejak dia mengenal seorang lelaki yang pulang dari tanah rantau. Lelaki itu bukan seorang yang dikenalnya baru saja, lelaki itu adalah temannya semasa duduk di sekolah atas. Tapi setelah lulus dari sekolah atas lelaki itu berangkat merantau. Sama seperti pada umumnya pemuda yang ada di desamu.

Lelaki itulah yang sedikit demi sedikit memengaruhimu untuk mau merantau juga. Dengan alasan seperti pada umumnya penduduk desamu-ekonomi, kau terpaksa meninggalkan desa. Janji si lelaki berentet dan cukup kuat kau rasakan bagai besi sembrani yang menempel pada sebuah tiang besi.

Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Janji itu tak ditepati si lelaki. Harapanmu hancur. Kau justru dijebloskan pada lubang hitam yang berbaur dengan malam.

Rasa pahit yang lebih pahit dari jamu brotowali, yang diberikan ibumu saat kau masih kecil memenuhi hatimu. Tubuh dan harga dirimu berontak. Tapi tetap saja semua itu akhirnya harus terjual. Coba melawan pun tak bisa apalagi kabur dari tempat itu. Yang kau tahu dan itu tergambar jelas dalam pikirmu hanyalah lubang neraka yang semakin menganga, yang dengan senang hati siap menikmati tubuhmu seperti para tamu yang masuk dalam tempatmu.

***

Dia terus menatapku lekat. Bahkan bisa dikatakan sangat lekat. Aku tak tahu apa yang ingin dilakukannya padaku. Aku coba menghindar dari tatapan itu tapi tak bisa. Aku tak kuasa lepas dari itu semua. Mata itu terus memanggilku.

Sebuah lagu mengalun dari luar ruangan menerobos masuk ke gendang telinganya. Aku tahu judul lagu itu, Blue Moon. Namun aku tak tahu siapa penyanyi asli lagu itu.

Blue moon/ you saw me standing alone/ Without a dream in my heart/ Without a love of my own [1]

Air matanya tiba-tiba berderai. Lagu itu mengingatkannya pada masa lalunya. Jelas dalam benaknya lagu itu hampir selalu didengar ibunya. Meski dia tak tahu untuk alasan apa ibunya kerap mendengarkan lagu itu. Pernah suatu kali dia coba menembus rasa penasarannya terhadap hal itu. Menanyakan langsung pada ibunya, kenapa ibunya mendengarkan lagu itu hampir setiap malam. Saat itu ibunya menjawab, “Kelak kau akan tahu sendiri arti lagu ini.”

Untuk sekarang dia tahu akan arti lagu itu. Di malam yang menyisa pucatnya bulan dia merasa sepi menggiris batinnya. Mungkin itu arti lagu Blue Moon–kesepian.

***

Kulihat, air dari matanya deras mengalir disertai sengguknya. Seakan masa lalu dan bayang ibunya yang bagai arwah gentayangan terus mengejarnya. Sesal hadir dalam hatinya. Tak mau lepas seperti mataku yang juga tak jauh beda-basah ketika melihat dua mata birunya.

Biru dari matanya membawa kisah kelabu. Bukan seperti arti warna biru pada umumnya yang dianggap sebagai kecerahan dan gairah. Dia tak tahu pasti kenapa biru dianggap seperti itu. Apa mungkin karena biru diibaratkan seperti laut yang kemudian memantul pada hamparan langit, lalu berbaur dengan putih awan. Langit selalu berarti kecerahan dan tanda riang bagi sebagian besar orang. Tapi perempuan itu tak pernah tahu akan hal itu sejak dirinya berada di tempatnya sekarang. Yang dia tahu hanya langit yang gelap bercampur dengan nikmat sesaat. Langit hanya penanda waktunya bekerja. Langit bukan untuk mengerti bahwa hidupnya benar-benar hidup.

Lagu Blue Moon yang lembut tak mau beralih ke lagu lain. Sorot mata perempuan itu terus tajam dan menusuk mataku. Dari sorot itu pula, bayang akan ibu terus menggiris di dalam ingatannya. Bayang itu menjalar pada hati dan membuahkan tekadnya untuk pulang ke kampung halaman barang sekali menengok makam ibu. Tapi dia berpikir bagaimana cara lepas dari jerat hitam yang selama ini membelenggunya. Bak sudah menjadi ketetapan untuknya terus berkutat dalam lubang hitam. Toh, jika dia bisa lari dari tempat ini bisakah dia diterima oleh orang lain. Menutupi bangkai serapat mungkin lambat laun baunya akan menyengat hidung juga, seperti bau alkohol yang menguar di ruangan ini. Jika dia memilih untuk kembali ke kampung halamannya, apakah di sana masih ada rumah untuknya. Memang secara fisik bangunan peninggalan ayah dan ibunya masih ada. Tapi bukankah rumah adalah tempat di mana diri sendiri merasa dirindukan. Mungkin ada satu yang merindukannya, yaitu makam ibu. Namun rasa menyesal dan malu jelas akan hinggap dalam dirinya ketika dia bersimpuh di tepi kubur ibu. Mungkin juga bukan hanya dia yang malu namun ibunya juga, akankah ada orangtua yang mau menerima anaknya yang bekerja dengan menjajakan tubuh dan menuruti nafsu sesaat para lelaki yang merasa tak terpuaskan.

Air matanya semakin berlinang tapi sengguknya sudah tak terdengar. Dia kembali menatapku setelah aku terpaku dalam tunduk. Matanya membawa binar. Mungkin saja ibunya akan membuka maaf untuknya. Dia berpikir, seburuk apapun yang dilakukan seorang anak saat ini, tidak akan ada ibu yang menutup pintu hati untuk darah dagingnya sendiri. Satu tekad yang terlihat dari mata birunya hanya ingin bertemu ibu.

***

Di telingaku Blue Moon masih saja mengalun. Namun bunyi lagu itu terdengar sayup dan kurang jelas. Kulepaskan pisau yang sedari tadi menancap di perutku. Semua perlahan menghitam dan gelap. Perlahan kulepas pandanganku dari cermin yang sedari tadi aku tatap.

 

Ruly R

Tergabung dan aktif di Komunitas Kamar Kata Karanganyar (K4) dan Literasi Kemuning. Bisa dihubungi lewat riantiarnoruly@gmail.com

 

[1] Nukilan lirik lagu Blue Moon