GUNUNGKIDUL – Perkembangan teknologi yang demikian cepat, ternyata tidak lantas menggusur produk masa lalu. Teknologi dalam hal alat-alat pertanian misalnya.
Nyatanya, alat pertanian tradisional seperti cangkul, sabit dan semacamnya masih erat di kalangan petani Gunungkidul. Hal inilah yang menjadikan profesi pandai besi masih diperhitungkan.
Tak terkecuali Marmin warga Kajar, Karangtengah, Wonosari, Kabupaten Gunungkidul yang sudah menggeluti dunia pandai besi selama puluhan tahun.
Diawali dari pekerjaannya berjualan alat-alat pertanian dengan mengayuh sepeda dari sebuah desa ke desa yang lain, Marmin memiliki mimpi sederhana.
Lulusan Sekolah Dasar ini bercita-cita menjadi pedagang alat pertanian, karena menurutnya alat tani membawa berkah tersendiri.
Pada tahun 1985, dari hasilnya berjualan keliling, ia putuskan untuk membuat pande besi, yang bertahan hingga saat ini.
Memanfaatkan lahan yang terletak di teras belakang rumahnya, Marmin pun membuat peralatan pertanian.
Tempat ini pun penggunaannya dibagi menjadi tiga bagian, yakni bagian untuk menempa besi-besi, bagian mengasah hasil tempaan dan bagian untuk membuat tempat pegangan yang terbuat dari kayu.
Di dalam tempat penempaan, terdapat tujuh orang yang sedang menempa besi dan sembilan orang yang bertugas mengamplas, membuat genggaman dari kayu, memotong besi, dan mengelas.
Masing-masing dari mereka memiliki tugas masing-masing untuk menempa besi dalam satu kelompok dilakukan 2-4 orang sedangkan satu orang lagi bertugas mengambil besi dan memegang yang dipanaskan.
“Prosesnya besi-besi yang berukuran besar diblender yaitu dipotongi sesuai dengan ukuran yang diinginkan, lalu besi tersebut dipanaskan di dua tungku lalu ditempa, setelah itu didinginkan dan diasah dan finishing,” kata Marmin pada Tribunjogja.com, Senin (3/12/2018).
Ia mengaku saat ini tidak kesulitan untuk mendapatkan bahan baku karena para pemasok bahan baku sudah berlangganan di tempatnya.
Marmin menjelaskan bahan terbaik adalah menggunakan besi bekas rel kereta pengangkut tebu, tetapi karena sulit untuk didapat ia menggantinya dengan besi bekas per, dan juga drum.
“Untuk bahan tergantung untuk buat apa dulu, kalau terbaik ya pakai bekas rel kereta tebu. Sedangkan untuk genggamannya dari kayu Sonokeling,” katanya.
Saat memasuki musim penghujan seperti ini, ia kebanjiran order dari berbagai daerah seperti Wonogiri, Pracimantoro, Sragen, Boyolali.
Pesanan alat pertanian tradisional pun meningkat dua kali lipat dibanding biasanya.
Hal ini dikarenakan, musim penghujan seperti adalah waktu bagi para petani untuk mulai menanam, karenanya banyak pesanan masuk saat musim penghujan.
“Saat hari-hari biasa hanya mengirim satu seri, kalau musim seperti ini bisa mengirim dua seri, satu serinya ribuan alat,” tuturnya.
Dalam satu kali pengiriman dirinya bisa mendapatkan omzet kotor hingga Rp 40 juta.
“Untuk omzet tidak mesti berapa ya, rata-rata sekali pengiriman dapat Rp 40 an juta,” katanya.
Ia mengatakan walaupun sekarang sudah banyak alat pertanian modern, tetapi hingga saat ini alat pertanian tradisional masih diminati para petani.
“Kalau pabrik-pabrik besar kan tidak bisa buat alat-alat seperti ini,” imbuhnya.
Seorang petani Ranto Wiyatno pun mengaku masih bergantung pada alat-alat tradisional.
Ia menuturkan alat pertanian tradisional seperti cangkul dan sabit masih ia gunakan terutama di bagian ladang yang sempit sehingga tidak bisa terjangkau oleh mesin traktor.
“Saat ini masih pakai yang tradisional karena lebih fleksibel bisa digunakan dimana saja bahkan tempat yang sempit,” katanya.
Menurutnya perawatan juga tergolong lebih mudah dibandingkan alat-alat modern, karena hanya cukup dicuci dengan menggunakan air saja.
“Kalau traktor kan butuh perawatan ekstra juga,” imbuhnya.