Beranda Umum Nasional Berkedok Cafe, 10 Gadis Kecil Ternyata Dipekerjakan Jadi PSK di Cafe Kayangan...

Berkedok Cafe, 10 Gadis Kecil Ternyata Dipekerjakan Jadi PSK di Cafe Kayangan Rawa Bebek Jakarta. LPSK Beri Pendampingan Para Korban

foto/Tempo.co
foto/Tempo.co

JAKARTA, JOGLOSEMARNEWS.COM – Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) berharap kasus prostitusi anak di Cafe Kayangan diproses dengan dua undang-undang sekaligus. Tak hanya UU Perlindungan Anak, LPSK juga meminta polisi menggunakan UU Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO).

Sindikat perdagangan dan eksploitasi gadis-gadis kecil di bawah umur secara seksual dan ekonomi itu dilakukan di Cafe Kayangan, Rawa Bebek, Penjaringan, Jakarta Utara, telah dibongkar Polda Metro Jaya. Sindikat itu memaksa dan mempekerjakan 10 anak perempuan sebagai pekerja seks komersial (PSK). Enam tersangka prostitusi anak yang ditangkap masing-masing berperan sebagai pemilik kafe bersama dan muncikari.

Wakil Ketua LPSK Antonius PS Wibowo mengatakan kasus eksploitasi anak di bawah umur di Jakarta Utara ini membutuhkan elemen masyarakat yang peduli perlindungan anak, semisal lembaga swadaya masyarakat (LSM) maupun Lembaga bantuan hukum (LBH). Mereka bisa menjadi pendamping dan memintakan perlindungan ke LPSK.

“Jika kasus ini akan diproses berdasarkan UU Pemberantasan TPPO, pihak kepolisian dapat langsung memintakan perlindungan bagi anak korban kepada LPSK,” kata Antonius dalam rilisnya, Sabtu 25 Januari 2020.

Baca Juga :  Perempuan Tak Terwakili di Unsur Pimpinan KPK, Alexander: Kalau Mau Lewat Kampanye Antikorupsi Saja

Berdasarkan kewenangan yang dimandatkan Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban, kata Antonius, LPSK juga bisa melakukan tindakan proaktif untuk memberikan perlindungan bagi anak korban.

Dalam kasus prostitusi anak ini, kementerian/lembaga atau satuan kerja perangkat daerah (SKPD) yang memiliki tugas, pokok dan fungsi perlindungan anak juga dapat mengambil peran sebagai pendamping dan memohonkan perlindungan bagi anak korban ke LPSK.

“Untuk bersama-sama memberikan perlindungan dan layanan medis, psikologis, psikososial, dan hak lainnya bagi anak korban pelacuran itu,” ujar Antonius.

Menurut kedua undang-undang itu, baik UU Perlindungan Anak maupun UU Pemberantasan TPPO, pemerintah pusat dan daerah mempunyai kewajiban untuk bertanggung jawab pada masalah perlindungan anak dan penanganan korban.

Selain memproses hukum sindikat perdagangan eksploitasi anak di bawah umur secara seksual dan ekonomi di Penjaringan, Jakarta Utara ini, perlindungan terhadap anak korban jauh lebih penting. Untuk itu, katanya, LPSK mendukung aparat penegak hukum memproses para pelaku perdagangan dan eksploitasi anak di bawah umur.

Dukungan itu termasuk kesiapan LPSK memberikan perlindungan kepada anak korban sesuai Pasal 5 dan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.

Baca Juga :  Curhat ke Wamenaker Gaji di Indofarma Nunggak-nunggak, Noel: Saya Bukan Malaikat

Menurut Antonius, inti dari kedua pasal tersebut adalah anak korban kekerasan seksual dan/atau korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO) berhak atas perlindungan dari LPSK serta dapat mengakses layanan yang disediakan negara melalui LPSK, mulai bantuan medis, rehabilitasi psikologis maupun rehabilitasi psikososial..

www.teras.id