Namanya Mbah Mardjo Utomo (75), lelaki tua yang masih nampak energik di usia senjanya saat ini. Hobinya pun menghisap lintingan rokok kertas tanpa mengenal waktu. Badannya kecil, namun kedua kakinya terlihat membengkak. Ia pun sangat ramah kepada tamu yang mengunjungi rumahnya di dusun Turgo RT 03 RW 02 Kelurahan Purwobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, DIY. Rumah ini hanya berjarak 5,5 KM saja dari Gunung Merapi.
Namun, tampaknya perlu menjaga emosi Mbah Mardjo, apabila ingin mengorek kisah tentang Letusan Merapi yang cukup dahsyat hampir 24 tahun lalu. Sebab ingatan Mbah Mardjo seakan masih merekam jelas setiap bencana yang penuh dengan duka, air mata, kehilangan dan kesedihan tersebut.
Ya, Mbah Mardjo adalah salah satu saksi hidup bencana Gunung Merapi pada tahun 1994 lalu, di mana saat itu menelan korban nyawa hingga 68 orang dari Desa Turgo, Tegal, Titis dan Ngandong. Ironisnya, sebelum Merapi mengamuk, Mbah Mardjo menjadi orang yang mendapat pertanda. Hanya saja pertanda yang diperolehnya lewat mimpi itu, justru tidak digubris, bahkan dicueki sanak keluarga, dan masyarakat, sehingga banyak korban yang tidak dapat menyelamatkan diri. Bencana Merapi meletus itu tepatnya pada Selasa Kliwon, 22 November 1994.
“Aku kelangan anakku wedok nomor loro, Tumirah dan putuku Nugroho Susanto (3,5 Tahun), dan keluarga besarku. Sapi babon papat sing lagi peres yo dadi awu,”cerita Mbah Mardjo kepada Joglosemarnews beberapa waktu lalu. Kala menceritakan luka itu sebutir air mata yang sudah mengembang di pelupuk mata, akhirnya jatuh ke pipi. (Tahun 1994 itu, aku kehilangan anak perempuanku nomor 2, Tumirah dan cucuku Nugroho Susanto (3,5tahun) dan keluarga besarku. Sapi betina yang baru saja melahirkan juga jadi abu).
Dalam bencana Merapi memuntahkan material (meletus ) itu, puluhan orang menjadi korban, beruntung Mbah Mardjo masih diberikan keselamatan. Ia ditemukan pingsan, setelah terpental beberapa kilometer dari lokasi bencana dengan luka bakar yang parah pada telinga, kaki, dan tangannya. Badannya penuh dengan luka melepuh bahkan harus dirawat di RS Sardjito DIY selama 3, 5 bulan lamanya. Di RS itulah ia dipertemukan dengan istrinya yang turut selamat dari amukan Merapi. # Kiki Dian