
JAKARTA – Putusan Mahkamah Agung (MA) yang mengabulkan permohonan gugatan tentang bekas napi korupsi mencalonkan diri sebagai calon anggota legislatif atau caleg menimbulkan reaksi bagi beberapa pihak.
Salah satunya, Koalisi Masyarakat Sipil akan mengeksaminasi putusan MA tersebut.
“Eksiminasi publik ini perlu untuk melihat isi dan pertimbangan Mahkamah Agung dalam putusan,” kata peneliti Network For Democracy Electoral Integrity, Hadar Nafis Gumay di Jakarta Selatan, Minggu (16/9/2018).
Meski telah diputuskan oleh MA, Hadar berpendapat masih ada kekurangan dari MA mengabulkan permohonan gugatan terhadap Peraturan Komisi Pemilihan Umum atau PKPU Nomor 20 Tahun 2018, yang melarang bekas napi korupsi mencalonkan diri sebagai anggota legislatif.
Pertimbangannya, proses persidangan MA dilakukan secara tertutup. Pendapat dari KPU dan pakar hanya diberikan dalam bentuk tulisan.
“Bukan secara lisan,” ujar Hadar.
Koalisi Masyarakat Sipil terdiri dari Netgrit, Indonesia Corruption Watch, Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi, Pusat Kajian Politik UI dan sejumlah pakar politik.
Koordinator Indonesia Corruption Watch Donal Faris mengatakan, eksaminasi publik itu untuk mengkaji putusan MA yang mengabulkan PKPU nomor 20 itu secara akademik. “Ada kejanggalan baik formil dan materil dalam putusan MA itu.”
Sebagaimana diberitakan sebelumnya, Kamis lalu (13/9/2018), MA mengabulkan permohonan gugatan terhadap Peraturan Komisi Pemilihan Umum atau PKPU Nomor 20 Tahun 2018, yang melarang bekas napi korupsi mencalonkan diri sebagai caleg.
Larangan eks napi korupsi menjadi caleg menuai polemik saat dicantumkan KPU dalam PKPU Nomor 20 Tahun 2018. Peraturan itu juga melarang mantan narapidana narkoba, pelaku kejahatan seksual terhadap anak, dan mantan koruptor menjadi calon legislator.
KPU mencoret bakal calon legislator yang diajukan partai politik jika terbukti pernah terlibat kasus-kasus itu. MA mengabulkan gugatan termohon karena menilai larangan napi korupsi menjadi caleg bertentangan dengan undang-undang yang lebih tinggi.
Pasal 240 ayat (1) huruf g Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu menyatakan bakal calon DPR dan DPRD harus memenuhi persyaratan: tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, kecuali secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana.