JAKARTA – Isu mengenai Tenaga Kerja Asing (TKA) di Indonesia yang sempat berhembus, rupanya membuat Presiden Joko Widodo (Jokowi) merasa gerah juga. Sampai-sampai, di luar kebiasaan, Presiden Jokowi bersuara lantang meluruskan isu tersebut.
Pernyataan Jokowi itu diungkapkan saat menemui kader ulama Majelis Ulama Indonesia (MUI), Rabu (8/8/208). Kemarin, di kantor Bupati Bogor, suara Jokowi meninggi saat mengklarifikasi kabar fitnah yang menuduhnya sebagai antek asing.
Terkait dengan kabar fitnah antek asing itu, salah satu isu yang diluruskan Jokowi adalah soal tenaga kerja asing (TKA) di Indonesia, khususnya yang berasal dari Cina. Ia menyatakan banyak kabar tak jelas yang menyebutkan ada 10 juta TKA dari Cina yang masuk ke Indonesia. Padahal yang ada hanya 23 ribuan TKA Cina, tak sampai 1 persen dari total penduduk Indonesia.
“Saya blak-blakan, 23 ribu, iya. TKA, mereka kerja di sini. Tapi juga tidak kerja terus-terus. Mereka masang turbin, smelter kita memang belum siap melakukan itu. Sehingga mereka harus di sini 4-6 bulan untuk masang,” ujarnya, Rabu (8/8/2018).
Jokowi lantas membandingkannya dengan tenaga kerja Indonesia (TKI) di Cina dan Malaysia, yang masing-masing berjumlah 80 ribu orang dan 1,2 juta orang. Bahkan jika ditambah dengan jumlah TKI ilegal bisa mencapai 2 juta orang. Jokowi pun kembali heran Malaysia tidak ribut dengan banyaknya TKI di negara mereka.
“Bandingkan coba TKA di Uni Emirat Arab 80 persen asing semuanya, mereka senang-senang saja, enggak ada masalah. Di Arab Saudi, 33 persen tenaga kerja asing. Kita 1 persen aja enggak ada,” ucap Jokowi.
Tempo yang ikut serta dalam rombongan Kantor Staf Presiden saat meninjau kawasan PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) pada awal pekan ini, mendapati bahwa TKA menempati berbagai posisi kerja. Di kawasan industri tersebut terdapat 3.121 TKA Cina. Dari total pekerja di IMIP 28.568 orang, berarti 10,9 persen di antaranya merupakan TKA Cina.
CEO PT IMIP Alexander Barus menyebutkan TKA Cina di Morowali kebanyakan berada di level 3-4 atau setingkat manajer dan direksi.
“Tapi ada juga yang di lapangan yang bawa mobil stir kiri itu memang TKA. Kalau yang bawa tenaga kerja Indonesia agak berisiko karena kan kita biasanya stir kanan,” ujarnya di Bandar Udara Morowali, Sulawesi Tengah, Rabu (8/8/2018). Selain itu, ada sejumlah TKA dari Cina yang bertugas sebagai koki di dapur.
Sebelumnya, Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dhakiri mengatakan, sejak 2007, jumlah tenaga kerja asing asal Cina merupakan mayoritas di Indonesia. Dia menyebutkan ada 24 ribu pekerja Cina yang bekerja di Tanah Air. Meski begitu, angka tersebut masih sangat terkendali.
Pernyataan itu merespons temuan Ombudsman bahwa banyak TKA yang bekerja tidak sesuai dengan bidang yang tercantum di visa kerja dan izin mempekerjakan tenaga asing (IMTA). Ombudsman juga menemukan banyak di antara tenaga kerja asing yang masih aktif bekerja, padahal masa berlaku IMTA sudah habis dan tidak diperpanjang.
Anggota Ombudsman RI Bidang Pengawasan Sumber Daya Alam, Tenaga Kerja, dan Kepegawaian, Laode Ida, sebelumnya mengatakan tenaga kerja asal Cina yang bekerja di Tanah Air mendominasi TKA dari negara lain. Hal tersebut berdasarkan investigasi yang dilakukan Ombudsman.
Dalam investigasi itu, Ombudsman menemukan banyak di antara para TKA yang bukan tenaga ahli, melainkan hanya pekerja kasar tanpa keahlian. Selain itu, Ombudsman menemukan banyak TKA yang bekerja tidak sesuai dengan bidang yang tercantum di visa kerja dan IMTA. Selain itu, ada temuan TKA masih aktif bekerja, padahal masa berlaku IMTA sudah habis dan tidak diperpanjang.
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal khawatir, meskipun angkanya masih terbilang kecil, TKA Cina bisa jadi akan menetap lama di Indonesia. “Sejarah mencatat begitu. Orang Cina mempunyai karakter menetap di mana mereka bekerja karena jumlah mereka banyak,” ucapnya.
Menurut data KSPI 2016, menurut Iqbal, TKA Cina di level rendah tidak hanya ada di Morowali, tapi juga berada di Konawe, Kendari, Buleleng, Bali, Bayah, Karawang, Tangerang, Bekasi, dan Jakarta. Jumlahnya memang tidak terlalu besar dibandingkan dengan Morowali, hanya sekitar ratusan dan seribuan orang.
“Beda dengan di Morowali karena itu pertambangan, tapi kalau jumlahnya ratusan dan hampir seribuan itu ada di manufaktur, pabrik baja, dan lain-lain,” tutur Iqbal.