JAKARTA, JOGLOSEMARNEWS.COM – Masyarakat agaknya harus bersiap kembali menerima kenyataan potensi naiknya harga bahan bakar minyak (BBM).
Setelah harga Pertamax dinaikkan, kini BBM bersubsidi jenis Pertalite diproduksi bakal menyusul.
Pertalite yang kini berbanderol Rp 7.650 perliter diperkirakan akan naik menjadi Rp 10.000 perliter. Tingginya inflasi dan beban keuangan negara untuk subsidi disebut menjadi faktor yang membuat harga BBM subsidi bakal sulit diselamatkan dari kenaikan.
Prediksi itu disampaikan Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira memperkirakan harga Pertalite akan naik dari Rp 7.650 per liter menjadi Rp 10 ribu per liter.
Dengan demikian, inflasi 2022 bisa menembus 6-6,5 persen secara year on year.
Bhima menyebut dampak kenaikan BBM akan dirasakan langsung oleh masyarakat. Daya beli masyarakat bakal menurun dan mendorong bertambahnya jumlah orang miskin baru.
“Karena konteksnya masyarakat saat ini sudah menghadapi kenaikan harga pangan, dengan inflasi mendekati 5 persen,” kata Bhima seperti dilansir Tempo.co Rabu, (17/8/2022).
Pemerintah sebelumnya telah memberi sinyal kenaikan harga BBM bersubsidi. Sinyal ini menguat setelah anggaran subsidi dan kompensasi energi membengkak sampai Rp 502 triliun.
Bhima mengatakan di tengah pemulihan ekonomi setelah pandemi Covid-19, kenaikan harga BBM bisa memberikan pukulan berat bagi masyarakat.
11 Juta Orang Kehilangan Pekerjaan
Apalagi, saat ini ada 11 juta lebih pekerja yang kehilangan pekerjaan, jam kerja dan gaji dipotong, hingga dirumahkan.
Jika situasi itu diperberat dengan kenaikan harga BBM bersubsidi, Bhima khawatir tekanan ekonomi untuk 40 persen kelompok rumah tangga terbawah akan semakin dalam. “Belum lagi ada 64 juta UMKM yang bergantung dari BBM subsidi,” ujarnya.
Bhima melanjutkan, pemerintah perlu memikirkan efek kenaikan harga BBM bersubsidi ke UMKM. Sebab saat ini, penikmat BBM bersubsidi bukan hanya pengguna kendaraan pribadi, tapi juga untuk kendaraan operasional UMKM.
Peneliti dari for Development of Economics and Finance (Indef) Nailul Huda berpendapat, pilihan pemerintah cukup sulit dalam memutuskan kebijakan BBM bersubsidi.
Jika harga BBM naik di tengah risiko kenaikan harga barang secara global, kondisi tersebut akan membuat inflasi Indonesia semakin tidak terkendali. Apalagi saat ini, inflasi Indonesia sudah mencapai 4,94 persen.
“Jika ada kenaikan BBM akan membuat inflasi akan semakin tinggi. Bisa mencapai lebih dari 7 persen bila Pertalite dinaikkan,” kata Nailul saat dihubungi hari ini.
Inflasi 7 persen itu, bisa terjadi jika kenaikkan BBM subsidi lebih dari 50 persen. Menurutnya, jika BBM bersubsidi naik, semua harga barang akan naik dan transportasi bisa terkerek semakin tinggi.
Namun, jika BBM bersubsidi tidak dinaikkan, beban APBN semakin berat. “Maka memang langkah paling pas adalah menaikkan harga BBM non pertalite. Jadi pertalite masih tetap harganya,” ujarnya
Namun demikian, kata dia, kebijakan tersebut pasti akan diikuti oleh pergeseran konsumsi dari Pertamax ke Pertalite.
Karena itu, dia menyebut perlu ada antisipasi dari sisi penerima manfaat subsidi dan stok.
Nailul kemudian menyarankan, jika pemerintah tidak menaikkan harga BBM bersubsidi, negara perlu merealokasi anggaran tidak produktif dan anggaran pertahanan Indonesia yang terlalu besar.
Anggaran untuk infrastruktur bisa dialihkan ke belanja subsidi maupun bantuan sosial.
“Anggaran untuk food estate, IKN, ataupun KCJB bisa dialihkan ke subsidi. Tapi masalahnya apakah pemerintah mau untuk realokasi anggaran tersebut? Tentu tantangan realokasi anggaran ini sangat berat,” ujar Nailul.
Selain itu, ada cara lain, yakni dengan menaikkan suku bunga acuan Bank Indonesia guna meredam kenaikan inflasi. Namun, kata dia, BI tampaknya masih berusaha untuk menahan suku bunga acuan meski nilai tukar rupiah melemah dan menambah jebol anggaran subsidi minyak.