Beranda Umum Nasional Pengemudi Ojol Resah Bakal Dibatasi, Ini Klarifikasi Nurhayati Monoarfa

Pengemudi Ojol Resah Bakal Dibatasi, Ini Klarifikasi Nurhayati Monoarfa

Sejumlah pengemudi ojek online melakukan aksi di depan Kementerian Perhubungan, Jakarta, Rabu (15/1/2020) / tempo.co

JAKARTA, JOGLOSEMARNEWS.COM – Kalangan pengemudi ojek online (Ojol) sempat resah dan melakukan aki unjuk asa ke DPR RI lantaran mendengar pernyataan
Wakil Ketua Komisi Perhubungan DPR, Nurhayati Monoarfa yang dianggapnya menolak keberadaan Ojol dan membatasi sepeda motor di jalan nasional.

Terkait dengan hal itu, Nurhayati menegaskan dirinya sama sekali tidak menolak ojek online atau ojol dan kendaraan roda dua.

Akan tetapi, Nurhayati mengingatkan soal Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ).

UU ini memang melarang dan tidak mengakui sepeda motor untuk digunakan sebagai sarana transportasi umum.

Tapi, Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi melakukan diskresi sehingga jadilah, sepeda motor sebagai transportasi umum.

“UU ini sudah ada sebelum saya menjadi anggota dewan, kenapa jadi saya yang menolak?” kata politikus Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang juga istri dari Kepala Bappenas, Suharso Monoarfa, ini saat dihubungi di Jakarta, Minggu (1/3/2020).

Namun demikian, para ojek online atau ojol yang menerima informasi ini langsung melakukan unjuk rasa di depan Gedung DPR, Jumat (28/2/2020).

“Kami datang ke DPR karena ada pernyataan anggota Komisi V DPR Nurhayati, dia akan menghilangkan ojol (ojek online),” kata orator demo.

Awalnya pandangan ini disampaikan Nurhayati sepuluh hari sebelumnya, 18 Februari 2020, dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) terkait Revisi UU LLAJ dan UU Jalan.

Dalam rapat itu, Nurhayati menyebut dirinya sedang berdiskusi dengan para pakar mengenai tingginya tingkat kecelakaan roda dua.

Berdasarkan data dari Korps Lalu Lintas Polri, kata Nurhayati, roda dua menjadi 73 persen penyumbang kecelakaan terbesar di jalanan.

Selain itu dari catatan Tempo, Menteri Perhubungan juga pernah menyampaikan 70 persen kecelakaan saat mudik tahun lalu, menimpa pengendara sepeda motor.

Sehingga Nurhayati bertanya soal pembatasan sepeda motor kepada para pakar. Pertama, apakah bisa diberlakukan seperti di Singapura dengan batasan usia kendaraan 10 tahun.

Kedua, apakah bisa melarang motor melintas di jalan-jalan nasional untuk menekan angka kecelakaan. Ketiga, apakah pantas sepeda motor menjadi angkutan umum.

Sebab selain dilarang oleh UU LLAJ, Nurhayati menyebut sepeda motor dengan CC yang kecil bukanlah kendaraan jarak jauh dan angkutan umum.

Namun, hanya untuk jarak dekat dan kendaraan penggunaan pribadi.

“Bukan berarti moge (motor gede) boleh, motor kecil gak boleh, salah beritanya selama ini,” kata Nurhayati.

Sehingga, kata dia, sebenarnya lebih banyak bertanya kepada pakar transportasi untuk menampung masukan demi UU LLAJ yang lebih baik dan berpihak kepada rakyat.

Tapi di sisi lain juga membuat pengguna kendaraan di jalan raya terjamin keselamatannya.

“Bahkan, saya juga mendorong di UU Jalan, agar disiapkan jalan khusus untuk roda dua,” ujarnya.

Tak hanya itu, Nurhayati juga mengingatkan bahwa UU LLAJ turut mengatur kewajiban setiap pemerintah daerah menyediakan transportasi umum massal yang layak.

“Tapi, itu belum dilakukan oleh semua pemerintah daerah,” kata dia.

Tapi bagaimanapun, kata Nurhayati, dirinya tidak bisa memutuskan sendirian karena ada sembilan fraksi di DPR dan masih ada pendapat stakeholder lain.

Saat ini, kata dia, Komisi Perhubungan baru membahas revisi UU LLAJ ini dengan pakar, sehingga masih akan ada pihak lain yang diajak berdiskusi.

www.tempo.co