JAKARTA, JOGLOSEMARNEWS.COM –
Rektor perguruan tinggi dan Direktur Politeknik diminta untuk memperketat pendataan terhadap dosen, mahasiswa dan karyawan.
Hal itu disampaikan oleh Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi Mohamad Nasir. Menurutnya, langkah itu ditempuh sebagai salah satu upaya untuk mencegah terjadinya radikalisme di kampus.
“Ini sudah kami lakukan pada 2018 ya, saya minta ini saya perketat lagi, rektor dan direktur perguruan tinggi di seluruh Indonesia tolong semua mendata nomor telepon dan media sosial baik dosen, pegawai maupun mahasiswanya. Kalau mereka terpapar radikalisme, katakan tergabung HTI contohnya, maka akan kita cek apakah benar melalui profiling,” ujar Nasir, di Jakarta, Selasa (30/7/2019).
Kampus menjadi salah satu tempat berkembangnya radikalisme. Dalam riset SETARA Institute, beberapa di antaranya muncul saat mahasiswa baru pertama kali masuk kampus.
Lembaga dakwah khusus umumnya menjadi sarana awal pengenalan paham ini.
Kalau data sudah ada, kata Nasir, profilingnya akan lebih cepat. Dan kalau memang itu terbukti, maka harus memberikan edukasi dan kembali ke NKRI.
“Kalau mereka tidak mau berarti pilihannya keluar atau yang lainnya. Kalau mau bergabung, kembali ke NKRI, Pancasila sebagai ideologi negara, kalau tidak mau ya harus resign, ini penting sekali,” kata Nasir.
Sebagaimana diketahui, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) mensinyalir semua perguruan tinggi di Jawa dan Sulawesi terpapar paham radikalisme berbasis agama walaupun kadar paparan radikalisme masing-masing kampus berbeda.
Menurut Nasir, kalau hanya mengkaji ilmu pengetahuan silahkan, mengkaji loh ya, di kampus silakan, yang tidak boleh adalah memilih paham radikal sebagai ideologi. Mengkajinya pun, Nasir menambahkan, harus dalam bentuk akademik dan batasannya adalah mengkomparasikan.
“Negara telah menetapkan batasannya adalah mengkomparasikan, katakan kalau orang berbicara tentang Pancasila, tentang ideologi suatu negara, bagaimana negara lain yag punya pengalaman ideologinya pakai katakan Marxis, kapitalis, atau khilafah, mengapa mereka melakukan itu, sejarahnya bagaimana mereka terjadi,” tutur Nasir.
Temuan BNPT itu sejalan dengan survei Badan Intelijen Negara yang dirilis April lalu. Dari 20 perguruan tinggi yang disurvei di 15 provinsi selama 2017, sebanyak 39 persen mahasiswa antidemokrasi dan tak setuju Pancasila menjadi dasar negara Indonesia.