SRAGEN, JOGLOSEMARNEWS.COM – Kisruh pembahasan revisi peraturan daerah (Perda) Nomor 11 tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) di Kabupaten Sragen, semakin memanas.
Menyusul polemik di internal DPRD akibat insiden rapat siluman antara eksekutif dan pucuk pimpinan legislatif di 2019, sejumlah aktivis yang tergabung dalam aliansi pergerakan sragen (APS) akhirnya menyeret kasus itu ke ranah hukum.
Tak tanggung-tanggung, mereka berencana melaporkan kasus revisi Perda RTRW Kabupaten Sragen ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
“Kami sudah siapkan berkas berkas dan dokumen untuk kita laporkan langsung ke KPK. Rencananya dalam pekan ini kita akan langsung melapor ke KPK,” papar Sekretaris APS, Budi Setyo Wahyuno Rabu (5/2/2020).
Budi menguraikan mengacu pasal 123 ayat 2, pengajuan perubahan revisi RTRW bisa dilakukan setiap lima tahun sekali untuk dievaluasi.
Sementara yang terjadi di Sragen saat ini, menurutnya di DPRD belum ada pembahasan Pansus dan lain-lain. Namun belakangan mendadak sudah muncul surat Kesepakatan Pengajuan Persetujuan Substansi Antara Pemerintah Kabupaten Sragen dengan DPRD Kabupaten Sragen tahun 2019.
Dalam surat tertanggal 6 Februari 2019 itu, memuat isi bahwa pada hari Rabu tanggal 6 Februari 2019 telah dilakukan rapat pertemuan di ruang serbaguna DPRD antara Pemkab Sragen dengan DPRD Sragen terkait revisi Perda No 11 tahun 2011 tentang Rancana Tata Ruang Wilayah Tahun 2011-2031.
Surat itu ditandatangani Bupati Sragen, Kusdinar Untung Yuni Sukowati dan Ketua DPRD Sragen saat itu, Bambang Samekto.
“Padahal rapat saja belum ada. Hasil pengecekan kami ke Sekretariat DPRD bahwa tanggal 6 Februari 2019 itu tidak pernah ada rapat antara eksekutif dan DPRD yang diwakili oleh Ketua DPRD. Di notulen Sekwan juga tidak ada catatan atau agenda rapat tersebut. Sehingga kami menduga memang ada pelanggaran prosedur dan terkesan ada pemaksaan bahwa seolah-olah ada rapat. Ini ada apa,” terangnya.
Padahal ia memandang bahwa Perda RTRW sangat penting. Sehingga mestinya antara eksekutif dan legislatif seiring bersama serta prosedur yang ditempuh harus sesuai dengan aturan yang ada.
Lantas, pada pasal Pasal 69 dan 70 disebutkan ketika pelaksanaan pabrik atau pembangunan industri yang berada di lahan hijau ke lahan industri, maka harus melewati perizinan dan kajian yang melibatkan semua pihak.
“Sehingga kami melihat memang Perda RTRW Sragen yang saat ini dalam proses revisi, sangat berpotensi bakal cacat hukum. Karena pengajuan revisi cacat prosedur, tidak melewati semua unsur terkait. Dugaan kami penyusunan revisi hanya ditandatangani oleh Bupati dan Kepala DPU-PR saja. Padahal harusnya pengalihan dari zona hijau ke zona industri itu harus dilakukan kajian menyeluruh terkait lahan lestari, lalu bagaimana Amdal dan lingkungannya,” tegasnya.
Terpisah, Gubernur Jawa Tengah Ganjar pranowo saat dikonfirmasi JOGLOSEMARNEWS.COM , menduga sepertinya memang ada sesuatu di antara DPRD terkait proses pembahasan pengajuan revisi Perda RTRW Kabupaten Sragen.
Ia mengatakan pihaknya memang sudah menerbitkan surat rekomendasi dari Gubernur tahun 2018. Namun ia mengaku tidak mengetahui jika kemudian muncul polemik soal rapat dan berita acara tanggal 6 Februari 2019.
“Sepertinya ada sesuatu antar DPRD, sebaiknya DPRD Secara Kelembagaan bisa rapat,” tuturnya via pesan WA.
Terpisah, mantan Ketua DPRD Sragen 2014-2019, Bambang Samekto belum bisa diminrai konfirmasi perihal munculnya surat kesepakatan dan polemik rapat 6 Februari 2019 yang diduga fiktif alias siluman itu.
Ditelepon wartawan maupun ditanya via pesan HP, sama sekali tidak ada respon. Pun dengan pihak DPU-PR juga tidak berhasil dimintai konfirmasi. Sementara dua dari tiga Wakil Ketua DPRD periode 2014-2019, yakni Bambang Widjo dan Hariyanto mengaku tak pernah diajak koordinasi dan tidak tahu soal rapat tanggal 6 Februari 2019. Wardoyo