JOGLOSEMARNEWS.COM – Kasus pencemaran limbah di Sungai Bengawan Solo agaknya sudah tak lagi bisa ditoleransi. Meski berulangkali disidak dan diprotes, nyatanya aksi pembuangan limbah pekat di sungai terpanjang di Jawa itu masih belum juga berhenti.
Bahkan, kini sejumlah daerah hilir sudah judeg untuk melakukan upaya karena kondisi air bengawan sudah di atas ambang normal.
Baru-baru ini, Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Blora, Jawa Tengah bahkan sampai menghentikan pengolahan air baku dari bengawan solo.
Sebab, kepekatan melampaui standart baku mutu kelayakan air. Segala upaya sudah dilakukan untuk mengolah air tersebut.
Diantaranya pelumpuran, penambahan kapur, polimer, HCA atau sejenis alum, dan penggunaan tawas.
Pelaksana Pengawasan Kualitas PDAM Blora Cabang Cepu, Marliati, menjelaskan, ada standart kelayakan air baku sebelum masuk fasilitas pengelohan maupun standart kelayakan distribusi.
“Terakhir kemarin tingkat kepekatan air mencapai 300 TCU (true Collour Unit). Belum berani dilakukan pengolahan. Untuk hari ini hasilnya belum keluar,” jelas Marliati, ditemui di Instalasi Pengolahaan Air (IPA) PDAM Blora Cabang Cepu, Senin (19/10/2020) dikutip dari Teras.id.
Untuk kondisi normal tanpa ada pencemaran limbah, lanjut dia, minimal kepekatan 120 TCU. Itu bisa diolah dan didistribusikan dengan standart kelayakan mencapai 50 TCU.
“Kalau limbah bercampur pewarna seperti sekarang ini, akan lebih sulit pengolahannya,” jelasnya.
Sementara, standart baku normal untuk diolah adalah 100 TCU sampai 90 TCU. Itu bisa diolah untuk didistribusikan dengan angka kepekatan 50 TCU sampai 40 TCU.
“Kami bahkan pernah mengolah air untuk didistribusi dengan kepekatan 30 TCU sampai 20 TCU,” tandasnya.
Dia menambahkan, dua bulan yang lalu pernah mendapati air bengawan solo benar-benar pekat. Kepekatan tersebut membuat PDAM harus menghentikan pelayanan distribusi air kepada pelanggan.
“Kepekatan mencapai 4.500 TCU. Sangat pekat hingga benar-benat tidak bisa diolah,” tandasnya.
Kepala PDAM Blora, Yan Ria Pramono, menjelaskan, selama tiga hari ini pihaknya memang tidak bisa menyalurkan air kepada pelanggan baik Cepu maupun Blora.
“Mudah-mudahan hari ini air bisa kembali mengalir keda pelanggan,” katanya.
Yan Ria mengaku, sudah melakukan koordinasi dengan Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Blora. Menyampaikan kondisi air bengawan solo hingga tidak bisa dilakukan pengolahan.
“Belum ada rekomendasi dari DLH,” kata dia.
Berulangkali Bengawan Solo mengalami pencemaran, sampai sekarang belum ada solusi untuk mengolah air supaya layak dan sesuai standart.
“Kami sudah mencoba beragam cara, termasuk pelumpuan. Tetapi belum berhasil,” ujarnya.
Senada, Warga di Desa Karanganyar, Kecamatan Plupuh, Sragen juga diresahkan dengan aksi pembuangan limbah ke Sungai Bengawan Solo.
Mereka pun menagih komitmen Pemkab hingga Pemprov untuk menindak tegas dan menutup pabrik yang diduga kembali kambuh dan membuang limbah ke Bengawan Solo.
Keluhan itu terungkap ketika sejumlah tokoh dan warga di bantaran Sungai Bengawan Solo wilayah Desa Karanganyar, menyampaikan aspirasinya ke salah satu anggota DPRD Sragen asal Karanganyar, Plupuh, Sutimin, beberapa waktu lalu.
Sutimin pun bersama warga langsung mengecek kondisi air sungai Bengawan Solo di dekat dusun yang airnya kembali hitam pekat.
“Lihat Mas, kumat lagi limbahnya. Ini masih belum seberapa karena ada hujan jadi nggak begitu pekat. Sekarang seminggu hampir tiga kali dibuangi limbah lagi. Bahkan kadang bisa tiap hari. Yang paling parah tiap hari Jumat itu sangat pekat limbahnya,” papar Suparno (45) tokoh asal Dukuh Kajog RT 1, Karanganyar, kepada JOGLOSEMARNEWS.COM .
Ia menuturkan buangan limbah itu kembali marak sejak beberapa bulan terakhir.
Sempat mereda tiga bulan saat geger pemanggilan perusahaan oleh Gubernur Jateng, medio tahun lalu, setelah itu aksi pembuangan limbah kembali berlanjut sampai sekarang.
“Dampaknya yang jelas baunya menyengat. Lalu kalau kena kulit gatal-gatal. Nggak hanya warga di desa kami, saya rasa hampir di sepanjang bantaran Bengawan Solo dari Palur sampai hilir sana, merasakan dampaknya,” terangnya.
Tokoh lain, Widiyanto (50) warga Kajog, Karanganyar menerangkan sejak ramai disorot media sosial dan mencuat di berita tahun lalu, warga sempat sedikit senang karena limbah langsung dihentikan.
Air sungai kala itu bisa kembali jernih bisa untuk mandi dan mencuci. Namun kegembiraan itu hanya berlangsung tiga bulan saja. Sesudahnya, limbah hitam anyir itu kembali menghiasi sungai hingga sekarang.
Selain dampak gatal dan bau, kondisi air campur limbah juga membuat ternak warga mati serta padi menjadi berubah rasa.
“Dulu waktu airnya jernih, warga yang punya ternak kalau ngasih minum diambilkan air sungai. Sekarang nggak ada yang berani, karena kalau dikasih air minum campur limbah pasti mati. Lalu bagi kami petani, juga nggak berani lagi ambil air dari sungai untuk mengairi sawah. Karena hasil padinya rasanya sudah beda agak sepo dan warnanya kekuningan,” terangnya.
Karenanya, mewakili petani dan warga, ia meminta agar pemerintah provinsi dan pusat bisa tegas mengusut dan menghentikan pabrik yang masih nekat membuang limbah ke Bengawan Solo.
Pemerintah diminta serius menindaklanjuti karena kerusakan Bengawan Solo dampak limbah itu sudah sangat parah.
“Dulu sempat dicek dan diambil sampelnya dari tim. Setelah itu sempat reda, tapi nggak lama kemudian sudah kumat lagi dan limbah terus dibuag sampai sekarang. Kalau melihat kondisinya, kemungkinan yang mbuang limbah ini pabrik setelah jembatan Jurug itu. Kami mohon Pak Gubernur, tindak tegas dan tutup saja pabrik pembuang limbah ini agar kami bisa menikmati air sungai yang enak seperti dulu,” tuturnya.
Sementara, anggota DPRD Sragen dari Plupuh, Sutimin mengaku sangat prihatin dengan fenomena kambuhan pembuangan limbah di Bengawan Solo itu.
Menurutnya, dampak buruk limbah bengawan itu juga sudah membahayakan keselamatan warga lantaran memicu gatal-gatal dan mencemari sumber air sumur-sumur warga di sekitar bantaran.
Akibat bau dan kandungannya mencemari sumur, warga di wilayahnya saat ini hanya berani menggunakan air sumur untuk mandi dah mencuci saja.
Sedangkan untuk kebutuhan konsumsi harian, warga terpaksa membeli air jerikenan karena takut dengan sumur yang sudah tercemar.
“Sekarang limbahnya itu kembali seperti dulu. Warga sampai hafal, karena tandanya ketika limbah itu dibuang maka ikan-ikan akan mati keracunan dan muncul atau istilah jawanya pladu. Limbahnya juga sangat berbahaya karena ikan yang paling tahan yaitu sapu-sapu saja sampai ikut mati,” terangnya. (Wardoyo/Teras.id)