“Negatif dua puluh lima dibagi negatif lima berapa?” tanya Bu Guru Anis dari balik face shield yang dikenakannya.
“Limaaa….” dari balik masker yang mereka kenakan, lima orang siswa kelas 6 SD Kemasan 2 Surakarta itu pun menjawab serempak.
Suaranya memenuhi ruang tamu 3 x 5 meter tersebut.
Manggut-manggut sembari mengacungkan jempolnya, Bu Guru yang bernama lengkap Anis Saniyah, SPd itu berujar, “Bagus, berarti kalian sudah paham yang ibu jelaskan tadi.”
Itulah sepotong kecil fakta kegiatan belajar mengajar (KBM) yang berlangsung di rumah salah satu siswa SD Kemasan 2 Surakarta, Rabu (11/8/2020) pagi.
Di masa pandemi Covid-19, kegiatan belajar mengajar secara tatap muka memang hanya dapat dilangsungkan dalam kelompok-kelompok kecil seperti ini. Lokasinya mengambil tempat di salah satu rumah murid yang dirasa memungkinkan.
Mewabahnya virus Covid-19 memang menjadi pukulan berat bagi dunia pendidikan secara umum, tak terkecuali bagi SD Kemasan 2 Surakarta. Pembelajaran daring yang dianjurkan sebagai solusi aman KBM agar tak terjadi penularan Covid-19, ternyata tak dapat berlangsung secara maksimal.
Sebagai seorang guru senior di SD Kemasan 2 Surakarta, Anis merasakan benar betapa anak-anak rindu akan suasana KBM klasikal. Terlebih, dengan latar belakang orangtua siswa yang sebagian besar dari kalangan ekonomi bawah, media daring masih asing bagi mereka.
“Tidak semua anak punya handphone android. Ini kendala utamanya,” ujar Anisa saat bincang-bincang dengan Joglosemarnews usai memberikan materinya.
Kondisi itu pun diakui oleh Kustanti, warga Begalon RT 6/RW 4, Kelurahan Panularan, Surakarta yang menjadi tempat home visite kelompok 5 tersebut. Sehari-harinya ia menjadi pengganti orangtua Fardan, lantaran ayah ibunya bekerja di Jakarta.
Fardan, yang tak lain adalah cucunya, tidak memiliki handphone sendiri. Sehingga ketika pembelajaran secara daring berlangsung, cucunya kesulitan karena handphone dibawa oleh kakeknya.
“Kadang baru sore atau malam hari Fardan bisa mengakses handphone,” ujarnya.
Di luar soal perangkat, sebagaimana yang dikeluhkan orangtua siswa pada umumnya, Kustanti pun merasakan berat harus menjadi guru bagi cucunya di rumah. Terlebih untuk mengajari cucunya Matematika, ia sudah tidak nyambung lagi.
“Khusus untuk mengerjakan tugas Matematika, kakeknya masih bisa membantu, tapi untuk pelajaran lainnya, kami angkat tangan,” ujarnya kepada Joglosemarnews.
Di sisi lain, jika Farhan pegang handphone untuk ikut pembelajaran daring, Kustanti mengaku terkadang khawatir juga. Namanya juga anak, kalau pegang handphone betah berlama-lama, sehingga ia sulit membedakan, si anak sedang mengikuti pelajaran daring, atau bermain.
“Saya malah khawatir anak tidak belajar, dan malah membuka yang macam-macam. Apalagi saya juga tidak mudheng (paham-red) dengan teknologi macam itu,” ujarnya.
Anis pun merasakan hal yang sama, bahwa pembelajaran secara daring tidak dapat dilakukan secara maksimal. Artinya, proses transfer knoledge sampai benar-benar materi dapat dipahami oleh anak, tidak bisa tercapai maksimal.
Kadang-kadang malah terjadi, orang tua yang tidak sabar, mengambil alih tugas siswa dan dikumpulkan melalui media online kepada guru.
“Tahunya, setelah saya crosscheck, ternyata si anak blank, kosong, nggak tahu apa-apa. Tidak cocok dengan hasil yang dikirimkan,” ujarnya.
Diakui atau tidak, pembelajaran daring selama masa pandemi memang menjadi salah satu solusi. Namun jika dipaksakan dalam suasana yang tidak mendukung, alih-alih mencerahkan siswa, hal itu justru mendorong terjadinya praktik ‘penipuan’, sebagaimana yang dicontohkan Anis di atas.
Anis mengaku sadar, jika KBM hanya dilakukan dengan metode daring saja, lama kelamaan siswa sendiri yang akan dirugikan. Karena itulah, bersama guru-guru lain di SD Kemasan 2 Surakarta mereka mengusulkan dilakukannya home visite.
Usulan tersebut mendapat dukungan penuh dari Kepala Sekolah, Sri Yanti SPd, yang segera melakukan rapat koordinasi.
Lalu, dari total 28 siswa kelas 6 itu, dibentuklah lima kelompok yang didasarkan pada zonasi wilayahnya. Ada kelompok yang berjumlah lima orang, namun ada juga yang enam orang.
Anisa dan guru-guru lain di SD Kemasan 2 Surkarta pun, alhasil harus keliling dari satu kelompok ke kelompok lain untuk membagikan ilmu dan pelajaran kepada para siswa. Semuanya mereka lakukan dengan ikhlas demi kemajuan anak-anak.
“Setiap Selasa, Rabu dan Kamis saya harus home visite ke kelompok-kelompok ini. Waktu selebihnya kami gunakan untuk memberikan tugas-tugas secara daring, juga saya beri spelleng waktu untuk njagani kalau-kalau ada keperluan dinas,” ujarnya.
Setiap kali home visite hanya berlangsung selama dua jam, mulai dari pukul 08.00 WIB hingga pukul 10.00 WIB. Waktu yang sangat singkat tersebut diisi dengan pelajaran Matematika dan tematik. Pelajaran tematik bisa diisi dengan materi pelajaran PKN, IPS atau IPA.
“Paketnya selalu Matematika plus tematik, Matematika plus tematik. Begitu seterusnya. Matematika selalu diberikan, karena paling penting dan dirasakan paling sulit bagi anak-anak,” beber Anisa.
Pandemi memang sudah berlangsung selama beberapa bulan di awal Maret 2020. Namun demikian, home visite di SD Kemasan 2 Surakarta baru dilakukan untuk ke dua kalinya. Hal itu, menurut Anis, karena butuh waktu panjang untuk sampai pada keputusan home visite tersebut.
Mengingat kondisi masing-masing keluarga yang berbeda-beda, maka suasana KBM dalam home visite tersebut juga tidak sama. Ada yang hanya lesehan karena si pemilik rumah tak punya meja kecil, namun ada yang menggunakan meja kecil dengan duduk lesehan.
Hal itu menurut Anis tidak menjadi soal, sepanjang anak-anak merasa nyaman. Termasuk, ketika ada siswa yang menulis sembari tengkurap karena tak ada meja.
“Syarat pertama adalah keluasan lokasi yang memadai, karena jangan sampai anak-anak berdesak-desakan,” ujarnya.
Terkadang Anisa juga merasa terharu melihat kerja sama, kekompakan dan semangat belajar anak-anak tersebut. Contohnya, anak-anak rela membawa peralatan sendiri dari rumah, seperti meja gambar untuk alas menulis bila si empunya rumah tidak memiliki peralatan tersebut.
Melihat semangat anak-anak tersebut, Anis bertekad melanjutkan home visite tersebut secara konsisten, karena manfaatnya sangat dirasakan oleh siswa dan orang tua siswa.
“Dengan belajar di rumah seperti ini, saya sangat berterima kasih. Kami orang tua sangat terbantu,” ungkap Kustanti.
Lantaran itulah, orang tua siswa, termasuk Kustanti tak segan-segan memberikan layanan yang baik untuk guru dan anak-anak. Salah satu contohnya, guru dan anak-anak untuk hari itu mendapatkan suguhan teh manis dan bubur sumsum yang sangat enak.
Guru kelas 1 SD Kemasan 2 Surakarta, Esti Sarirani, SPd tak kalah heroiknya. Karena tidak bisa mengendari sepeda motor, ia pun harus rela jalan kaki dari kelompok satu ke kelompok lainnya, demi memberikan materi kepada para siswa.
Namun dari kenyataan tersebut, Esti bisa merasakan bahwa home visite memiliki kelebihan yang tidak dimiliki oleh internet, yakni nilai humanisme. Hubungan emosional yang intens antara guru dengan siswa yang tidak ada dalam pelajaran daring.
Esti Sarirani mengaku terharu, ketika dia datang untuk pertama kalinya setelah beberapa bulan tak berjumpa, anak-anak bersorak gembira, seolah tak pernah berjumpa bertahun-tahun. Ia bisa melihat sinar kerinduan yang memancar dari mata bening para siswa tersebut.
“Suasana seperti ini yang justru membuat hati terharu sampai-sampai saya hendak menangis,” ujar Esti.
Esti sendiri mengampu enam kelompok, yang masing-masing kelompoknya sekitar empat orang. Dalam sehari, ia mengajar di tiga kelompok secara bergantian.
Untung saja, karena sistemnya zonasi, jarak rumah orang tua yang dijadikan base camp rata-rata tidak begitu jauh dari sekolah, sehingga dapat dicapai dengan jalan kaki.
“Kalau ada orang tua siswa yang longgar waktu, saya diantar ke kelompok berikutnya,” ujar Esti.
Esti mengakui, pemerintah memang tidak memberikan target standar dalam KBM selama masa pandemi ini. Namun sebagai seorang pendidik, ia merasa menanggung utang jika apa yang diajarkan gagal dipahami oleh siswa.
“Karena itu, saya tetap punya target pribadi untuk keberhasilan pembelajaran ini. Apalagi, kelas 1 ini menjadi dasar untuk kelas selanjutnya,” ujarnya.
Kuncinya Guru Harus Inovatif
Pandemi Covid-19 yang muncul awal Maret 2020 lalu menjadi guncangan di segala lini, termasuk di bidang pendidikan.
Terlebih dengan keluarnya keputusan Walikota Surakarta yang menyatakan Kejadian Luar Biasa (KLB) di Kota Solo pada Jumat (13/3/2020) malam.
Keputusan yang kemudian dituangkan dalam surat edaran Walikota yang menginstruksikan pada seluruh lembaga pendidikan, baik dari PAUD, TK, SD, SMP dan SMA maupun yang sederajat untuk menghentikan KBM di sekolah.
Sejak itulah, suasana menjadi sepi seolah mati. Namun dalam hati para guru bergejolak. Yang terbayang dalam benak mereka adalah, bagaimana dengan nasib anak didik mereka. Apalagi bagi siswa kelas akhir yang hendak menghadapi ujian kelulusan dan mencari sekolah baru.
Instruksi dari pemerintah untuk menggelar pendidikan secara daring sebagai alternatif KBM selama pandemi Covid-19 pun dijalankan, termasuk di SD Kemasan 2 Surakarta.
Bahkan, Sriyanti, S.Pd, MPd sebagai Kepala Sekolah SD Kemasan 2 Surakarta pun sudah membekali para gurunya dengan Microsoft Office 365 sebagai dasar untuk memberikan materi pelajaran secara daring kepada para guru untuk menghadapi KBM daring.
“Rata-rata guru di sini sudah punya laptop dan sudah bisa mengoperasikannya. Tapi sayangnya, tidak semua siswa memiliki handphone android, apalagi laptop. Ini yang jadi kendala,” ujar Sri Yanti kepada Joglosemarnews.
Melihat fakta di lapangan tersebut, Sri Yanti mengaku tidak bisa tinggal diam dan memaksakan diri menjalankan instruksi hanya dengan media daring semata. Menurutnya, harus ada terobosan inovatif untuk memberikan materi kepada para siswa yang lebih efektif.
Lalu ia pun mengumpulkan para guru dan mencoba mendengarkan curhatan mereka. Menggali masalah, sekaligus memantik ide-ide baru dari para guru demi kesuksesan KBM, agar materi dapat tersampaikan dan dipahami oleh siswa.
Dari forum tersebut, ujar Sri Yanti, pertama-tama muncul usulan untuk menggelar KBM di sekolah secara shift. Rencananya anak-anak dari semua jenjang akan dibagi per lima orang datang ke sekolah untuk mendapatkan pelajaran dari para guru.
“Metode itu belum sempat dijalankan, sudah keburu turun aturan baru dari Dinas Pendidikan, bahwa siswa tidak boleh datang ke sekolah,” beber Sri Yanti.
Namun, rambu-rambu tersebut tidak lantas membuat semangat guru-guru SD Kemasan 2 Surakarta surut. Media daring tetap dilakukan untuk memberikan tugas-tugas, namun ada ketidakpuasan jika materi tidak dapat dipahami dengan benar oleh para siswa.
Oleh karena itulah, guru-guru kembali diakomodir oleh Kepala Sekolah untuk memunculkan ide-ide baru. Kata kunci yang mereka pegang adalah ‘tatap muka’ dengan tetap memperhatikan protokol kesehatan.
Lalu, dalam forum itulah muncul ide untuk melakukan home visite, atau guru berkunjung ke rumah siswa. Langkah yang ditempuh pertama kali adalah melakukan angket pada orang tua siswa.
Orang tua siswa pun dikumpulkan di sekolah. Namun karena kondisi Covid-19, mereka dikumpulkan secara bertahap per 10 orang. Kepada mereka, Sri Yanti membeberkan seputar masalah yang tengah dihadapi dunia pendidikan akibat pandemi Covid-19.
“Jadi untuk sosialiasi ke orang tua siswa sendiri butuh waktu seminggu. Melelahkan memang, tapi itu harus kami lakukan,” ujar Sri Yanti.
Angket yang dilakukan tersebut, menurut Sri Yanti digunakan sebagai dasar untuk menentukan kelompok dalam zonasi wilayahnya. Angket tersebut dilakukan untuk kelas 1 hingga kelas 6.
Dari angket tersebut, akhirnya dapat diketahui berapa persen orang tua yang memiliki laptop, berapa yang memiliki handphone android dan berapa yang tidak punya perangkat tersebut.
Dari situlah, ujar Sri Yanti, ketahuan bahwa kendala utama penerapan teknologi internet di kalangan siswa SD Kemasan 2 Surakarta adalah di perangkat.
“Guru sudah dibekali teknologi, sudah mampu mengoperasikan, tapi kalau siswa tak punya perangkat, mau apa?” tukasnya.
Dengan alasan itulah, akhirnya muncul gagasan untuk melakukan home visite. Sebagai kepala sekolah, Sri Yanti kemudian menyampaikan gagasan tersebut kepada Pengawas, sekaligus meminta arahan.
Pihak pengawas pun memberikan lampu hijau, dengan catatan harus memperhatikan protokol kesehatan.
“Misalnya, guru dan siswa harus dalam keadaan sehat, menggunakan masker, serta ada izin dari orangtua. Tidak boleh dipaksa ketika orang tua tidak memberi izin,” ujarnya.
Sri Yanti mengakui, selama tiga bulan sejak awal pandemi berlangsung, sekolahnya baru mengadakan home visite di awal bulan Agustus ini. Menurutnya hal itu wajar, karena keputusan home visite tersebut melalui proses yang panjang.
Bagi Sri Yanti, home visite untuk sementara ini bisa menjadi jalan tengah paling ideal untuk proses pembelajaran yang efektif pada para siswa. Tentu saja, tanpa mengesampingkan penggunaan teknologi pembelajaran daring, sebagaimana yang diinstruksikan dari dinas.
“Bagaimanapun juga, sentuhan hati lewat face to face tidak bisa digantikan begitu saja dengan teknologi. Sekalipun lewat teknologi, sebenarnya mereka bisa bertatap muka,” ujarnya.
Dari cerita-cerita yang disampaikan para guru usai melakukan home visite, Sri Yanti menjadi tahu bahwa di sana ada kerinduan dan ruh pendidikan yang yang tak dapat ditebus dengan teknologi.
“Melalui home visite, guru bisa tahu bagaimana sikap, tutur kata, perilaku dan sopan santun anak kepada guru dan orangtua. Ini semua tak dapat tergantikan oleh internet,” ujarnya, mengutip kisah para guru.
Melalui home visite pula, jelas Sri Yanti, guru menjadi tahu keseharian siswa di rumah. Guru menjadi lebih akrab dengan orang tua siswa maupun anggota keluarganya. Prinsip ini tentu saja sejalan dengan konsep tiga pilar dalam pendidikan, yakni pemerintah, sekolah dan keluarga.
Lebih lanjut Sri Yanti mengatakan, setelah satu bulan berjalan, nantinya akan dilakukan evaluasi. Evaluasi dilakukan untuk melihat beberapa hal, mulai dari tingkat kepuasan, progres maupun kendala-kendala yang ditemui di lapangan.
Patuhi Protokol Kesehatan
Kesulitan penerapan pendidikan jarak jauh secara daring juga diakui oleh Pengwas Sekolah Kecamataan Serengan, Dr Issufiah Dwi Nuryati, MPd.
“Rata-rata anak-anak kami berasal dari keluarga yang secara sosial ekonominya menengah ke bawah,” ujar Issufiah kepada Joglosemarnews.
Dengan latar belakang itulah, ujar Issufiah, banyak siswa yang tidak memiliki akses handphone yang layak. Kalaupun memiliki, rata-rata hanya satu buah untuk satu keluarga.
Kalaupun punya handphone, kebutuhan kuota juga menjadi beban bagi orangtua siswa lantaran penghasilan mereka yang rata-rata pas-pasan.
“Ini menjadi masalah tersendiri bagi orang tua dan anak untuk melakukan pembelajaran secara daring,” beber Issufiah.
Melihat kenyataan tersebut, ujar Issufiah, guru tetap memfasilitasi dengan menggunakan beberapa bentuk pembelajaran, baik secara daring (dalam jaringan) maupun luring (luar jaringan).
“Jika secara daring kurang efektif karena keterbatasan sarana, pakai luring dengan pemberian tugas. Ini kemungkinn juga ada sisi minusnya, karena guru tidak bisa banyak berinteraksi dengan anak untuk menjelaskan materi-materi yang memerlukan proses,” lanjut Issufiah.
Melihat adanya beberapa keterbatasan dengan sistem daring maupun luring, ujar Issufiah, anak juga perlu mendapatkan penjelasan langsung dari orang dewasa, orang tua di rumah.
Cara ini pun menemui kendala, karena kenyataannya banyak orang tua yang tidak mampu berperan sebagai guru di rumah, untuk menjelaskan materi pelajaran sekolah.
Melihat kenyataan di lapangan tersebut, ujar Issufiah, selaras dengan imbauah Kepala Dinas Pendidikan Kota Surakarta, untuk kelas 1 diperbolehkan melakukan home visite, dengan catatan harus memperhatikan protokol kesehatan.
“Pesan saya, pinjam termogan sekolah untuk cek suhu anak sebelum ikut home visite. Pertemuan juga jangan terlalu lama, yang penting memberikan motivasi dan menjelaskan konten-konten pelajaran yang sulit. Dan setelah itu bisa diberi tugas untuk belajar secara mandiri,” beber Issufiah.
Belajar dengan sistem home visite tersebut menurut Issufiah ternyata berkembang ke kelas-kelas yang lain. Banyak guru kelas yang ingin melakukan home visite untuk memastikan anak benar-benar mampu memahami materi pelajaran yang sulit, terlebih untuk kelas 6.
“Dengan catatan, patuhi protokol kesehatan,” ujar Issufiah me-wanti-wanti.
Issufiah mengatakan, metode home visite tersebut tidak hanya dilakukan di SD Kemasan 2 Surakarta saja. Sekolah-sekolah lain di gugusnya, menurut dia juga melakukan hal yang sama lantaran kondisi yang dihadapi relatif sama.
“Mungkin sekolah-sekolah di gugus yang lain juga melakukan hal yang sama, mengingat banyaknya kendala dalam PJJ sistem daring. Sekolah bisa menjalankan home visite tanpa harus mengejar target kurikulum nasional. Sekolah yang masuk zona kuning dan merah dapat menggunakan kurikulum darurat dengan menyederhanakan kurikulum,” ungkap Issufiah.
Senada dengan itu, Kepala Dinas Pendidikan Kota Surakarta, Etty Retnowati, SH, MH menjelaskan, program home visite diperlukan karena masih ada siswa yang tidak terfasilitasi handphone dan internet.
Melihat kenyataan tersebut, ujar Etty, Dinas Pendidikan Kota Surakarta memberikan arahan kepada sekolah untuk melakukan home visite jika itu diperlukan.
“Tentu saja ini dilakukan dengan menyesuaikan situasi dan kondisi sekolah,” ujarnya kepada Joglosemarnews.
Tidak hanya di SD Kemasan 2 saja, menurut Etty, program home visite memang dilakukan oleh semua sekolah di Kota Surakarta. Pasalnya, di setiap sekolah selalu ada siswa yang tidak terfasilitasi internet.
Etty menjelaskan, program home visite dilakukan menyesuaikan situasi dan kondisi sekolah masing-masing.
Oleh karena itu, lanjutnya, kepala sekolah dan guru dituntut kreatif dan inovatif agar bisa memberikan ilmu sekaligus melakukan pendidikan karakter pada anak didik, meskipun belum bisa tatap muka secara utuh dalam kelas.
Selain itu menurut Etty, home visite juga penting, agar siswa tidak jenuh lantaran terlalu lama belajar di rumah. Kehadiran guru dan teman di kelompoknya, sedikit banyak akan memberikan suasana klasikal yang dirindukan anak. suhamdani