![](https://i0.wp.com/joglosemarnews.com/images/2020/11/2711-pak-YB-jos-tenan.jpg?resize=169%2C200&ssl=1)
APA dan siapa yang boleh dan dapat masuk ke media pers? Jawabnya apa saja dan siapa saja, tetapi (sesungguhnya), tidak apa saja dan tidak siapa saja. Mengapa? Karena ada syarat dan ketentuan yang berlaku.
Ilmu jurnalistik mengajarkan bahwa unsur apa (what) dan unsur siapa (who), sebagai bagian dari rumus penulisan berita 5 W + 1 H (what, who, when, where, why dan how), harus memiliki beberapa syarat untuk dapat diangkat sebagai berita. Syarat itu antara lain besar, penting, kedekatan, ketenaran, sentuhan manusiawi, dampak. Belum lagi ada syarat ideologi, konstitusi, yuridis, profesional dan kemasyarakatan.
Apakah sebuah peristiwa dan sosok “kecil” dapat diangkat sebagai berita dan masuk ke media pers? Dapat saja asalkan memiliki dukungan unsur tersebut. Sebaliknya, peristiwa dan sosok “besar” belum tentu masuk media kalau berdampak negatif skala besar. Kalau pun nantinya termuat, harus mempertimbangkan berbagai faktor internal dan faktor eksternal.
Bagaimana dengan media buku? Apa dan siapa yang boleh dan dapat masuk ke lembar-lembar buku yang dibaca khalayak umum. Meski rumus penulisan dan unsur pertimbangannya berbeda, namun kiranya ada benang merah yang sama. Bahwa isi media pers dan buku harus dapat dipertanggunggjawabkan dengan kaidah umum, bermakna, bermanfaat, inspiratif, memotivasi dan tidak melanggar ketentuan hukum dan susila.
Gerakan Literasi Keluarga
Bicara media pers dan buku adalah bicara literasi. Karena literasi sebagai sebuah kesadaran, gerakan, kompetensi dan sekaligus peradaban, tentu membutuhkan wahana atau sarana penyaluran karyanya. Media pers dan buku merupakan dua sejoli yang memiliki kebermaknaan, kemanfaatan, kekuatan dan sekaligus daya tarik bagi pengembangan literasi.
Sebagai sebuah gerakan berskala nasional, literasi sudah memiliki payung hukum dan sekaligus lembaga penyelenggara atau penanggungjawab utama. Sejak tahun 2015, Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan telah meluncurkan sebuah gerakan bernama Gerakan Literasi Nasional (GLN) yang memiliki tiga anakan yakni Gerakan Literasi Keluarga (GLK), Gerakan Literasi Sekolah (GLS) dan Gerakan Literasi Masyarakat (GLM).
Meski masih harus terus berjuang dan diperjuangkan oleh para pihak, secara umum GLS dan GLM sementara ini berada satu dua langkah di depan GLK. Mengapa? Karena GLS dilaksanakan oleh segenap institusi dan jajaran pendidikan. Ada tim literasi sekolah (TLS) yang bertanggungjawab atas keberhasilan GLS. Sedangkan GLM banyak dilakukan oleh pegiat literasi dan taman bacaan masyarakat (TBM), dengan dukungan dari insitusi perpustakaan. Bagaimana dengan GLK? Tentu harus digerakkan sendiri oleh keluarga. Pendukung program ini dapat dari lembaga perpustakaan, kantor BKKBN, kantor pemberdayaan perempuan dan anak.
Sejauh ini, karya GLS secara tekstual dapat kita lihat dari produk media sekolah atau buku-buku yang ditulis oleh siswa dan guru. Kemudian karya GLM secara tekstual antara lain juga dalam bentuk buku karya pegiat literasi dan TBM. Bagaimana dengan karya tekstual GLK? Semestinya juga hadir produk buku bernuansa keluarga. Apakah keluarga yang beranggotakan pendidik atau guru, pasti dapat menghasilkan karya literasi keluarga? Boleh jadi ya, tapi boleh jadi tidak. Atau sebaliknya,keluarga yang tidak beranggotakan pendidik, apakah pasti berat mewujudkan karya buku? Belum tentu juga.
Menurut Muhadir Effendi (2017), sejarah peradaban umat manusia menunjukkan bahwa bangsa yang maju tidak dibangun hanya dengan mengandalkan kekayaan alam yang melimpah dan jumlah penduduk yang banyak. Bangsa yang besar ditandai dengan masyarakatnya yang literat, yang memiliki peradaban tinggi, dan aktif memajukan masyarakat dunia. Dengan kata lain, bangsa dengan budaya literasi tinggi menunjukkan kemampuan bangsa tersebut berkolaborasi, berpikir kritis, kreatif, komunikatif sehingga dapat memenangi persaingan global.
Dalam sebuah wawasan khusus Hari Guru Nasional (HGN) 25 November 2020, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Nadiem Anwar Makarim kepada sebuah media nasional Jakarta antara lain mengemukakan, para guru diharapkan dapat menanamkan keterampilan literasi sedini mungkin kepada siswanya karena literasi menjadi modal utama dalam mewujudkan bangsa yang cerdas dan berbudaya, serta bekal untuk nantinya bersaing di pasar global.
Program dan gerakan Merdeka Belajar yang dicanangkan oleh Mendikbud Nadiem Anwar Makarim kiranya bukan hanya ditujukan bagi mereka yang masih studi formal, namun juga bagi siapa saja sebagai pembelajar sepanjang hayat. Anggota masyarakat yang berada di keluarga masing-masing, juga memiliki kemerdekaan dalam belajar demi pengembangan diri. Melalui literasi keluarga, setiap anggota keluarga mulai dari anak, bapak ibu dan bahkan kakek nenek, boleh saja berkarya tulis di media pers dan buku. Isi dan topiknya apa? Tergantung minat dan kemampuannya. Dapat non fiksi dan fiksi.
Sebagai sebuah ilustrasi nyata,kebetulan keluarga besar penulis berniat menerbitkan sebuah buku trah. Tujuannya supaya anak cucu buyut dari lima simbah putri atau ibu yang sudah tiada, dapat terus berinteraksi sebagai keluarga besar yang tinggal berjauhan dan semakin banyak. Tanpa adanya buku dengan isi antara lain diagram pohon keluarga, foto-foto dan refleksi keluarga, kiranya akan kesulitan saling mengenal kelak kemudian hari. Tentu saja kontak melalui media komunikasi modern (smartphone), secara berkala berkumpul di akhir tahun (tentu dengan protokol kesehatan), arisan keluarga, dan lain-lain tetap harus dilakukan karena lama kelamaan akan banyak yang saling tidak kenal.
Demikianlah, literasi keluarga antara lain dalam bentuk penulisan dan penerbitkan buku, kiranya memiliki kebermaknaan, kebermanfaatan dan turut melestarikan peradaban. ***
Y.B. Margantoro
Praktisi pers dan literasi di Yogyakarta,
Penulis buku “Sekolah Cinta Kasih” (2020)