Catatan: Ilham Bintang*
Moda transportasi “Mass Rapid Transport” atau MRT Jakarta mulai beroperasi 24 Maret 2019. Sedangkan, Bus Trans Jakarta atau BRT beroperasi sejak 2009. Tetapi, baru Minggu (2/1) kemarin siang saya menjajal kedua moda transportasi modern itu di Jakarta.
Itu pun tidak direncanakan. Kalau tidak karena diajak makan siang oleh putra kedua, dr Yassin Bintang dan keluarganya, entah kapan baru bisa merasakan itu.
Pada waktu mengajak lunch itulah, dr Yassin baru usulkan menjajal naik MRT. Sedangkan, mencoba Tran Jakarta menjadi gagasan ikutannya. Spontan saja. Pas waktu kami turun di pemberhentian MRT di Bendungan HIlir.
Tadinya, mau merasakan naik Jembatan Penyeberangan Orang (JPO) Karet, yang belum lama diresmikan Gubernur Anies Baswedan. Sayang, JPO yang terinspirasi perahu Phinisi khas Bugis Makassar yang terkenal itu, kemarin ditutup, sehingga kami gagal menikmatinya.
Trip berikutnya, menuju ke bundaran HI. Mau menumpang MRT lagi, menuju stasiun permberhentian paling akhir MRT. Tapi,
“medannya”, agak berat bagi cucu-cucu. Yaitu, menuruni tangga yang terlalu curam. Maka diputuskan naik Trans Jakarta saja. Tinggal nyebrang jalan. Dari sisi Benhil nyebrang ke sisi Karet. Arus lalu lintas kebetulan tidak terlalu ramai. Ada trafic light yang mengatur penyeberangan cukup aman.
Sebentar. Saya mau cerita dulu suasana nyaman, yang baru kami rasakan di Ibu Kota : pedestrian yang luas dan tertata rapi dan bersih, sepanjang Jalan Jendral Sudirman itu. Wow! Menakjubkan.
Saya menjadi “norak” merasakan fasilitas yang relatif baru di Jakarta itu. Dipayungi langit setengah mendung, ditambah hembusan semilir angin, lengkap sudah kami serasa di pedesterian di kawasan Orchad Singapura atau Ginza di Tokyo, kota modern dunia.
Hati terasa nyaman. Tidak ada gelandangan seperti yang dulu ditemukan Mensos Risma. Yang tampak, beberapa warga sedang santai di bangku-bangku duduk. Bercengrama dengan keluarga. Norak betul saya siang itu. Padahal, kami sudah lebih setengah abad tinggal di Jakarta.
Stasiun MRT
Perasaan nyaman sudah kami nikmati pada waktu memarkir mobil di areal parkir Lebak Bulus. Lalu menyelusuri koridor menuju stasiun MRT. Saya merasakan seperti waktu pertama kali mencoba naik subway (sabuai, lidah orang Jepang) di Tokyo tahun 1985.
Tahapan demi tahapan kami lalui mengikuti protokol menaiki MRT. Jakarta ternyata bisa “dibuat” seperti di luar negeri. Bayangan yang melekat seperti waktu berebut naik bus kota di lapangan Banteng, puluhan tahun lalu, sirna seketika.
Kartu e-toll, yang dipesankan agar dibawa, ternyata betul, terkoneksi, atau bisa digunakan saat masuk stasiun MRT. Tinggal “tap”. Meski waktu masuk dan keluar saya mengulang tapnya. Portal gate, menolak. Saya curiga, jangan- jangan kartu etoll saya yang kurang saldo.
Karena perjalanan di masa pandemi, maka beberapa tambahan protokol harus dilalui memasuki stasiun. Pertama, tap HP dulu di aplikasi Pedulilindungi. Lalu, cuci tangan dan ukur suhu badan. Beruntung, karena libur hari Minggu, gerbong MRT agak sepi. Menurut petugas di sana, jumlah penumpang memang berkurang sampai 50 % pada hari libur atau minggu, dibandingkan hari kerja.
Layanan MRT Jakarta dioperasikan oleh PT MRT Jakarta (Perseroda), badan usaha milik daerah DKI Jakarta. Jalur yang telah beroperasi saat ini sepanjang 15,7 km yang menghubungkan Stasiun Lebak Bulus dengan Stasiun Bundaran HI.
Ide Habibie
Sekedar kilas balik, pembangunan MRT di Jakarta dicetuskan tahun 1985 oleh Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi saat itu, B.J. Habibie.
Karena agak lengang kami leluasa memilih tempat duduk yang berhadap-hadapan untuk sekeluarga. Sehingga, kami dapat mengawasi 3 R, tiga cucu (Rania, Raihan, dan Raisha) selama perjalanan.
Interupsi. Ada yang lupa. Bangku duduk yang bertanda silang dilarang dipakai. Artinya, harus dikosongkan. Tapi cucu-cucu seperti biasa, malah berdempetan di bangku itu. Sessi foto- foto pun dimulai. Nah. Cucu- cucu mulai gaduh berebut posisi untuk foto. Semua mau duduk nempel Omanya.
Suasana setengah gaduh itu mengundang Satpol — pengamanan dalam kereta — turun tangan. Mengingatkan protokol duduk dan tak boleh mengeluarkan suara di dalam gerbong. Terima kasih Pak Satpol yang sudah sigap mengingatkan itu.
Ingatan melayang ke suasana sama puluhan tahun lalu. Ketika kami berombongan naik Subway di Tokyo. Persoalannya sama : berebut tempat duduk. Petugas Subway juga mengingatkan supaya tidak gaduh dalam kereta.
Satpol di MRT Jakarta seperti itu juga. Tak henti mondar- mandir mengawasi penumpang. Andai saja wajah Satpolnya berhias senyum, mungkin bisa lebih membantu suasana nyaman dalam perjalanan.
Moda Raya Terpadu Jakarta (disingkat MRT Jakarta atau MRTJ, bahasa Inggris: Jakarta Mass Rapid Transit) adalah sistem transportasi rel angkutan cepat di Jakarta. Proses pembangunan moda transportasi ini dimulai tahun 2013. Jalur pertama layanan MRT Jakarta dioperasikan tanggal 24 Maret 2019, yang peresmiannya oleh Presiden Jokowi.
Sepanjang Mei 2021 lalu, berdasar data di Wikipedia, tercatat 744.488 orang menggunakan layanan MRT Jakarta. Jumlah itu menunjukkan rata-rata per hari, sekitar 24.016 orang dengan 6.895 jumlah perjalanan kereta.
Jumlah pengguna jasa tertinggi terdapat pada akhir Mei tahun itu mencapai 33.572 orang. Kenaikan jumlah penumpang tersebut menunjukkan meningkatnya kepercayaan publik terhadap layanan MRT Jakarta meskipun masih berada di tengah pandemi.
Pada 2021 ini, PT MRT Jakarta (Perseroda) menargetkan angka keterangkutan (ridership) 65 ribu orang per hari. Setiap bulan, upaya terus dilakukan agar target tersebut tercapai seperti program kerja sama dengan sejumlah mitra angkutan bus pengumpan, taksi, dan ojek daring, serta program kemitraan seperti pemberian diskon melalui permainan aplikasi ponsel Maingame, fitur nonton gratis oleh TrueID, hingga program cashback melalui LinkAja.
PT MRT Jakarta (Perseroda) juga menyelenggarakan kuis tentang idol KPop yang sedang digemari masyarakat serta mendukung terselenggaranya kegiatan Animal Pop Komodo oleh Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif RI di Stasiun Bundaran HI. Kegiatan Animal Pop Komodo ini mendongkrak jumlah pengguna jasa MRT Jakarta di Stasiun Bundaran HI sebesar 21 persen.
Bagaimana dengan Busway? Seperti protokol angkutan umum di kota- kota dunia, Trans Jakarta juga menggunakan standar sama, di masa pandemi. Tahap pertama, scan barkot di Pedulilindungi.
Pada tahun 2011, sistem ini mencapai kinerja puncak tahunan dengan bus membawa 114,7 juta penumpang dan kemudian pada tahun-tahun berikutnya jumlahnya menurun dan pada tahun 2014, bus membawa 111,6 juta penumpang. Pada tahun 2015 melayani 102,95 juta penumpang. Pada 2016, rekor baru 123,73 juta penumpang tercapai.(*)
–*Penulis adalah Wartawan Senior–