Penghapusan Diskriminasi Pendidikan Melalui UU Pesantren
Oleh: Luluk Nur Hamidah, M.Si, M.PA.
Anggota DPR RI FPKB | Dapil Jateng IV/Ketua DPP PKB Bidang Luar Negeri
Masih lekat dalam ingatan, pada tahun 2012 lalu seorang Santri bernama Azhari lulusan Pesantren Annuqayah Sumenep Jawa Timur ditolak ijazahnya saat mendaftar sebagai polisi karena ijazahnya dianggap tidak memenuhi syarat administratif. Padahal Pesantren Annuqayah tempat Azhari menimba ilmu, sudah berusia lebih dari satu abad dan telah memiliki ribuan santri yang tersebar di seluruh nusantara. Penolakan terhadap Azhari ini adalah bukti nyata bahwa selama ini Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional belum mampu mengakomodir status seseorang sebagai santri dalam dunia pendidikan dan dunia kerja dikarenakan ijazah pesantren dianggap tidak memenuhi syarat ketentuan syarat administrasi instansi, akibatnya, santri yang ingin melanjutkan ke jenjang sekolah formal pada umumnya harus mengulang lagi ke lembaga pendidikan yang ijazahnya dianggap setara, atau seperti yang dialami Azhari, ijazahnya tidak mampu menjadi dasar untuk memperoleh pekerjaan.
Puluhan tahun santri menerima diskriminasi dalam dunia kerja dan sulit berkompetisi dengan lembaga pendidikan konvensional lain karena belum adanya pengakuan negara terhadap ijazah kepesantrenan, selain itu secara kelembagaan, pesantren sulit mendapatkan bantuan secara maksimal dari pemerintah dikarenakan statusnya belum berstatus sebagai lembaga pendidikan formal. Diskriminasi terhadap pesantren dan lulusannya bertentangan dengan tujuan negara sebagaimana dalam alinea pembukaan konstitusi dimana negara bertujuan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan negara bertujuan untuk memajukan ilmu pengetahuan untuk kesejahteraan umat manusia sebagaimana dalam Pasal 31 ayat (3) dan ayat (5) UUD NRI 1945:
“(3) Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta ahlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang.
(5)Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia””
Kedua pasal dalam batang tubuh konstitusi ini sejalan dengan kegiatan pesantren sebagai lembaga pendidikan yang memfokuskan kegiatan belajar mengajarnya dalam bidang agama serta pendidikan karakter akhlakul karimah. Lebih jauh lagi saat ini telah banyak pesantren yang melakukan “mix curicullum” atau integrasi kurikulum internal pesantren dengan kurikulum madrasah, sehingga santri tidak hanya dibekali dengan pengetahuan keagamaan, tetapi juga didukung dengan pengetahuan umum yang diajarkan di sekolah-sekolah pada umumnya. Saat ini pesantren juga telah melakukan terobosan serta menyesuaikan dengan kebutuhan santri dan perkembangan zaman, maka sudah sepatutnya negara juga berperan aktif menghapuskan diskriminasi atas santri dan pesantren sebagai bentuk persamaan hak kesetaraan dalam bidang kependidikan.
Titik terang atas masa depan Santri mulai terlihat pada tahun 2015 ketika Presiden Jokowi menerbitkan Keppres Nomor 22 Tahun 2015 yang menetapkan tanggal 22 Oktober sebagai Hari Santri Nasional. Penerbitan Keppres ini merupakan pengakuan negara bahwa santri dan para ulama dengan pesantrennya memiliki peran besar dalam perjuangan kemerdekaan serta upaya mempertahankan NKRI dari agresi kolonial. Arti penting dari Hari Santri dikemukakan oleh K.H. Said Aqil Siradj dalam Amanat Ketua Umum PBNU Pada Peringatan Hari Santri 22 Oktober 2019:
“Jati diri santri adalah moralitas dan akhlak pesantren dengan kiai sebagai simbol kepemimpinan spiritual (qiyadah ruhaniyah)…Santri melekat sebagai stempel seumur hidup, membingkai moral dan akhlak pesantren.. Tujuan pengabdian santri adalah meninggikan kalimat Allah yang paling luhur yaitu tegaknya agama Islam rahmatan lil alamin. Islam yang memperjuangkan bukan sekadar aqidah dan syariah, tetapi ilmu dan peradaban, budaya dan kemajuan dan juga kemanusiaan. Islam dalam etos santri adalah keterbukaan, kecendekiaan, toleransi, kejujuran dan kesederhanaan…”
Suatu bentuk perhatian dan akomodasi nyata negara terhadap pesantren dan santri yang yang diwujudkan melalui pengesahan RUU Pesantren menjadi Undang-Undang (UU) Pesantren oleh DPR RI pada pada tanggal 24 September 2019 yang kemudian ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo dengan nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren. UU Pesantren merupakan hasil jerih payah Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (F-PKB) yang setia mengawal UU ini sejak tahap inisiasi hingga pada tahap pengesahannya menjadi Undang-Undang.
Beberapa poin penting dalam UU Pesantren antara lain:
1. Keberadaan pesantren sebagai lembaga yang mandiri sebab pesantren memiliki ciri khas sebagai institusi yang menanamkan nilai-nilai keimanan kepada Allah SWT;
2. Pesantren bukan hanya diartikan sebagai lembaga pendidikan keislaman semata, tetapi memiliki peran sebagai lembaga dakwah dan pemberdayaan masyarakat;
3. Untuk memenuhi kualitas pendidikan di pesantren harus memiliki institusi yang dinamakan Dewan Masyayikh yang terdiri atas para Kiai dan Ustaz atau sebutan lainnya.
4. Para pendidik di pesantren memperoleh status formal dan keprofesionalan serta tunjangan finansial yang setara dengan guru dan dosen pada umumnya;
5. Dalam UU Pesantren juga diatur bahwa pesantren akan mendapatkan dana abadi dari pemerintah sehingga pemerataan kesejahteraan pendidikan juga dapat dinikmati oleh santri;
6. Pesantren saat ini juga dapat membentuk suatu institusi pendidikan tinggi yakni Ma’had Aly yang jenjang pendidikannya setara dengan jenjang Universitas.
7. Saat ini sistem pendidikan nasional mengakui pesantren sebagai institusi pendidikan dengan proses pembelajaran yang khas, sehingga ijazah kelulusannya diakui dan memiliki kesetaraan dengan lembaga formal lainnya dengan memenuhi jaminan mutu pendidikan dan menghapus diskriminasi dalam dunia pendidikan yang sudah berusia puluhan tahun terhadap santri dan pesantren.
UU Pesantren sejatinya adalah pengakuan negara terhadap pesantren sebagai lembaga pendidikan yang sah, serta pengakuan negara bahwa santri sebagai bagian dari anak bangsa dan sumber daya manusia mumpuni sebagai generasi muda, ke depannya santri dapat berkompetisi dengan fair tanpa mengkhawatirkan status ijazah dan terdiskriminasi status formal pendidikannya, sehingga orang tua tidak lagi khawatir akan masa depan anak yang mengenyam pendidikan di pesantren, selain itu kesejahteraan pesantren juga akan meningkat melalui advokasi alokasi dana pendidikan yang jauh lebih besar.
Menjelang momentum perayaan Hari Santri Nasional yang keempat pada 22 Oktober 2019, UU Pesantren merupakan kado dari PKB kepada seluruh santri setanah air, selanjutnya PKB pun berencana memasukan Peraturan Daerah (Perda) Pesantren sebagai Program Legislasi Daerah (Prolegda) Masa Sidang Pertama tahun 2019 sebagai bentuk follow up dari pengesahan UU Pesantren. Harapan PKB kedepan agar UU Pesantren dapat tersosialisasi dengan baik ke seluruh instansi pemerintah dan instansi swasta sehingga kelak tidak ada lagi insiden seorang santri ditolak dengan alasan ijazahnya karena tidak memenuhi syarat administratif dan pesantren-pesantren dapat mencetak santri yang memiliki daya saing tinggi, bertakwa dan berakhlak mulia.