Beranda Panggung Film Penolakan Film Kucumbu Tubuh Indahku Kian Kencang, Ada Apa Sebenarnya?

Penolakan Film Kucumbu Tubuh Indahku Kian Kencang, Ada Apa Sebenarnya?

tempo.co

JAKARTA, JOGLOSEMARNEWS.COM – Baru kali ini karya sutradara kondang, Garin Nugroho mendapat penolakan dari masyarakat.

Terbukti, penolakan terhadap penayangan film Kucumbu Tubuh Indahku karya terbaru Garin datang dari berbagai pihak, termasuk penolakan resmi tersurat dari beberapa kepala daerah.

Pasalnya, bagi beberapa pihak film tersebut dinilai tidak sesuai dengan norma masyarakat sehingga hadir petisi dan surat edaran menolak penayangan film tersebut di bioskop.

Belum satu pekan tayang di layar lebar, petisi dan ajakan untuk menolak film tersebut beredar di media sosial melalui situs Change.org salah satunya digagas Rakhmi Marshita.

Rakhmi menggalang dukungan menolak film tersebut lantaran menurutnya film yang baik seharusnya bisa membawa efek positif bagi penontonnya, seperti menjadi inspirasi positif, kreatif, dan menambah wawasan yang bernilai positif.

“Jika film seperti ini diijinkan tayang dan disebarluaskan, kita mesti khawatir, bahwa generasi muda yang mengalami kesulitan menemukan jati diri akan mencontoh perilaku dalam film ini,” tulis Rakhmi dalam petisinya.

Penolakan tak hanya muncul lewat petisi online yang diinisiasi Rakhmi. Wali Kota Depok, Mohammad Idris menolak penayangan film Kucumbu Tubuh Indahku lewat surat edaran bernomor 460/185-Huk/DPAPMK tertanggal 24 April 2019.

Mohammad Idris melayangkan surat tersebut kepada Komisi Penyiaran Indonesia.

“Film itu bertentangan dengan nilai-nilai agama,” kata Idris.

Selain dari pemerintah Kota Depok, Bupati Kubu Raya, Kalimantan Barat, Muda Mahendrawan turut mengeluarkan surat edaran menolak film tersebut untuk ditayangkan. Surat edaran tersebut juga dikirimkan ke Majelis Ulama Indonesia Kabupaten Kubu Raya.

“Untuk menjaga dan memelihara masyarakat, dari dampak yang ditimbulkan oleh pelaku penyimpangan seksual,” tulis Mahendrawan dalam surat eradan tersebut, Jumat (26/4/2019).

Mahendrawan keberatan jika film garapan Garin Nugroho ini ditayangkan di wilayahnya. Dia takut film tersebut mengajak masyarakat untuk menjadi LGBT, seperti yang ditayangkan di film itu.

Ketua Lembaga Sensor Film (LSF) Ahmad Yani Basuki menuturkan reaksi masyarakat terhadap film Kucumbu Tubuh Indahku sudah muncul jauh sebelum filmnya tayang di bioskop. Menurutnya, respons penolakan sudah hadir saat muncul video trailer yang belum diluluskan LSF.

“Awal kegaduhan film ini sudah ada sejak beredarnya trailer (versi) bukan yang diloloskan LSF,” ujar Ahmad Yani kepada Tempo, Minggu (28/4/2019).

Menurut Ahmad Yani, lewat trailer yang sempat tersebar, sejumlah persepsi terbentuk di masyarakat terkait isi film. Di luar ada yang sudah menyaksikan film tersebut secara utuh saat kini sudah tayang di bioskop.

Sebagai lembaga sensor, LSF memiliki pertimbangan tersendiri mengapa Kucumbu Tubuh Indahku bisa tayang di bioskop. Menurut Ahmad Yani, film ini mengandung nilai kehidupan dari seseorang yang dapat dipelajari orang dewasa.

Ia lanjut menuturkan, trauma yang dialami tokoh dalam film ini menunjukkan punya pengaruh besar terhadap arah hidup seseorang. Apa yang dialami si tokoh utama dalam film memang bisa dianggap tak lazim oleh orang lain secara umum.

Meloloskan Kucumbu Tubuh Indahku untuk tayang di bioskop, menurut Ahmad Yani bukan berarti LSF turut mempromosikan LGBT. Adegan yang menghadirkan sosok penari laki-laki gemulai, pria berperilaku seperti wanita memang hadir di dalam film.

Hal itu menurut Ahmad Yani bisa kita lihat memang ada di kehidupan masyarakat.

“Tentu saja LSF tidak bertujuan mempromosikan LGBT, kami punya pertimbangan lain meloloskan film ini,” ujarnya.

Perlu diketahui pula, film ini juga ditujukan untuk penonton berusia 17 tahun ke atas. Diperuntukkan untuk orang dewasa. Harapan LSF, masyarakat bisa memilih tontonan yang memang sesuai dengan klasifikasi usianya.

Melihat reaksi yang muncul, LSF membuka pintu untuk pihak manapun berdialog soal pertimbangan terhadap film-film yang selama ini diloloskan LSF.

“Kami selalu membuka diri. Belum lama ini ada pihak MUI yang ingin bertabayyun soal film ini, kami masih menentukan waktunya,” tutur Ahmad Yani.

Menarik izin lolos sensor terhadap film bukan jalan yang ingin diambil LSF. Meski peluangnya ada dan tercantum dalam Undang-undang.

Lebih baik menurut Ahmad Yani memberikan penjelasan soal pertimbangan apa saja dimiliki lembaga sensor agar bisa memberikan pemahaman terhadap masyarakat.

Penarikan izin tayang pun tak diharapkan terjadi oleh budayawan dan juga kritikus film, Seno Gumira Ajidarma.

Rektor Institut Kesenian Jakarta ini menuturkan apa yang terjadi saat ini jangan sampai membuat sensor dibatalkan, produser menarik kembali filmnya, termasuk pembuat petisi atau pihak yang kontra menarik kembali pernyataan mereka.

“Sudah risikonya,” tutur Seno.

Pelarangan tayang terhadap sebuah film bukan hal baru. Untuk bisa sampai di bioskop sebuah film pun sudah melalui sederet prosedur. Film hadir sebagai tontonan publik tak menghindarkan dari penilaian suka tidak suka.

“Orang enggak suka bukan berarti tidak boleh, kan? Yang penting tidak anarkis,” ujar Seno.

Dalam artian tidak sampai memicu ancaman perusakan atau teror terhadap pihak tertentu. Selama ini yang memang cukup bermasalah adalah jika penolakan berbuntut pada pelarangan dan ancaman.

Seno melihat sejauh ini tidak ada yang salah dari reaksi yang muncul. Siapapun berhak menyuarakan pendapatnya.

“Haknya orang untuk ngomong,” tuturnya.

Tapi Seno turut menyayangkan jika penolakan itu lahir lewat cara yang tidak cerdas. Misal memboikot tanpa mengetahui isi filmnya lantaran menonton pun tidak.

Hal itu pulalah yang disayangkan Garin Nugroho selaku sutradara.  Penghakiman lewat media sosial terhadap karyanya dianggapnya tidak adil.

Hadirnya petisi untuk memboikot filmnya tidak memberikan kesempatan baginya berdialog atas karya seni yang ia buat. Dia menuturkan petisi itu merupakan menghakiman massal tanpa proses keadilan yang melahirkan anarkisme massal.

“Kehendak atas keadilan dan kehendak untuk hidup bersama dalam keberagaman tanpa diskriminasi dan kekerasan, tidak akan pernah mati dan dibungkam oleh apapun,” tutur Garin Nugroho.

www.tempo.co