SUKOHARJO, JOGLOSEMARNEWS.COM – Dewan pimpinan daerah (DPD) Partai Gerindra Jawa Tengah mengisyaratkan akan mendorong kadernya, Joko Santoso alias Joko Paloma untuk maju pada Pilkada serentak 2020 di Sukoharjo.
Joko bahkan dikabarkan bakal disandingkan dengan Ketua Muhammadiyah setempat, Wiwoho untuk melawan bakal calon yang diusung oleh PDIP Sukoharjo.
Hal itu diungkapkan Sekretaris DPD Gerindra Jawa Tengah, Sriyanto Saputro Kamis (20/2/2020). Kepada JOGLOSEMARNEWS.COM ia mengatakan Gerinda memang sudah merestui Joko Santoso alias Joko Paloma untuk bertarung di Pilkada Sukoharjo 2020.
Hal itu didasarkan latar belakang Joko yang dianggap punya modal cukup yakni sebagai anggota DPRD dan punya kompetensi mumpuni untuk diusung maju Pilkada.
“Kami memang mendorong kader kami Joko Santoso yang lebih akrab disapa Joko Paloma. Dia sekarang anggota DPRD Kabupaten Sukoharjo. Insyallah calon wakilnya sudah mengerucut meski belum final yaitu ada nama Wiwoho. Dia Ketua Muhammadiyah,” papar Sriyanto.
Wakil Ketua Komisi C DPRD Jateng itu menguraikan sejauh ini komunikasi dengan parpol-parpol lain, cukup bagus. Ia menyebut ada PKB, PAN, termasuk Golkar juga terus berkomunikasi untuk menjajaki peluang berkoalisi.
“Tapi endingnya seperti apa, nanti kita lihat. Yang jelas kesiapan kami bersama kader sangat kuat,” terangnya.
Menurutnya, kans untuk menang di Pilkada Sukoharjo cukup terbuka sebab Pilkada Sukoharjo kali ini cukup menarik.
Pertama, karena tidak ada lagi calon berlabel incumbent. Kedua, calon yang didorong Gerindra, Joko Paloma adalah sosok petarung yang memiliki perolehan suara signifikan pada Pileg 2019.
“Kalau wakilnya jadi Pak Wiwoho, tentu akan jadi pasangan yang ideal dan sangat kuat karena basis massa Muhammadiyah juga cukup kuat. Mudah-mudahan kalau bisa menyatukan dengan NU sekalian, maka akan semakin bagus untuk membawa perubahan Sukoharjo ke arah lebih baik,” terangnya.
Selain itu, Sriyanto menilai dari hasil pantauan di lapangan, dirinya melihat animo masyarakat mendambakan perubahan kepemimpinan di Sukoharjo cukup tinggi.
Hal itu juga berbanding lurus dengan keinginan masyarakat untuk memutus tren dinasti kepemimpinan yang bercokol di Sukoharjo.
Meski tidak dilarang, ia menilai masyarakat diyakini sudah cerdas dan bisa melihat bahwa keberadaan dinasti kepemimpinan yang terlalu lama identik dengan sesuatu yang tidak baik.
“Politik dinasti itu memang jadi tren, kebiasaan dan sebenarnya sah-sah saja. Tapi masyarakat saya rasa semakin pintar melihat ketika dinasti terlalu kuat dan dibudayakan, maka dampaknya jadi tidak baik. Kami tidak bicara Sukoharjo, tapi contoh lain kan sudah ada. Di daerah Banten, ketika dulu ada satu dinasti yang kuat dan lama, akhirnya jadinya kan korup. Tapi kami tidak menuduh, karena politik dinasti pun sah-sah saja mengingat regulasi memang memungkinkan dan tidak melarang. Namun saya yakin masyarakat sekarang semakin cerdas dan bisa melihat dan memilih yang terbaik untuk Sukoharjo,” tukasnya. Wardoyo