Beranda Umum Nasional Hilirisasi Nikel Jokowi Panen Kritik, Masyarakat Miskin Bertambah dan Lingkungan Rusak

Hilirisasi Nikel Jokowi Panen Kritik, Masyarakat Miskin Bertambah dan Lingkungan Rusak

Ilustrasi penambangan nikel | tempo.co

JAKARTA, JOGLOSEMARNEWS.COM Hilirisasi nikel yang dilakukan pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Maluku Utara dinilai justru merusak lingkungan dan tak mampu mengurangi angka kemiskinan di sana.

Lantaran itulah, sejumlah organisasi sipil mengkritik pelaksanaan program tersebut.

Forum Studi Halmahera Maluku Utara atau Foshal Malut, Walhi, Tren Asia, dan YLBHI mengungkap data bahwa hilirisasi nikel di Maluku Utara telah merusak lingkungan sekaligus meningkatkan jumlah penduduk miskin di sana.

Lonjakan angka kemiskinan, bertolak belakang dengan klaim pertumbuhan ekonomi Maluku Utara yang disebut pemerintah tertinggi di seluruh Indonesia.

“Hilirisasi nikel membuat kehidupan warga semakin miskin di tengah berkelindan sumber daya alam, layaknya nikel,” ujar Kepala Divisi Advokasi dan Kampanye Foshal Maluku Utara Julfikar Sangaji, Senin (29/1/2024).

Julfikar berujar, ekonomi Maluku Utara pada 2023 triwulan dua mencapai 23,89 persen. Maluku Utara lantas menyandang wilayah dengan pertumbuhan ekonomi tertinggi di seluruh provinsi di Indonesia, bahkan jauh melampaui pertumbuhan ekonomi nasional. Pemerintah mengklaim pertumbuhan ini disebabkan oleh keberhasilan kebijakan hilirisasi industri nikel.

Namun anehnya, tutur Julfikar, pertumbuhan ekonomi itu tidak selaras dengan angka kemiskinan yang masih terbilang tinggi. Badan Pusat Statistik (BPS) Maluku Utara mencatat penduduk miskin Maluku Utara pada Maret 2022 sebanyak 79.87 ribu orang. Kemudian pada September 2022 jumlahnya naik menjadi 82.13 ribu orang, dan pada Maret 2023 naik menjadi 83.80 ribu orang. Fakta ini menunjukkan bahwa keuntungan hilirisasi nikel hanya dinikmati oleh segelintir orang, di sisi lain sebagian besar masyarakat Maluku Utara justru termiskinkan karena terdampak kerusakan lingkungan.

Adapun hilirisasi merupakan program yang dicanangkan  oleh Presiden Joko Widodo alias Jokowi, melalui Undang-Undang (UU) Nomor 3 tahun 2020 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.

Baca Juga :  Jokowi Tak Lagi Berkuasa, Pemerintah Bakal Hentikan Sementara Bansos Jelang Pilkada, Kecuali Daerah Terdampak Bencana

Melalui beleid itu, pemerintah mewajibkan industri pertambangan melakukan hilirisasi yang tidak lain adalah untuk memberikan nilai tambah bagi hasil tambang. Namun hilirisasi nikel yang terjadi di Maluku Utara, menurut Julfikar, begitu memilukan.

Provinsi Maluku Utara terdapat tiga kawasan hilirisasi industri pengolahan bijih nikel. Dua di antaranya yang sudah beroperasi adalah Harita Nickel di Pulau Obi, Halmahera Selatan dan PT Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP). Perusahaan tersebut terintegrasi dengan PT Weda Bay Nikel, di Weda, Halmahera Tengah.

Sedangkan di Buli, Halmahera Timur, pemerintah berencana membangun pabrik komponen kendaraan baterai listrik tahun ini.

Pabrik itu diprakarsai oleh konsorsium LG dan konsorsium BUMN, yaitu PT Industri Baterai Indonesia atau dikenal Indonesia Battery Corporation (IBC).

Ia menuturkan ketiga kawasan tersebut mendapatkan karpet merah dari pemerintah dengan ditetapkannya sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN).

Keistimewaan juga diberikan pemerintah kepada kawasan industri hilirisasi nikel ini, yakni ditetapkan sebagai Objek Vital Nasional, dan membuat kawasan itu begitu ketat dijaga aparat TNI-Polri.

Akan tetapi, menurut kajian Foshal, hilirisasi nikel yang diandalkan pemerintah ini justru menciptakan kerusakan lingkungan. Kerusakan tidak hanya terjadi di daratan, tapi juga di wilayah pesisir dan laut.

Pada November hingga Desember 2023 lalu, Julfikar menuturkan ada dua peristiwa lingkungan hidup yang dianggap bertalian dengan kebijakan hilirisasi nikel.

Antara lain perubahan warna air laut pada pesisir Pulau Garaga, Kepulauan Obi, Halmahera Selatan dan Pesisir dan laut di Kecamatan Maba, Halmahera Timur.

“Perubahan air laut dengan tampak merah kecoklatan pada kedua lokasi tersebut ditengarai disebabkan oleh industri nikel,” ujarnya.

Menurut Julfikar, daya rusak yang ditimbulkan atas penambangan nikel terus meluas seiring dengan program hilirisasi oleh pemerintah. Dia berujar aktivitas penambangan di Pulau Halmahera ini terpantau mengalami peningkatan eskalasi yang begitu tajam pada 2018.

Baca Juga :  Kecelakaan Beruntun di Tol Cipularang KM 92 Tewaskan 1 Orang dan 22 Luka-Luka

Penambangan bijih nikel juga tak hanya berlangsung di Halmahera, tapi menyasar pada pulau-pulau kecil seperti pulau Gee, Pulau Pakal, Pulau Gebe, dan Pulau Mabuli.

Ia menyebutkan pulau-pulau tersebut sudah lebih dulu porak-poranda, termasuk pulau-pulau di Kepulauan Obi yang bernasib sama.

Padahal, ia menegaskan pulau-pulau kecil memiliki kerentanan ekologis yang tinggi jika ditambang. Pasalnya, daya pulih pulau-pulau kecil dari eksploitasi penambangan lebih lambat.

Pulau tersebut juga merupakan sumber utama kehidupan warga lokal sehingga penambangan tidak hanya menyebabkan kerusakan lingkungan, tetapi juga memicu konflik sosial antar warga.

Karena itu, ia menilai industri hilirisasi nikel yang terpantau agresif di Maluku Utara tidak memberikan manfaat ekonomi terhadap warga lokal terutama warga yang tinggal pada sekitar kawasan hilirisasi. Menurutnya, kebijakan itu justru membuat warga kehilangan sumber produksi ekonomi. Seperti, lahan pertanian, kebun, serta wilayah tangkap ikan.

“Sebaliknya mereka yang notabene bukan warga lokal yang menikmati manfaat atas hilirisasi nikel di Maluku Utara,” ucap Julfikar.  

www.tempo.co