JAKARTA, JOGLOSEMARNEWS.COM – Setelah Alm Sapardi Djoko Damono, kalangan sastrawan di tanah air kembali berduka. Budayawan dan sastrawan Ajip Rosidi meninggal pada usia 82 tahun, Rabu (9/7/2020) malam.
Sebagaimana diketahui, sepanjang hidupnya, Ajip yang lahir di Jatiwangi, Majalengka, Jawa Barat mendedikasikan hidupnya pada pengembangan dunia literasi di Indonesia.
Ia memulai keseriusannya pada literasi di umur 14 tahun. Ia banyak membaca banyak buku terjemahan, baik dalam Bahasa Indonesia maupun Bahasa Sunda. Ia pun mulai belajar menulis setelah belajar panduannya.
Namun baru pada 1952 ia mulai mengumumkan karya pertamanya yang dimuat dalam majalah-majalah terkemuka pada waktu itu seperti Mimbar Indonesia, Indonesia, hingga Kisah.
Tiga tahun kemudian, ia berhasil menerbitkan buku pertamanya yang berjudul Tahun-Tahun Kematian.
Ia kemudian menelurkan ratusan judul karya lain. Bukunya begitu dikenal hingga beberapa diterjemahkan ke bahasa luar.
Seniman Butet Kertaradjasa menjadi salah satu pembaca buku Ajip saat ia muda. Ajip Rosidi, kata Butet, memiliki pengaruh yang besar dalam perkembangan dunia literasi, tapi juga dunia seni di Indonesia.
Ia menggambarkan Ajip sebagai seorang sastrawan hebat yang mampu mengelaborasikan idealisme seninya sebagai basis ekonomi.
Pada medio 1970-an, Butet mengatakan Ajip Rosidi menjadi muara bagi seniman yang datang ke Ibu Kota.
Setelah mendirikan Pustaka Jaya, saat ini menjadi Dunia Pustaka Jaya, Ajip juga menampung para pelukis untuk membuat halaman depan dari buku-buku yang hendak ia terbitkan.
“Tokoh-tokoh rendra semua itu datangnya ke Pak Ajip. Kalau butuh duit, ya, ke Pak Ajip karena dia relatif secara ekonomi mapan. Pelukis-pelukis Jakarta itu bermuaranya ke Pak Ajip,” ujarnnya kepada Tempo lewat sambungan telepon Rabu (29/7/2020) malam.
Ajip juga merupakan salah satu tokoh awal yang mengawal berdirinya Taman Ismail Marzuki Ia juga pernah menjabat sebagai Ketua Dewan Kesenian Jakarta pada tahun 1972-1981.
Ia juga dikenal sebagai Ketua Yayasan Kebudayaan Rancage. Lewat yayasan ini juga, ia banyak memberi penghargaan pada para sastrawan atas kerja mereka.
Pada 11 November 2009 Ajip menerima penghargaan Habibie Awards atas karya dalam bidang ilmu kebudayaan. Namun pada 2016, ia mendatangi The Habibie Center untuk mengembalikan penghargaan tersebut.
Ini dilakukan sebagai protes atas Habibie Award 2015 yang diberikan kepada Nina Herlina Lubis yang dinilainya seorang plagiator.
Dia mengatakan penghargaan itu lebih pantas diberikan kepada Sapardi Djoko Damono atau Zawawi Imron yang saat itu juga menjadi nominasi. Dia menilai selama ini para juri kompeten dalam memutuskan pemenang.
“Habibie Award kecolongan. Saya menghormati Pak Habibie, makanya saya kembalikan,” ujar Ajip saat itu.
Ajip meraih gelar doktor kehormatan, honoris causa, bidang ilmu budaya dari Universitas Padjadjaran pada 2011. Ia juga pernah diangkat menjadi guru besar tamu di Osaka Gaikokugo Daigaku (Universitas Bahasa Asing Osaka), sambil mengajar di Kyoto Sangyo Daigaku (1982-1996) dan Tenri Daigaku (1982-1994).
Setelah pensiun ia menetap di desa Pabelan, Kecamatan Mungkid, Magelang, Jawa Tengah. Meskipun begitu, ia masih aktif mengelola beberapa lembaga nonprofit seperti Yayasan Kebudayaan Rancagé dan Pusat Studi Sunda.
Namun pada Rabu, 29 Juli 2020, salah seorang anak kandung Ajip, Nundang Rundagi, mengatakan Ajip harus menjalani operasi karena pendarahan di otak setelah terjatuh. Sebelumnya, Ajip menjalani perawatan selama sepekan terakhir akibat terjatuh di rumah anaknya di Pabelan, Kecamatan Mungkid, Kabupaten Magelang. Sastrawan ini dinyatakan meninggal dalam perawatan pasca operasi di Rumah Sakit Umum Daerah Tidar Kota Magelang, Jawa Tengah.