SRAGEN- Pimpinan DPRD dan Komisi I menemukan indikasi pelanggaran pidana dari keberadaan pabrik garmen PT DJP di Pilangsari, Ngrampal, Sragen melanggar sejumlah peraturan dan UU. Mereka juga menemukan indikasi ada kesengajaan untuk menyiasati perizinan yang bisa berimplikasi pada ranah pidana.
Hal itu terungkap ketika digelar inspeksi mendadak (Sidak) ke lokasi pabrik PT DJP Rabu (9/1/2019) pagi. Sidak dipimpin Wakil Ketua DPRD Bambang Widjo Purwanto, Ketua Komisi I Suroto dan jajaran Komisi I, Inggus Subaryoto, Muslim, Aris Surawan, dan Sugimin.
Sidak dilakukan untuk mengecek aduan dan kabar perihal keberadaan pabrik DJP yang melanggar Tata Ruang dan tak mengantongi Izin Amdal.
Tim DPRD ditemui langsung oleh Direktur PT DJP, Alan Darma Saputra Koeshendro. Bambang Widjo mengawali dengan menanyakan perizinan pabrik garmen itu.
Kemudian Direktur pabrik, Alan menjawab bahwa awalnya usahanya start dari kecil. Ia menyampaikan jika pengurusan IMB menggunakan bahasa rumah usaha.
Mendengar jawaban itu, Bambang kemudian menanyakan apakah kondisi usaha di PT DJP Pilangsari saat ini yang punya karyawan ratusan masuk kategori rumah usaha atau sebuah pabrik? Mendapat pertanyaan itu, Alan akhirnya menjawab bahwa usahanya di Pilangsari itu pabrik. Ia juga menyampaikan bahwa pengurusan izin melalui pihak ketiga.
Di hadapan para DPRD, pemilik pabrik itu juga menjawab tidak paham ketika DPRD menyampaikan bahwa sebuah pabrik harus mematuhi aturan IMB pabrik dan zonasi yang diatur dalam Perda RT/RW. Alan kemudian menyampaikan pabrik mulai start tahun 2017.
Saat dicecar bahwa dalam Perda RT/RW Sragen 2011, zona yang ditempati di Pilangsari itu adalah zona perdagangan dan jasa usaha yang tak boleh untuk industri, Alan menjawab bahwa iya memang ada kesalahan soal izin itu.
Seusai sidak, Bambang menyampaikan hasil sidak menyimpulkan bahwa pabrik memang melanggar IMB dan diakui oleh direkturnya. Tak hanya itu, ia juga memastikan ada sebuah pelanggaran Perda RT/RW, UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) dan UU Penataan Ruang.
Menurutnya, pelanggaran izin lingkungan, Amdal dan Tata Ruang itu sudah berimplikasi pidana. Sehingga pihaknya menyampaikan ketika ada ranah pelanggaran pidana tentu pihak penegak hukum nantinya yang akan menindaklanjuti.
“Karena persoalannya ada ketidaksesuaian izin dengan Perda dan UU, maka nanti pejabat yang menerbitkan ijin akan kita panggil. Bagaimana itu bisa terjadi. Karena izinnya dulu rumah usaha tapi faktanya yang ada ini pabrik. Lalu dari zonasinya sesuai Tata Ruang, di situ zona perdagangan usaha dan tidak boleh untuk pabrik atau industri. Makanya karena melanggar produk hukum, pastilah aparat penegak hukum yang akan berjalan,” terang Bambang.
Ia juga meyakini merunut kronologis pabrik itu dan izin awalnya rumah usaha, maka kuat dugaab ada unsur kesengajaan dari pemilik pabrik untuk menyiasati pelanggaran dengan merubah bentuk dari usaha ke pabrik.
Bambang pun meyakini pelanggaran izin itu dimungkinkan bisa terjadi karena ada pihak yang memback-up.
“Makanya siapapun yang terlibat dalam perizinan yang melanggar UU dan Perda itu, agar bisa dituntaskan oleh penegak hukum. Karena jelas UU PPLH dan Perda RTRW maupun UU Penataan Ruang, siapa yang terlibat perizinan melanggar zona dan usaha tanpa izin lingkungan, itu sudah ada sanksi pidananya yang cukup berat. Apalagi kalau pelakunya korporasi, akan lebih berat. Tanpa rekomendasi DPRD pun, pihak penegak hukum mestinya sudah akan berjalan,” tandasnya.
Ia menegaskan DPRD melakukan sidak dan memberi atensi lebih pada kasus itu, agar menjadi pembelajaran bersama untuk tidak main-main dengan tata ruang maupun lingkungan.
Di sisi lain, diam-diam Polres Sragen sudah menelisik dan menelusuri indikasi pelanggaran perizinan di pabrik itu.
“Iya, kami lakukan pendalaman,” ujar Kapolres Sragen AKBP Yimmy Kurniawan maupun Kasat Reskrim AKP Harna. Wardoyo
Ketentuan Perundangan dan Konsekuensi Hukum Terhadap Pelanggaran Izin Lingkungan dan Tata Ruang:
*) UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup No 32/2009:
– Pasal 36 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (“UU No. 32/2009”) dinyatakan bahwa setiap usaha dan/atau kegiatan yang wajib memiliki Amdal wajib memiliki izin lingkungan.
-Selanjutnya ditentukan bahwa Menteri, gubernur, atau bupati/walikota wajib menolak setiap permohonan Izin lingkungan apabila permohonan izin tidak dilengkapi dengan Amdal (pasal 37 ayat (2) UU No. 32/2009).
-Tanpa adanya izin lingkungan terancam dengan pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 3 tahun dan denda paling sedikit Rp1.000.000.000 dan paling banyak Rp 3.000.000.000 (pasal 108 UU No. 32/2009).
*) UU No 26/2007 tentang Penataan Ruang.
Pasal 69
(1) Setiap orang yang tidak menaati rencana tata ruang yang telah ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 huruf a yang mengakibatkan perubahan fungsi ruang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(2) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan kerugian terhadap harta benda atau kerusakan barang, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun dan denda paling banyak Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah).
(3) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan kematian orang, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
Pasal 70
(1) Setiap orang yang memanfaatkan ruang tidak sesuai dengan izin pemanfaatan ruang dari pejabat yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 huruf b, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(2) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan perubahan fungsi ruang, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(3) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan kerugian terhadap harta benda atau kerusakan barang, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah).
(4) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan kematian orang, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
Pasal 71
Setiap orang yang tidak mematuhi ketentuan yang ditetapkan dalam persyaratan izin pemanfaatan ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 huruf c, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Pasal 72
Setiap orang yang tidak memberikan akses terhadap kawasan yang oleh peraturan perundang-undangan dinyatakan sebagai milik umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 huruf d, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Pasal 73
(1) Setiap pejabat pemerintah yang berwenang yang menerbitkan izin tidak sesuai dengan rencana tata ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (7), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(2) Selain sanksi pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pelaku dapat dikenai pidana tambahan berupa pemberhentian secara tidak dengan hormat dari jabatannya.
Pasal 74
(1) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69, Pasal 70, Pasal 71, dan Pasal 72 dilakukan oleh suatu korporasi, selain pidana penjara dan denda terhadap pengurusnya, pidana yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi berupa pidana denda dengan pemberatan 3 (tiga) kali dari pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal
69, Pasal 70, Pasal 71, dan Pasal 72.
(2) Selain pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), korporasi dapat dijatuhi pidana tambahan
berupa:
a. pencabutan izin usaha; dan/atau
b. pencabutan status badan hukum.
Pasal 75
(1) Setiap orang yang menderita kerugian akibat tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69, Pasal 70, Pasal 71, dan Pasal 72, dapat menuntut ganti kerugian secara perdata kepada pelaku tindak pidana.
(2) ) Tuntutan ganti kerugian secara perdata sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan hukum acara pidana.
Sumber: UU PPLH dan UU Penataan Ruang