SRAGEN, JOGLOSEMARNEWS.COM – SMPN 5 Sragen digoyang isu pungutan liar (Pungli). Salah seorang wali murid di SMPN favorit di Sragen itu mengungkap adanya sejumlah tarikan berbahasa sumbangan dan iuran yang dinilai tak berdasar hukum.
Adalah Catur Raharjo (57) wali murid asal Kampung Mojomulyo, Sragen Kota. Orangtua yang putranya kini duduk di kelas IX itu mendadak mencuatkan dugaan pungli di SMPN 5 Sragen.
Kepada JOGLOSEMARNEWS.COM Selasa (23/4/2019), ia menyebut ada kebijakan penarikan uang oleh pihak sekolah yang dirasa tak sesuai aturan dan kebijakan pemerintah.
Yang pertama, ia menyebutkan tarikan rutin berbahasa SPP (sumbangan penyelenggaraan pendidikan) untuk biaya AC kelas sebesar Rp 115.000 perbulan per siswa. Menurutnya SPP bulanan itu sudah berlaku sejak kelas VII awal masuk sekolah dan dibebankan ke semua siswa.
“Pernah dulu saya protes waktu rapat wali murid, saya malah disuruh menghadap kepala sekolah sendiri. Saya juga nggak mau, mesti nanti saya akan digratiskan tapi yang lain tidak. Saya tetap ngeyel demi semuanya. Kalau enggak ya enggak semua. Bukan soal nominalnya tapi yang kami protes itu kebijakannya apa enggak menyalahi aturan. Pak Presiden dan Menteri saja sudah bilang pendidikan SD sampai SMP semua gratis, tapi ini masih narik iuran bulanan,” paparnya.
Yang kedua, pria yang juga pensiunan polisi itu mempertanyakan kebijakan tarikan Rp 30.000 per siswa untuk cendera mata ketika ada guru yang pindah.
Pungutan ketiga, baru-baru ini sebesar Rp 20.000 dengan bahasa untuk kesuksesan pelaksanaan UNBK 2019.
“Yang untuk UNBK itu pakai edaran dan amplop. Sebenarnya bukannya memberatkan tapi kami hanya menanyakan apakah itu dibenarkan secara hukum. Kalau tidak ada dasar hukumnya itu namanya sudah pungli. Kalau dibiarkan nanti akan dianggap legal dan sekolah lain pasti akan ikut-ikutan. Apalagi SMPN 5 itu sekolah favorit dan berstandar nasional,” terangnya.
Atas indikasi itu, Catur mengatakan pihaknya berencana melaporkan dugaan pungli itu ke jalur hukum. Terlebih untuk tarikan kesuksesan UNBK dan cendera mata guru, tak pernah ada rembugan atau sosialisasi ke wali murid.
“Yang dirapatkan itu yang SPP. Yang lain enggak pernah dirembug, tahu-tahu anak disuruh bayar. Makanya akan kami bawa ke ranah hukum, kami laporkan pungli itu,” terangnya.
Kasek Membantah
Terpisah, saat dikonfirmasi, Kepala SMPN 5 Sragen, Budi Suyanto membantah tudingan melakukan pungli. Menurutnya untuk tarikan Rp 115.000 perbulan itu bukan SPP. Namun yang ada sumbangan sukarela untuk membantu pengelolaan sekolah utamanya AC semua kelas.
Menurutnya, sumbangan bulanan itu juga sudah dirapatkan komite sekolah di awal tahun ajaran serta ada notulen rapat, kesanggupan wali murid serta dokumen hadirnya.
“Untuk rutin bulanan itu sudah kesepakatan dari komite sendiri dan berdasarkan kesanggupan orangtua murid. Namanya sumbangan, jadi tidak semua siswa dibebani dan nilainya tidak sama. Ada yang sanggupnya Rp 25.000 perbulan, Rp 50.000, Rp 115.000, bahkan ada yang Rp 150.000. Tapi untuk KK miskin tidak membayar sepeser pun baik sumbangan maupun sumbangan sekolah,” terang Budi.
Kemudian, Budi juga menyampaikan untuk sumbangan sekolah yang dibebankan tiap awal tahun ajaran, juga diberi tenggat setahun sesuai kemampuan orangtua dan tidak ditentukan batas waktunya.
Menurutnya, untuk sumbangan sekolah dan sumbangan bulanan itu, saat dirapatkan komite, mayoritas orangtua juga nglenggana (menerima).
“Tapi untuk tarikan Rp 20.000 untuk kesuksesan UNBK itu tidak ada sama sekali. Kami enggak pernah membuat edaran untuk iuran UNBK. Mungkin itu sekolah lain, atau ada oknum anak yang mencari keuntungan dengan minta ke orangtuanya. Kalau sumbangan cendera mata untuk guru yang pindah, itu inisiatif siswa. Bukan dari sekolah. Kadang guru-guru juga urunan Rp 50.000. Saya rasa wajar, sebagai anak sudah dididik merasa dipinterke, lalu ada gurunya pindah, lalu ingin memberikan sesuatu,” tuturnya.
Sementara, untuk iuran bulanan, Budi mengungkapkan sebagai sekolah bekas RSBI yang fasilitasnya ber-AC tiap kelas, memang butuh biaya besar. Ia menyebut untuk biaya listrik saja, sebulan rata-rata tagihannya mencapai Rp 20 juta.
Sementara jika hanya mengandalkan dana BOS, dengan jumlah murid 763 pertahun dana BOS sebesar Rp 763 juta, tak cukup untuk menutup kebutuhan biaya.
“BOS satu siswa Rp 1 juta pertahun. Angka RP 763 juta itu sudah untuk bayar listrik saja kalau perbulan Rp 20 juta, setahun sudah Rp 240 juta. Untuk honor guru dan karyawan GTT/ PTT sudah 15 persen dari BOS, sekitar Rp 108 juta. Lalu untuk perpustakaan tahun ini pengelolaan buku anak sebesar Rp 35 juta. Kemarin juga beli meja kursi untuk guru. Kita ada 59 guru karyawan,masih ada beberapa yang belum punya meja. Kalau diitung-itung, dana BOS itu enggak nyandak, minim sekali. Kalo dibilang sekolah gratis, jelas nggak mencukupi,” tukasnya.
Meski demikian, pihaknya terbuka dan siap menampung aspirasi. Pihaknya pun siap merembug dan berkoordinasi agar tidak ada salah persepsi maupun tudingan yang tidak benar. Wardoyo