Beranda Daerah Wonogiri Buruh Kian Menderita di Tengah Pandemi COVID-19, Pemerintah Harus Punya Solusi

Buruh Kian Menderita di Tengah Pandemi COVID-19, Pemerintah Harus Punya Solusi

Luluk Nur Hamidah. Dok. Pribadi

WONOGIRI, JOGLOSEMARNEWS.COM  – Hari buruh tahun ini tepat di tengah suasana duka dunia terhadap pandemi COVID-19 dan krisis ekonomi yang menyertainya. Banyak pemimpin dunia menyatakan bahwa situasi ini merupakan yang terburuk sejak Perang Dunia II. Baik dalam korban meninggal maupun akibat krisis ekonominya. 

“Di Indonesia sendiri jumlah korban terus naik dan perekonomian terus turun. Proses pembangunan yang dilaksanakan pemerintah dan ditunjang oleh dua komponen penting yaitu pengusana dan pekerja atau buruh, saat ini tidak dapat berjalan sesuai dengan yang direncanakan,” ungkap anggota Komisi IV DPR RI dari Fraksi PKB, Luluk Nur Hamidah melalui rilis yang diterima JOGLOSEMARNEWS.COM , Sabtu (2/5/2020).

Akibatnya, ujar dia, hal yang menakutkan pun terjadi pada buruh. Lebih dari 2 juta buruh di PHK tahun ini. Sedangkan yang masih bekerja berada di bawah bayang-bayang pemutusan kontrak dan tertular virus COVID-19

“Penderitaan yang sama dialami buruh tani, buruh tani perempuan dan buruh nelayan. Ditengah biaya produksi yang terus naik, hasil produksi justru tidak terserap pasar. Sehingga membuat harga jatuh dan mengalami kerugian,” tutur dia.


Padahal sekitar 60 persen penduduk Indonesia bekerja di sektor pertanian termasuk didalamnya peternakan, dan akan lebih besar lagi jumlahnya bila ditambah sektor perikanan dan kelautan. 

“Pemerintah harus segera memiliki strategi untuk menolong situasi buruh saat ini. Konsentrasi terhadap penanggulangan covid 19 tidak boleh mengenyampingkan faktor ekonomi. Satu persatu masalah buruh mendesak untuk segera dibuatkan solusinya. Karena sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan (Qur’an 94:6). Sehingga pasti ada jalan keluar,” beber dia.

Dalam permasalahan petani dan buruh tani, jumlah petani Indonesia yang memiliki luas lahan dibawah 0,5 ha mencapai 60 persen, di Jawa mayoritas petani hanya memiliki luas lahan 0,25 sampai 0,35 ha. Sedangkan buruh tani, berdasarkan data BPS di tahun 2019 rata-rata memiliki penghasilah Rp 37 ribu sampai Rp 45 ribu perhari. 

Baca Juga :  Longsor di SDN 2 Brenggolo Jatiroto dan Bugelan Kismantoro Wonogiri, Tekan Kerugian Hampir 100 Juta

Melihat kondisi ekonomi petani dan buruh tani ini terlihat masih jauh dari sejahtera. Kondisi pertanian Indonesia tahun ini diperburuk oleh kebijakkan pemerintah yang menurunkan anggaran bagi Kementerian Pertanian dari Rp 21 triliun menjadi Rp 14 triliun. Anggaran untuk program pengadaan benih, bibit dan pupuk bagi petani ikut turun.

“Padahal program itu sangat membantu petani dalam mengurangi biaya produksi. Bila biaya produksi pertanian naik maka gaji buruh tani akan turun,” sebut Luluk.

Kehidupan buruh tani perempuan yang seringkali luput dari perhatian kondisinya juga semakin memprihatinkan. Bidang pekerjaan mereka dalam pertanian mulai tergantikan dengan mesin treser (mesin perontok padi), huller (mesin penggiling), dan transplanter (mesin tanam). Membuat mereka perlahan-lahan tergusur dari sektor pertanian dan tidak dapat lagi membantu ekonomi keluarga. Pemilik lahan sendiri mengalihkan pekerjaan yang biasa dikerjakan buruh tani perempuan dengan mesin demi efisiensi dan penghematan biaya produksi.

Salah satu solusi yang bisa dilakukan pemerintah terhadap masalah petani dan buruh tani termasuk buruh tani perempuan saat ini adalah dengan menggalakkan kembali program transmigrasi. Melalui transmigrasi, petani dan buruh tani dapat mengelola lahan pertanian hingga dua hektar. Sangat cukup untuk membuat mereka sejahtera. 

Selain itu paradigma baru transmigrasi saat ini salah satunya adalah untuk mendukung ketahanan pangan dan penyediaan pangan. Sehingga akan sangat membantu pemerintah untuk mengurangi impor pangan. 

Sedangkan bagi nelayan dan buruh nelayan, situasi saat ini membuat mereka frustasi. Karena biaya melaut yang tinggi namun hasil tangkapan tidak dapat terserap oleh pasar akibat PSBB dan berkurangnya daya beli masyarakat. Menyebabkan penurunan harga ikan mencapai 50 persen. Situasi ini dipersulit dengan terbatasnya daya tampung cold storage di sektor perikanan. 

Baca Juga :  Akhirnya Wonogiri Punya Bupati dari Baturetno, Harapan Baru untuk Wilayah Selatan

Buruh nelayan menjadi pihak yang paling disengsarakan karena proses pembayarannya melalui sistem bagi hasil dengan pemilik kapal. Biaya melaut buruh nelayan yang biasanya didapat melalui utang tidak dapat ditutupi oleh penjualan hasil tangkapan. Dengan jatuhnya harga ikan saat ini membuat mereka masuk ke dalam lubang utang yang semakin dalam. Bahkan hingga melibatkan calo atau centeng untuk mengawasi dan menindak mereka.


“Pemerintah seharusnya dapat memberikan solusi dengan cara meringankan biaya melaut mereka. Salah satunya dengan memberikan subsidi bahan bakar solar yang menyerap 60% – 70% dari biaya operasional,” jelas dia. 

Di tengah menurunnya harga minyak dunia saat ini seharusnya hal itu bisa dilakukan. Selain itu pemerintah sebaiknya membuat cold storage yang memadai untuk menampung hasil tangkapan mereka. Agar ikan tetap segar dan awet sehingga harga tetap stabil. 

Kebijakkan pemerintah yang akomodatif, akan membuat pengusaha (petani dan nelayan) dan buruh tani dan buruh nelayan bekerja secara harmonis untuk menggapai kesejahteraan. Ketika nanti kondisi telah tenang dan nyaman, maka akan tercipta pembangunan ekonomi dengan empat dimensi pokoknya yaitu pertumbuhan, penanggulangan kemiskinan, transformasi ekonomi dan keberlanjutan pembangunan. Aria