SRAGEN, JOGLOSEMARNEWS.COM – Kasus dugaan pemalsuan puluhan berkas letter C untuk program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) Desa Bonagung, Kecamatan Tanon, Sragen mulai ditindaklanjuti oleh Polda Jateng.
Sebanyak empat warga dari pelapor dan korban langsung dipanggil untuk dimintai keterangan di Polda Jateng, Semarang. Empat pelapor dan korban itu dipanggil dan diperiksa oleh penyidik Direskrimum Polda Jateng secara bergantian.
“Ada empat warga dari pelapor dan korban yang sudah dipanggil ke Polda Selasa (4/2/2020) kemarin. Mereka masing-masing Sutarto, Haji Pitono, Paniyem dan Karsono,” papar Suranto, tokoh masyarakat Desa Bonagung, Tanon, yang mendampingi pemeriksaan, kepada JOGLOSEMARNEWS.COM , Sabtu (8/2/2020).
Mereka dimintai keterangan oleh brigadir Taufik Sigit dari Direskrimum Polda Jateng. Keempat pelapor dan korban itu dimintai keterangan sejak pagi hingga siang hari.
Masing-masing diperiksa sekitar dua jam dengan ditanya beragam hal. Mulai dari kronologi kejadian, uang yang sudah dibayarkan hingga potensi kerugian yang dialami akibat kasus ini.
“Hampir semua mengatakan bahwa tidak tahu kalau ternyata letter C itu kemudian dipalsukan. Karena mereka awalnya hanya ditawari oleh panitia PTSL desa. Jadi inisiatif awal memang panitia, warga nggak tahu dan hanya manut,” terang Suranto.
Setelah diperiksa, para pelapor dan korban tinggal diminta menunggu perkembangan hasil penyelidikan.
Terpisah, Kapolda Jateng Irjen Pol Rycko Amelza Dahniel melalui penyidik Ditreskrimum, Kompol Hartono membenarkan pihaknya telah memproses kasus laporan dugaan penyimpangan proyek PTSL di Desa Bonagung, Tanon, Sragen.
Kepada JOGLOSEMARNEWS.COM , Kompol Hartono menyampaikan memang tim penyidiknya sudah memeriksa empat saksi dari pelapor dan korban.
“Iya benar Pak. Sudah ada pemanggilan,” tuturnya dikonfirmasi Sabtu (8/2/2020).
Kompol Hartono menguraikan saat ini penanganan kasus Bonagung masih dalam tahap penyelidikan.
“Masih tahap penyelidikan,” tandasnya.
Sebelumnya, kasus PTSL dilaporkan ke Polda Jateng medio Desember 2019 lalu. Warga dan beberapa korban melaporkan tim panitia PTSL dan Kepala Desa Bonagung yang diduga berperan kuat dalam proyek PTSL tahun 2018.
Langkah melapor ke Polda Jateng terpaksa ditempuh lantaran upaya warga melapor ke Polres Sragen yang dilakukan sebelumnya, tidak mendapat respon sesuai harapan.
Ketika warga dan para korban PTSL meyakini ada pemalsuan dokumen dan tarikan di atas kewajaran, pihak Reskrim Polres justru bersikeras menyarankan agar kasus itu diselesaikan mediasi.
“Kalau cuma satu berkas, mungkin bisa lah dianggap kelalaian. Lha ini puluhan berkas PTSL ternyata letter C-nya dipalsukan. Sementara yang sudah nyata saja ada belasan berkas. Masih ada sebagian yang takut membuka. Lalu yang sudah bersertifikat juga diam-diam diikutkan PTSL dan letter C-nya dicomotkan letter C bidang sak-sake sehingga akhirnya muncul sertifikat dobel. Dan biayanya bukan tarif PTSL, tapi tarif reguler. Ada yang Rp 1,5 juta sampai Rp 4,5 juta. Kami meyakini ini sudah ada unsur kejahatan dan kalau dibiarkan takutnya akan terus terjadi di program-program berikutnya. Nanti warga yang akhirnya jadi korban terus,” terang Suranto.
Ada belasan hingga puluhan warga yang merasa tertipu dan dirugikan atas proses PTSL Bonagung yang ternyata bermasalah.
Belasan korban menuntut uang biaya dikembalikan lantaran nominalnya ditarik biaya reguler mulai dari Rp 1,5 juta hingga Rp 4,5 juta perbidang.
Sementara, sejumlah warga korban PTSL Bonagung mengungkap bahwa mereka membayar antara Rp 1,5 juta hingga Rp 22,5 juta.
Setelah tahu bahwa sertifikat mereka diproses lewat PTSL dan kini dalam masalah, mereka pun rame-rame menuntut ke pihak desa untuk mengembalikan biaya yang sudah dibayarkan.
“Kami sudah bayar Rp 22,5 juta untuk pemecahan satu bidang jadi lima sertifikat. Dulu awalnya diajukan Prona tahun 2010 atas nama simbah dipecah lima. Tapi nggak jadi-jadi. Nah kemarin ditarik perbidang Rp 4,5 juta. Kami kira diikutkan reguler tapi ternyata dimasukkan ke PTSL ini. Kan sudah nggak benar, makanya kami ini buat surat pernyataan bermateri intinya minta uang kami dikembalikan,” ujar Sutarto, salah satu warga Bonagung.
Nasib serupa diungkapkan Painem. Proses pemecahan bidang tanah yang dipecah jadi empat atas nama kerabatnya, juga ditarik biaya total Rp 6 juta atau Rp 1,5 juta perbidang.
Empat sertifikat itu atas nama Sukirman, Marjuki, Wartini dan Painem Hadi. Menurutnya, dirinya oleh panitia memang diminta membayar Rp 1,5 juta per sertifikat dan sudah dibayar Rp 1,8 juta sebagai uang muka.
Senada, Karsono, warga RT 25, Bonagung juga mengungkapkan dari 11 bidang tanah milik keluarganya yang dibalik nama dan dipecah lewat PTSL, dirinya diminta membayar masing-masing Rp 2 juta perbidang. Sehingga total semua keluarganya membayar Rp 22 juta.
“Kami nggak tahu, pokoknya dulu ngajukan ikut sewalik (balik nama) dan ingin pecah. Terus disuruh mbayar Rp 2 juta per sertifikat. Semua keluarga saya total bayarnya Rp 22 juta. Uangnya ya direwangi cari utang. Makanya kalau tahu ternyata itu diikutkan PTSL harusnya bayarnya , ya kami minta uang kami kembali,” tuturnya.
Warga lain, Suyatno (37) warga Dawetan RT 17, Bonagung juga sudah membayar Rp 4 juta untuk pengurusan dua bidang tanahnya. Ternyata ia juga baru tahu jika sertifikat itu diproses lewat PTSL.
Kepala BPN Sragen, Agus Purnomo saat ditemui di ruang kerjanya sebelumnya, mengatakan bahwa ada sekitar delapan sertifikat yang sementara ditemukan bermasalah di PTSL Bonagung. Sertifikat itu akan ditarik dan dilakukan pembenahan.
Soal langkah hukum dari warga, pihaknya tak akan menghalangi. Namun jika memang masih bisa diselesaikan kekeluargaan, hal itu dinilai lebih baik.
Ia juga menyampaikan dampak dari temuan PTSL bermasalah itu, 50 sertifikat PTSL untuk UKM di Bonagung tahun 2019 akhirnya masih dipending. Wardoyo