SRAGEN, JOGLOSEMARNEWS.COM – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Tengah menyampaikan budidaya tanaman Porang masih sangat prospektif.
Selain kebutuhan pasar dunia sangat tinggi, harga jual Porang juga menawarkan keuntungan menjanjikan bagi petani.
Keuntungan per satu hektare lahan dengan 36.000 batang dalam satu musim atau tujuh bulan panen, bisa mencapai Rp 218.595.000.
Sementara jika ditanam lebih lama yakni dua tahun atau dua musim, maka keuntungan yang didapat petani juga meroket besar mencapai Rp 654.670.000.
“Dari analisa usaha yang kami hitung berdasarkan pengalaman petani Porang yang sudah sukses di Ponorogo, keuntungan yang dapat memang sebesar itu,” papar penyuluh pertanian BPTP Jateng, Warsana, kepada JOGLOSEMARNEWS.COM , Minggu (18/9/2021).
Ketua Perhimpunan Penyuluh Pertanian Indonesia (Perhiptani) Jawa Tengah itu menguraikan untuk rintisan awal seperti di Desa Sigit, Tangen, Sragen, lahan 3 hektare yang disiapkan, membutuhkan 1,5 ton bibit Porang.
Artinya setiap satu hektare lahan setidaknya membutuhkan 500 kg atau 5 kuintal bibit umbi porang. Harga bibit Porang berkisar Rp 60.000 perkg.
Untuk bibit Porang, wilayah Jawa Tengah masih belum ada. Sementara, bibit umbi porang masih didominasi dari wilayah Jawa Timur.
Selain bibit, petani Porang harus menyiapkan biaya untuk sarana produksi. Di antaranya kebutuhan pupuk baik pupuk kimia, maupun pupuk organik atau pupuk kandang.
“Untuk pupuk organik ini diberikan pada awal tanam. Seperti tadi sudah lihat di dalam tanah tadi udah dilubangi. Setiap lubang itu paling tidak di beri pupuk 1 kg untuk pupuk organik. Karena hubungannya dengan lahan semakin lahannya marjinal (tandus), maka kebutuhan pupuk kandang bisa makin banyak dan sangat diperlukan sehingga tanah itu menjadi gembur. Sehingga alokasi 1 kg pupuk itu dalam titik optimal,” urainya.
Warsana menjelaskan budidaya tanaman porang bisa dilakukan dua cara yakni secara tumpang sari atau non tumpang sari. Untuk sistem tumpang sari yang ada berapa tumbuhan lain, maka jarak tanaman porangnya agak jarang.
Jarak tanam dan jumlah batang juga mempengaruhi kebutuhan pupuk. Untuk populasi tanaman yang dibudidayakan tumpang sari dan agak jarang, kebutuhan pupuk 1 hektare cukup satu ton.
Lebih lanjut, ia menyampaikan tanaman Porang biasanya dipanen dalam jangka tahunan yakni minimal satu tahun sampai 3 tahun.
Dari budidaya Porang, petani bisa panen dalam dua komoditi yakni panen umbi dan umbi katak atau bulbil.
“Satu tahun pertama menghasilkan katak, kemudian dua tahun juga demikian. Kalau menghendaki hasil maksimal itu kira- kira dipanen saat umur tanaman hampir 3 tahun,” terangnya.
Analisa Biaya dan Keuntungan
Berdasarkan hasil analisa usaha dari petani porang yang sudah sukses, Warsana menggambarkan untuk satu hektare lahan dengan populasi 36.000 batang, dalam satu musim atau 7 bulan panen, bisa menghasilkan Rp 81 juta dari panen umbi katak saja.
Angka itu dihasilkan dari produksi katak tiap batang diasumsikan 3 biji dan harga perkg katak Rp 150.000.
Kemudian hasil panen umbi, dengan umur 7 bulan atau setahun, rata-rata per batang menghasilkan 1,5 kg umbi, maka satu hektare bisa menghasilkan 48.000 kg umbi atau 48 ton.
Dengan harga umbi basah Rp 7000 perkilo, maka pendapatan total dari umbi bisa menghasilkan Rp 336 juta.
“Untuk satu tahun atau satu musim tanam, panen katak dan umbi bisa menghasilkan Rp 417 juta. Kemudian total biaya selama satu tahun dari analisa kebutuhan ditotal Rp 198,4 juta. Sehingga masih ada keuntungan Rp 218 juta sekian,” ulasnya.
Meski demikian, ia menekankan pentingnya penanganan dan proteksi harga saat panen. Hal itu untuk memastikan stabilitas harga sehingga petani tidak kesulitan menjual serta harga tetap stabil.
Sementara, terkait pembukaan rintisan budidaya demplot farming (Demfarm) atau percontohan di Desa Sigit, Warsana menyebut pihaknya nanti bersama tim siap untuk memberikan pendampingan secara terpadu.
Yakni mulai dari awal budidaya, selama proses budidaya hingga penanganan pasca panen.
“Kita melaksanakan pengawalan, pembinaan, penyuluhan secara terintegrasi. Artinya di desa juga membina dan dari dewan juga sebagai inisiator juga ikut melakukan pengawalan dan kami dari BPTP memberikan asupan teknologi terkait budidaya Porang. Lalu kami penyuluh pertanian yang bertugas di Desa Sigit ini juga melakukan pembinaan penyuluhan dan sebagainya sampai tanaman porang ini berhasil baik hingga panen,” tandas Warsana.
Sangat Prospektif
Kepala BPTP Jateng, Joko Pramono mengatakan Desa Sigit dipilih karena karakter lahannya marjinal yang relatif kurang subur. Kondisi itu cocok untuk Porang yang tidak membutuhkan banyak air.
Kemudian habitat asli porang sebenarnya hidup di sela pepohonan besar sehingga bisa ditanam dengan pola tumpang sari di Desa Sigit.
Apalagi saat ini, tren kebutuhan Porang untuk pasar ekspor terus meningkat dengan nilai ekonomis juga cukup tinggi.
“Jadi selain nilai ekonomi tinggi, budidaya Porang ini juga untuk mengoptimalkan pemanfaatan lahan. Karena porang dipanen pada tahun ke-2 atau ke-3, makanya polanya di sela-selanya bisa ditanami jagung. Agar petani juga dapat hasil jangka pendeknya,” terang Joko.
Hanya saja, Joko menguraikan budidaya porang tidak serta merta dalam waktu singkat panen tapi petani harus bersabar karena baru bisa dipanen setelah 2 atau 3 tahun.
Semakin tua umur tanaman, maka semakin besar pula umbi yang dihasilkan. Ia mencontohkan saat ini harga umbi porang untuk bibit berkisar di angka Rp 60.000 sampai Rp 65.000 perkilogram.
Jika lahan satu hektare ditanami 1.000 pohon dan dalam tiga tahun per pohon menghasilkan umbi 3 kg, maka total pendapatan saat panen tinggal mengalikan harga perkilo saja.
“Selain panen umbi, tahun pertama dan kedua bisa panen katak juga. Nah tahun ketiga baru panen umbi besarnya. Harga katak sekarang Rp 120.000 perkilogram. Jadi prospek pasarnya masih menjanjikan,” terangnya. Wardoyo