SOLO, JOGLOSEMARNEWS.COM – Besaran gaji aparatur sipil negara (ASN) Pemkot Solo tidak cukup untuk membeli rumah. Gaji yang mereka terima setiap bulannya ternyata belum bisa untuk membeli rumah di kawasan Kota Solo ataupun di daerah terdekat dengan Kota Solo.
Menurut Kepala Badan Kepegawaian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BKPSDM) Kota Solo, Dwi Ariyatno, harga tanah dan bangunan di Kota Solo saat ini tidak sebanding dengan penghasilan ASN yang diperoleh setiap bulannya.
“Meski ASN juga menerima tambahan penghasilan pegawai (TPP), masih belum bisa,” ujarnya, Kamis (6/10/10/2022).
Diketahui, gaji pokok ASN Pemkot Solo paling rendah golongan I sebesar Rp 1,8 juta hingga Rp 1,9 juta per bulan. ASN golongan I menerima TPP paling rendah sebesar Rp 1,5 juta. Sehingga penghasilan ASN keseluruhan tanpa pekerjaan sambilan paling rendah sekitar Rp 3 juta.
“Kemudian asumsinya yang paling tinggi adalah ASN golongan IV dimana gaji pokoknya sekitar Rp 4,5 juta. Kalau dia menduduki jabatan misal yang paling tinggi Sekda, ya lumayan. Misal ada tambahan penghasilan di atas Rp 10 juta,” imbuh Dwi.
Dwi mengatakan, ASN Pemkot Solo golongan III dengan penghasilan per bulan Rp 3 juta sampai Rp 7 juta per bulan tidak mencukupi membeli rumah di kawasan terdekat Solo atau lapis satu. Seperti misalnya di kawasan lapis satu yakni Blulukan, Kartasura, Colomadu, Tohudan dan Gawanan, Gentan di mana di daerah tersebut harga tanahnya sudah mahal.
“Lha kemampuan bayar ditambah biaya pembangunan dengan perhitungan angsuran tiap bulan ditambah DP posisinya masih berat. Bisa mengambil 60 persen dari pendapatan keseluruhan ASN,” tuturnya.
Sebaliknya, ASN Pemkot Solo masih memiliki kemampuan untuk membeli rumah yang berada di luar daerah Solo dengaan harga lebih murah. Jika ingin membeli rumah dengan sistem angsuran, lanjutnya, asumsinya bisa mengambil di kawasan lapis tiga ini seperti Ngemplak, Donohudan, Jeruk Sawit, Wonorejo, Mojolaban, atau Bekonang.
“Paling mungkin yang tipe paling kecil 36 harganya Rp 300 juta sampai Rp 400 juta. Namun ketika mendapatkan rumah di sana, pengeluarannya berubah menjadi transport. Pembiayaannya berpindah dari pembiayaan rumah ke pembiayaan mobilitas. Itulah kondisinya,” terang Dwi. (Prihatsari)