Kisah mengharukan ini terjadi pada bocah 19 bulan asal Gunungkidul. Ia menjadi korban gempa Donggala. Gempa berkekuatan 7,7 SR itu mengguncang Donggala, Sulawesi Tengah pada Jumat (28/9/2018), yang diikuti dengan tsunami.
Tragedi itu meninggalkan kisah memilukan pada keluarga almarhum Suryanto dan Wahida, warga Balaroa, Palu.
Suryanto merupakan warga asli Gunungkidul yang merantau ke Palu sejak 2006 silam.
Suryanto meninggal dunia karena tertimpa bangunan, sementara putrinya, Raisa Putri Adila yang berusia 19 bulan, harus kehilangan kaki kanannya karena diamputasi.
Pada Sabtu (13/10/2018), keduanya diantar oleh relawan Muhammadiyah Yogyakarta pulang ke Dusun Mengger, Desa Karangasem, Kecamatan Paliyan, Gunungkidul.
Sabtu petang, puluhan warga dan sanak saudara sudah menunggu di rumah yang cukup besar, dan baru selesai dibangun Suryanto beberapa bulan lalu.
Raisa tampak digendong oleh kerabatnya. Ia tampak tenang meski kaki kanannya terdapat perban sehabis operasi amputasi.
Sesekali Raisa tersenyum saat beberapa sanak keluarga menyapanya dan kembali memeluk wanita berbaju pink yang menggendongnya.
Sementara, Wahida di dalam rumah bersama kerabatnya.
Salah seorang relawan dari Muhammadiyah, Irvan Yusuf menceritakan, relawan Muhammadiyah dari Yogyakarta yang membantu korban bencana mendapatkan informasi adanya korban yang berasal dari Yogyakarta, tiga hari pasca gempa atau pada Senin (1/10/2018).
“Ketika kami operasi SAR di Palu, kami mendapatkan informasi mengenai adanya warga Yogyakarta yang menjadi korban. Kami mencoba melacak ternyata ketemu di Rumah Sakit (Yayasan) Al Khairaat, (Rumah Sakit) Al Jufri, Palu. Kemudian kami menemukan Dik Raisa ini,” kata Irvan.
Dia menceritakan, dari informasi yang diperoleh, saat gempa dahsyat yang terjadi di Sulawesi Tengah, Raisa bersama Suryanto, sementara Wahida tengah keluar rumah.
Rumah mereka rata dengan tanah, Raisa dan ayahnya tertimbun bangunan, bahkan terjebak semalam.
Dia baru biasa dievakuasi, pada Sabtu (29/10/2018) sekitar pukul 10.00 WIB. Suasana panik saat itu, membuat Wahida tidak bisa menemukan anak dan suaminya.
“Bapaknya tertimpa beton rumah, Bapaknya kelihatannya mau menyelamatkan Raisa ini. Raisa kakinya terjepit beton, sehingga menimbulkan luka cukup parah. (lokasi ditemukan) Enggak jauh dari bapaknya,” ujar Irvan.
“Terpisah dengan ibunya, bisa ketemu ibunya pada hari Senin (1/10/2018). Dan baru dioperasi (amputasi) seminggu yang lalu, mungkin karena ada pertimbangan keluarga,” lanjut dia.
Berdasarkan permintaan keluarga, keduanya dibawa pulang ke Gunungkidul. Relawan Muhammadiyah akan melakukan pendampingan psikologis dan medis hingga Raisa sembuh.
Adik Suryanto, Heru Lukito menambahkan, pihak keluarga ingin agar Raisa bisa tumbuh besar di Desa Karangasem.
Apalagi, Suryanto sudah membangun rumah cukup megah sebelum peristiwa itu terjadi.
“Keluarga ingin Raisa di Jawa saja, sampai besar besuk. Ibunya juga di sini. Jika ingin pulang menengok keluarga di sana enggak apa-apa,” ujar Heru.
Suryanto merupakan warga Dusun Mengger, dan menikah dengan Wahida warga asli Palu.
Suryanto tinggal di Palu sejak sekitar tahun 2006. Ia bekerja di sebuah percetakan, dan berbisnis percetakan.
Selama tinggal di Palu, Surynto sering pulang. Kurun waktu 2018, sudah beberapa kali ia pulang kampung.
“Januari lalu (2018) pulang, lalu Lebaran juga pulang. Rencananya Desember besok juga pulang,” kata Heru.
Heru menceritakan, keluarga di Gunungkidul baru mendengar kabar kondisi keluarga Suryanto setelah tiga hari pasca gempa, karena komunikasi terputus total.
“Mendengar kabar tiga hari setelah gempa Senin Malam, dari Saudara yang istrinya orang Palu, tetapi tinggal di sini. Dia mendapatkan informasi dari teman-temannya di sana lewat Facebook, karena komunikasi terputus total,” ujar Heru.
Suryanto baru bisa dievakuasi beberapa hari pasca gempa, dan dimakamkan di Palu.