SOLO, JOGLOSEMARNEWS.COM — Petani, buruh, hingga akademisi sepakat Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) dimana salah satunya mengatur rokok akan diproduksi dengan kemasan polos bakal memberikan dampak negatif bagi perekonomian. Kesimpulan tersebut diperoleh usao diskusi dengan tajuk Ruang Rembug dengan tema Dampak Polemik Regulasi Nasional Terhadap Ekosistem Pertembakauan Jawa Tengah, di Kulonuwun Kopi Solo, Kamis (14/11/2024).
Acara tersebut dihadiri Ketua Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) Jateng Nanang Teguh Sambodo, Wakil Ketua Umum Pimpinan Pusat Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan Minuman (FSP RTMM) SPSI Andreas Hua, Pengamat Kebijakan Publik
Dwijo Suyono, serta Pengamat Ekonomi UNS Malik Cahyadin.
Ketua APTI Nanang Teguh nenjelaskan, dampak negatif telah dirasakan petani tembakau bahkan sebelum regulasi tersebut diterapkan. Dimana industri tembakau mulai membatasi pembelian dari petani.
“Sekarang sudah ada pembatasan. Industri akan mencermati dengan peraturan tersebut. Kalau dulu berani stok. Kalau sekarang tidak berani. Sekarang menjual ke pasar kebutuhannya sedikit,” bebernya.
Sementara itu, Wakil Ketua Umum Pimpinan Pusat Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan Minuman (FSP RTMM) SPSI Andreas Hua mengungkapkan kekhawatirannya terkait kemasan polos rokok yang dinilai akan membuat industri makin kesulitan menjual produknya. Saat pendapatan perusahaan berkurang maka buruh selalu menjadi korban.
“Kalau margin perusahaan makin kecil otomatis biayanya makin ditekan. Perusahaan yang menjadi sasaran utama adalah tenaga kerja. Upah setiap tahun naik,” terangnya.
Di sisi lain, Pengamat Kebijakan Publik Dwijo Suyono menilai tak seharusnya ekosistem pertembakauan ditekan sedemikian rupa. Apalagi industri rokok ini justru termasuk yang paling besar menyumbang APBN.
“Pajak rokok tahun 2023 sebesar 213,48 triliun. APBN sekitar 2 ribu triliun. Hampir 10 persen dari pajak rokok. Tapi kenapa industri ditekan dengan berbagai kesulitan,” tandasnya. Prihatsari