JAKARTA – Goenawan Mohammad meluncurkan novel perdananya Surti + Tiga Sawunggaling. Novel tersebut dikembangkan dari naskah lakon kisah tiga burung sawunggaling yang sering keluar pada malam hari dari kain mori yang digambar Surti.
Goenawan menyebutkan alasan ia mengembangkan naskah lakon Surti + Tiga Sawunggaling menjadi novel, lantaran ia ingin bereksperimen membuat karya dalam bentuk baru.
“Saya belum pernah membuat novel. Jadi mau mencoba karena bahannya sudah ada,” ujar Goenawan saat ditemui, Kamis (13/9/2018).
Goenawan Mohamad mengembangkan naskah lakon Surti + Tiga Sawunggaling dalam waktu empat bulan. Dalam kurun tersebut ia melengkapi nakah dengan melakukan serangkaian proses riset.
“Naskah Surti ini dirombak lagi. Dalam naskah lakon tak ada kota jadi saya melakukan surve tempat,” tuturnya.
Degayu menjadi salah satu lokasi yang dimaksud Goenawan. Daerah di kawasan Pekalongan Utara ini menjadi latar tempat Surti, tokoh utama novel ini berada. Berikut dengan peristiwa di era kemerdekaan. Goenawan Mohamad merasa cukup tertolong saat memerlukan deskripsi soal kawasan pantai utara Jawa, “Saya lahir di sana,” ujarnya.
Menulis novel lanjutnya, menjadi sebuah pengalaman yang asyik. Melakukan riset, membuat deksripsi yang lebih terang, serta mengembangkan adegan yang mustahil namun masih bisa diterima dan asyik dinikmati. Meski karyanya ini sebuah produk fiksi, keberadaan unsur fantasi di dalamnya juga dilatari peristiwa nyata yang kuat.
Surti + Tiga Sawunggaling adalah kisah tentang tiga ekor burung sawunggaling yang tiap malamnya keluar dari kain yang dibatik seorang perempuan bernama, Surti. Tiga burung ini kerap membawa kisah yang senantiasa membuat Surti terhibur. Burung-burung ini kerap membawakan cerita tentang Jen, seorang komandan gerilya, aktivis pergerakan yang mati dibunuh tentara Belanda.