SRAGEN, JOGLOSEMARNEWS.COM – Kisah kerasnya kehidupan dan perjuangan kaum papa menyeruak di Desa Gading, Tanon, Sragen.
Sepasang suami istri lanjut usia terpaksa harus berjuang memenuhi kebutuhan dengan membuat impling atau cimpring. Sebuah makanan tradisional berbentuk pipih lebar dari singkong yang akrab disapa kerupuk singkong.
Jika ada melintasi kawasan jalur kota Sragen, makanan impling ini akan dijajakan oleh asongan di perempatan atau bangjo-bangjo kepada pengendara saat lampu merah menyala.
Ya, pasutri bernama Pardi (61) dan Rinem (56) warga Dukuh Ngledok RT 17, Desa Gading, Kecamatan Tanon, Kabupaten Sragen, itu memang patut diacungi jempol.
Mereka berjuang menjalani usaha kecilnya dalam kondisi fisik yang tak lagi sempurna.
Sang kakek, Pardi mengalami kebutaan sejak 19 tahun silam. Rinem pun juga sudah tua namun hal itu tak menyurutkan niat mereka untuk terus melestarikan makanan tradisional impling.
Setiap pagi, sehabis salat subuh, Rinem dan Pardi sudah disibukkan dengan rutinitas usahanya.
Usaha mereka diawali dengan membeli bahan baku singkong dari dari kebun tetangga atau membeli di pasar. Setelah dikupas, singkong kemudian diparut menjadi parutan.
Dengan bumbu sederhana garam dan bawang, parutan itu kemudian dibuat adonan dan dicetak bulat pipih. Cetakan itu kemudian dijemur sampai kering.
Setelah kering, barulah cetakan impling itu digoreng di dapur sederhana mereka. Semua proses dilakukan secara manual dengan alat sederhana.
Setelah selesai di goreng, impling selanjutnya di tiriskan hingga dingin dan selanjutnya dikemas di plastik besar. Makanan tradisional khas Gading itu sudah siap untuk di jual di pasar tradisional gading.
Impling Mbah Rinem dijual dengan harga Rp 500,- per biji atau Rp 2.500 per 5 biji atau satu plastik. Rinem menyampaikan meskipun keuntungannya mepet sekali namun pekerjaan itu tetap ia lalukan karena hanya keahlian membuat impling yang mereka miliki.
Ia mengaku sudah 25 tahun menekuni usaha itu hanya demi satu tujuan. Yakni untuk memenuhi kebutuhan keluarga.
“Tidak punya sawah Mas. hanya pekerjaan ini yang bisa kita lakukan. Mau kerja yang lain udah orang tua, cari kerja juga susah paling kalau musim tanam padi dan kacang di sawah. Itu kalo ada yang menyuruh. Pekerjaan ini juga sebagai melestarikan makanan jaman dulu. Soalnya saat ini sudah jarang orang kampung bikin makanan kayak gini. Ya biar tetap lestari makanan ini,” kata Rinem sambil tersenyum saat ditemui di dapurnya, Minggu (15/12/2019).
Rinem mengakui meski skala usahanya kecil-kecilan impling buatannya selama ini banyak digemari orang.
Selain pasar Desa Gading, impling buatannya juga digemari pengunjung pasar Gabugan Tanon. Sehari – hari Rinem dan Mbah Pardi mampu memproduksi singkong puluhan kilo.
Gubug Reyot dan Kebutaan
Perjuangan Mbah Rinem dan Pardi patut diacungi jempol. Sebab saat ini hanya tinggal mereka berdua yang masih bertahan dari tergerusnya jaman.
Sebagian KK yang dulunya ikut membuat impling, perlahan sudah beralih profesi lantaran berproduksi impling memang butuh kesabaran dan hasil yang pas-pasan.
“Iya di sini tinggal saya sendiri saja yang masih bikin kayak gini Mas. Gimana lagi hanya ini pekerjaan yang bisa saya lakukan, anak-anak sudah punya kebutuhan bersama keluarganya. Ini untuk menyambung hidup dan sedikit-sedikit bisa untuk kebutuhan,” tuturnya.
Namun, di balik produksi impling atau krupuk singkong Mbah Rinem dan Pardi, terselip kesedihan yang mendalam bagi pasangan itu. Mereka ternyata tinggal di rumah reyot berbahan anyaman bambu dan kayu serta beralaskan lantai tanah.
“Iya kalo berjualan di luar hanya saya sendiri Mas, soalnya mbah kakung gak bisa. Mbah kakung mengalami ke butaan sejak tahun 1990 gara- gara bekerja di sawah mencangkul tiba tiba kedua mata terkena cipratan tanah sawah. Dulu juga dibawa ke rumah sakit dan dioperasi malah jadi buta sampai saat ini,” kenang Rinem.
Rinem berharap, usaha kecil miliknya bisa mendapatkan dukungan dari pemerintah setempat atau pemerintah daerah untuk terus menjaga dan melestarikan makanan tradisional khas Sragen itu.
Salah satunya dengan berharap bantuan alat – alat produksi. Karena selama ini dirinya masih mengunakan alat masih serba tradiaonal.
“Iya pengen as punya alat yang agak modern. Pingin punya alat parut singkong kayak parut kelapa itu, dan alat penggorengan yang memadai dan beberapa kendil serta kompor gas. Karena selama ini alat-alat saya buat bikin impling masih terbatas. alo beli alat mesin parut saya tidak punya cukup uang buat membeli Mas,” harapnya. Wardoyo