Cerpen Sulistiyo Suparno
Sakiman membuka kaos hitamnya dan menyerahkan senapan angin pada Badrun. Sakiman berdiri di bawah sebatang pohon pinus dan berkata, “Kau pilih bagian mana tubuhku yang kau suka. Bidik dan tembaklah!”
Badrun mengisikan peluru timah mungil pada senapan di tangannya. Orang kampung menyebut peluru timah mungil itu gotri. Badrun mengokang senapan itu beberapa kali.
Saya melihat tangan Badrun gemetar. Ia menghela napas, lalu meletakkan popor senapan ke bahu kanan, memiringkan kepala ke kanan dan memicingkan mata kanan.
Saya memejamkan mata. Dada saya berdebaran dan jantung saya seakan mau loncat ketika saya mendengar suara tembakan. Jret!
Saya mendengar Sakiman tertawa. Saya membuka mata dan melihat Sakiman masih berdiri membusungkan dada.
“Sekarang kamu percaya kalau aku kebal peluru?” tanya Sakiman.
Badrun mengangguk.
“Duduklah! Istirahat.” Sakiman meraih senapan dari tangan Badrun, lalu menoleh pada saya dan Soleh. “Siapa lagi yang mau mencoba?”
“Aku!” Soleh sigap menjawab. Sakiman melemparkan senapan dan Soleh menangkapnya dengan tangkas.
Sakiman berdiri di bawah sebatang pohon pinus yang tadi. Sekira lima meter di depannya, Soleh telah siap dengan senapan.
“Lebih dekat lagi. Majulah!” kata Sakiman.
Soleh maju beberapa langkah. Sekarang jarak mereka sekira tiga meter.
“Kokang yang banyak. Bila perlu seratus kali!” teriak Sakiman.
Soleh bersemangat mengokang senapan. Saya tak sempat menghitung dalam hati berapa kali kawan saya yang tukang ojek itu mengokang. Banyak dan cepat kali Soleh melakukan itu. Kawan saya itu juga lebih terampil membidik; tenang dan tegas.
Lagi, saya memejamkan mata. Kali ini dada saya berdebar wajar dan jantung saya masih melekat kuat, meski mendengar suara tembakan. Jret!
Saya membuka mata dan melihat Sakiman membentangkan kedua tangan dan membusungkan dada.
“Cepat tembak! Cepat tembak!” kata Sakiman menantang.
“Aku sudah mengokang dua puluh kali. Mengapa tak tembus?” sahut Soleh memandang takjub.
***
Dua belas tahun silam selepas SMP, Sakiman mengikuti ajakan teman kampung sebelah untuk merantau ke Jakarta. Kabarnya menjadi kuli bangunan, tetapi hanya bertahan dua bulan, setelah itu ia merantau ke Banten untuk belajar kesaktian.
Dua hari lalu ia pulang dan menghabiskan malam bersama kami di pos ronda. Malam itu selepas dua belas tahun menghilang dari kampung, Sakiman mengaku tubuhnya kebal peluru.
Tentu saja kami tertawa. Orang yang terlalu lama merantau, kadang suka membual. Kalau ada kucing yang mengejar tulang-tulang yang menonjol di tubuh Sakiman, itu kami percaya. Kebal peluru? Tentu saja kami terpingkal-pingkal.
“Besok kubuktikan. Kau bawa bedil dan gotri yang banyak!” kata Sakiman menatap tajam pada saya. Wah, bagaimana Sakiman tahu kalau saya punya senapan.
***
Minggu pagi ini langit di atas kampung biru cerah. Segerumbul awan putih memanjang bak senapan. Sekira pukul sembilan pagi, kami berempat mengendarai dua motor menuju hutan pinus di pinggang bukit Lobang di tenggara Batang, Jawa Tengah. Hutan pinus itu hanya sepuluh menit dari kampung kami.
Kami memarkir motor di tepi jalan berbatu—jalan yang menghubungkan kampung kami dengan kampung lain. Kami berjalan memasuki hutan milik Perhutani sekira dua puluh meter dan menemukan sebidang tanah yang cukup lapang.
Kami berhenti, memandang sekeliling dan memastikan itu tempat yang tepat untuk memulai sebuah atraksi. Pepohonan pinus tinggi menjulang, belukar tak terlalu rapat.
***
Sakiman meraih senapan dari tangan Soleh dan menatap saya.
“Giliran kau, Seno. Kokang sebanyak kau mampu!” kata Sakiman.
Gemetar tangan saya menggenggam senapan itu. Dua gotri gagal menembus tubuh Sakiman. Bagaimana bila gotri ketiga nanti menembus jantung Sakiman? Saya bisa masuk bui dan rencana saya menikahi Rukayah bulan depan gagal.
“Tidak,” saya menyodorkan senapan itu pada Sakiman. “Sudah siang. Aku harus ke pasar, jaga kios. Ayah bisa marah kalau aku tak datang.”
Sepasang mata Sakiman melotot.
“Kau meremehkanku, hah? Belasan tahun aku belajar kesaktian di Banten dan sekarang kau meremehkanku? Bajingan, kau!” Sakiman mencengkeram kerah baju saya.
Saya menoleh pada Badrun dan Soleh yang berdiri terpaku di tempat masing-masing; wajah mereka memendam takut. Melalui isyarat mata, Badrun memerintahkan saya untuk menuruti perintah Sakiman.
“Baiklah,” kata saya pada Sakiman, lalu meraih kembali senapan dari tangannya. Saya menghela napas mengumpulkan nyali.
Sakiman sudah berdiri di bawah sebatang pohon pinus dan saya berdiri sekira lima meter di depannya, memasukkan gotri. Popor senapan telah bertengger di bahu kanan saya.
Saya memicingkan mata kanan dan menahan napas. Telunjuk kanan saya siap menarik picu, ketika tiba-tiba terdengar suara ranting berderak.
Kami semua menoleh ke arah jalan. Mendekat ke arah kami, seorang lelaki muda berjenggot. Ia mengenakan baju koko coklat dan celana panjang hitam. Di punggungnya ada tas ransel yang lusuh dan tangannya menenteng botol air mineral yang kosong.
Lelaki muda itu mengucap salam ketika sampai di dekat kami.
Saya, Badrun, dan Soleh hampir bersamaan menjawab salamnya, tapi Sakiman hanya diam dan memandang curiga pada lelaki muda berjenggot itu.
Lelaki muda itu membungkukkan badan dan menjabat tangan saya, Badrun, dan Soleh. Tetapi Sakiman menepiskan tangan lelaki muda itu ketika akan menjabat tangannya dan berkata, “Siapa kau dan ada urusan apa kau ke sini?”
“Perkenalkan, nama saya Amin. Saya sedang melakukan perjalanan ke berbagai tempat. Persediaan air minum saya habis. Apakah kalian tahu di mana saya bisa menemukan sumber air?” kata lelaki muda itu tersenyum dan menunjukkan botol airnya yang kosong.
“Pergilah ke selatan. Satu kilo dari sini ada mata air,” kata Sakiman.
“Masih jauh rupanya. Bila begitu, izinkan saya istirahat dulu di sini barang lima atau sepuluh menit,” kata lelaki berjenggot.
“Apa kamu musafir?” tanya saya
“Saya lebih senang disebut pengelana,” jawabnya, lalu melirik senapan di tangan saya. “Kalian sedang berburu?”
Saya sigap menjawab, “Bukan. Kami sedang melakukan atraksi.”
“Atraksi?”
Saya melirik ke arah Sakiman.
“Dia Sakiman, kawan kami. Dia kebal peluru. Dua dari kami sudah menembaknya, tetapi Sakiman masih segar bugar. Kamu mau mencobanya….menembak Sakiman?”
Lelaki pengelana itu terdiam beberapa saat, sebelum akhirnya menjawab, “Bolehkah?”
Saya menatap Sakiman dan bertanya, “Bagaimana, Man?”
Sepasang mata Sakiman masih berkilat. Ia terdiam beberapa saat pula. Dada saya berdebaran dan berharap dugaan saya benar. Sakiman pasti akan menerima “tantangan” saya. Sakiman tentu tak mau mendapat malu di hadapan saya, Badrun, dan Soleh.
“Serahkan bedil itu padanya!” perintah Sakiman, lalu berdiri di bawah pohon pinus itu untuk ke sekian kali.
Si Pengelana sudah berdiri sekira lima meter di depan Sakiman dan telah siap membidik.
“Pada hitungan ketiga saya akan menembak,” kata si Pengelana.
“Terserah kau!” kata Sakiman.
Saya terkejut melihat apa yang dilakukan Sakiman kali ini. Ia terlihat tegang. Ia merentangkan kedua tangan, menarik napas, menangkupkan kedua telapak tangan di depan dada, lalu….
“Mengapa Sakiman memejamkan mata?” bisik Badrun di telinga saya.
“Sakiman seperti ketakutan,” bisik Soleh pula.
“Entahlah. Mungkin dia sedang memanggil lebih banyak jin,” kata saya.
“Jin?”
Saya tak menjawab pertanyaan Badrun. Saya memandang pada Sakiman dan si Pengelana. Kali ini saya akan membuka mata dan tiada berkedip.
Sakiman masih memejamkan mata dan wajahnya begitu tegang.
Sempat saya mendengar si Pengelana menggumam, entah apa, sebelum dia mulai menghitung, “Satu, dua…”
“Tiga,” saya ikut mengitung dalam hati. Jret!
Sebelum suara jret itu terdengar, saya melihat si Pengelana mengubah arah bidikannya; dari dada ke paha kiri Sakiman.
Sakiman menjerit dan tersungkur memegangi paha kirinya yang berdarah. Saya, Badrun, Soleh berlari dan merubung Sakiman. Badrun berlari menuju motornya. Saya dan Soleh menggotong tubuh Sakiman, lalu menaikkan ke boncengan motor. Soleh sigap duduk di belakang Sakiman.
“Cepat, bawa ke puskesmas!” kata saya.
“Kau jaga motorku. Ini kuncinya,” sahut Soleh menyerahkan kunci motor pada saya.
“Ya.”
Motor menderu meninggalkan hutan itu. Saya mendekati si Pengelana. “Sekarang bagaimana?” tanya saya.
“Temanmu akan segera sembuh.”
“Kamu yakin?” tanya saya.
“Bila ia lulus dari pelajaran ini,” sahut si Pengelana bersiap untuk pergi.
“Kamu mau ke mana?” tanya saya.
“Bisa kamu antar saya ke tempat Kiai Muhaimin?” Si Pengelana balik bertanya.
“Kamu santri di sana?”
“Bukan. Saya pengelana, ingin bersilaturahim dengan beliau.”
“Baiklah. Ayo, naik.”
Saya menekan tombol starter motor bebek Soleh.
“Bedilnya?” tanya si Pengelana.
“Buang saja!”
Motor melaju ke arah puncak bukit di selatan, berguncang-guncang karena jalanan berbatu. Lima kilometer lagi kami akan sampai ke tujuan.
Di perjalanan, pikiran saya memusat pada pertanyaan: mengapa si Pengelana mampu mendarahkan tubuh Sakiman? Ketika sampai di depan gerbang tempat yang kami tuju, saya bertanya pada si Pengelana.
“Apakah kedua temanmu itu sebelum menembak sudah berdoa?” si Pengelana balik bertanya.
Saya tertegun, mengangguk dan tersenyum., lalu berkata, “Terima kasih, kawan.”
Sulistiyo Suparno, lahir di Batang 9 Mei 1974. Gemar menulis cerpen sejak SMA. Cerpen-cerpennya tersiar di berbagai media, baik media cetak atau online. Bermukim di Limpung, Batang, Jawa Tengah. Dapat dihubungi di Facebook: Sulistiyo Suparno atau Surel: sulisjateng@gmail.com