JAKARTA, JOGLOSEMARNEWS.COM –
Sampai dengan saat ini, ini lebih dari 80 persen pabrik garmen telah merumahkan karyawannya. Sementara sebagian pabrik lainnya telah melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
“Tapi, memang sebagian besar (tenaga kerja) dirumahkan karena PHK juga jadi beban. Selain itu, nanti kalau (pabrikan) mau reaktif lagi repot kalau (PHK),” kata
Sekretaris Jenderal Asosiasi Pertekstilan Indonesia, Rizal Rakhman, Kamis (28/5/2020).
Rizal menambahkan keadaan arus kas mayoritas pabrikan kini semakin berat lantaran permohonan penundaan pembayaran tarif listrik ditolak.
Dia menyatakan mayoritas pabrikan hanya memiliki kekuatan arus kas hingga Agustus 2020 untuk menjaga serapan tenaga kerja.
API telah meminta adanya keringanan pembayaran listrik selama 6 bulan ke depan dengan bentuk cicilan berupa giro mundur selama 12 bulan. Selain itu, asosiasi meminta adanya diskon tarif beban idle selama pukul 22.00-06.00.
“[Semua permintaan tersebut] ditolak mentah-mentah. Tidak ada satupun yang dikabulkan, kami sudah terima surat ‘cinta’-nya,” ucap Rizal.
Di sisi lain, Rizal menyatakan pabrikan garmen nasional kini menilai penetapan safeguard definitif produk tekstil lokal sebagai angin segar. Menurutnya, hal tersebut membuat produk tekstil lokal kini memiliki posisi tawar terhadap produk TPT impor.
Maka dari itu, Rizal menyampaikan pihaknya sedang berusaha agar produk garmen impor juga memiliki bea masuk tambah agar sejalan dengan safeguard tekstil.
Menurutnya, pengenaan bea masuk tambahan pada garmen impor akan membuat harga garmen lokal kompetitif dengan harga garmen impor yang selama ini jauh lebih murah.
Rizal mengatakan pelonggaran PSBB harus dibarengi dengan perlindungan pasar garmen domestik.
“Barang [garmen] impor harus dijaga, kalau tidak masuk semua ke dalam negeri barang impor itu,” katanya.