Beranda Nasional Jogja Terdesak Magma dari Dalam, Puncak Merapi Mekar Sebesar 4 Meter

Terdesak Magma dari Dalam, Puncak Merapi Mekar Sebesar 4 Meter

Penampakan Gunung Merapi Desa Candibinangun, Pakem dan Desa Kepuharjo, Cangkringan, Sleman, Sabtu (28/11/2020) / tribunnews

YOGYAKARTA, JOGLOSEMARNEWS.COM – Akibat desakan magma dari dalam perut bumi, sejak ditetapkan berstatus siaga pada 5 November 2020, Gunung Merapi mengalami peningkatan deformasi atau pemekaran tubuh.

Meburut laporan Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi (BPPTKG), laju harian deformasi Gunung Merapi selama beberapa hari terakhir sebesar 11 cm/hari.

Sementara, sejak Juni 2020 hingga saat ini, Gunung Merapi telah mengalami pemekaran puncak sekitar 4 meter. Hal itu sampaikan Kepala Seksi Gunung Merapi BPPTKG, Agus Budi Santoso dalam Siaran Informasi BPPTKG, Sabtu (28/11/2020).

“Sampai saat ini dari Juni 2020 sudah terjadi pemekaran puncak sebesar sekitar 4 meter. Data pemantauan menunjukkan migrasi magma dari dalam sudah semakin dekat menuju permukaan. Namun demikian jika nanti terjadi erupsi tidak serta-merta menimbulkan bahaya bagi penduduk,” ujar Agus.

Ia melanjutkan, ancaman bahaya untuk erupsi efusif ditentukan dari perkembangan kubah lava. Sehingga saat ini pihaknya masih perlu mengikuti perkembangan kubah lava yang nanti terbentuk.

Adapun dari hasil pengamatan BPPTKG pada aktivitas Gunung Merapi Jumat (27/11/2020) pukul 00.00-24.00 WIB, terdengar suara guguran 6 kali dari Pos Pemantauan Gunung Merapi (PGM) Babadan dengan intensitas lemah hingga keras.

Pada periode tersebut, terjadi gempa guguran 39 kali, gempa hembusan 77 kali, gempa hybrid/fase banyak 410 kali, dan gempa vulkanik dangkal 37 kali.

“Kegempaan ini dalam kondisi yang tinggi sejak ditetapkan status siaga pada 5 November lalu. Pada grafik bisa kita lihat bersama bahwa seismisitas Gunung Merapi yaitu gempa vulkanik dangkal dan gempa hybrid/fase banyak melampaui krisis 2006, namun masih lebih rendah dari krisis 2010,” bebernya.

Agus menambahkan, pihaknya berpesan kepada masyarakat untuk tetap tenang dan bersabar menghadapi aktivitas Gunung Merapi ini.

“Kita berikan waktu kepada Gunung Merapi untuk berekspresi karena selama ini sudah memberi manfaat yang sangat besar untuk kita. Mudah-mudahan semua mendapat lindungan dari Allah SWT,” tandasnya

Pemantauan Visual

Pemantauan visual merupakan metode pemantauan tertua di Gunung Merapi. Berawal dari sekadar pengamatan kasat mata terhadap fenomena aktivitas gunung api, kini pengamatan visual juga dilakukan dengan menerapkan teknologi mutakhir seperti fotogrametri maupun teknologi penginderaan jauh melalui satelit.

“Pemantauan visual bertujuan untuk memantau aktivitas Merapi melalui data-data visual,” ungkap Kepala Seksi Gunung Merapi Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi (BPPTKG), Agus Budi Santoso pada Siaran Informasi BPPTKG yang ditayangkan di kanal YouTube BPPTKG Channel, Sabtu (28/11/2020).

Zaman dahulu, lanjut Agus, petugas pengamat Gunung Merapi melakukan pengamatan visual berupa kolom asap, titik api, alterasi batuan, lava pijar, awan panas, maupun perubahan morfologi.

Selain itu, pengamat juga menggambar sketsa morfologi puncak secara berkala sehingga perkembangan aktivitas dapat diketahui melalui sketsa tersebut.

Baca Juga :  Heboh Keributan Antarpelajar di Jogja, Polisi Lakukan Penyelidikan

 

Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, BPPTKG-PVMBG-Badan Geologi mengaplikasikan pemantauan visual dengan menggunakan teknik fotografi.

Saat ini terdapat 35 stasiun kamera yang berada di sekeliling Gunung Merapi, termasuk 9 stasiun kamera DSLR dan 2 kamera thermal. Foto yang diperoleh dari kamera menggantikan sketsa untuk mengukur perubahan morfologi secara spasial.

Saat muncul kubah lava Merapi pada Agustus 2018 lalu, BPPTKG menerapkan analisis fotogrametri untuk melihat perubahan morfologi dari waktu ke waktu.

“Dari analisis fotogrametri, kita jadi tahu bagaimana kubah lava berkembang. Jadi kubah lava ini berkembang dari tengah kemudian ke sekitarnya atau pertumbuhannya cenderung endogenik,” ungkap Agus.

Selain memeroleh foto dengan teknik fotografi, BPPTKG juga menerapkan teknologi drone untuk menghasilkan foto.

Kelebihan dari metode ini adalah foto dapat diperoleh dengan perspektif yang tepat seperti yang diinginkan, bahkan untuk daerah yang tidak terjangkau langsung oleh manusia.

Agus menyatakan, dengan menggunakan drone, kita tidak perlu mendatangi tempat-tempat yang berbahaya.

Analisis morfologi area puncak berdasarkan foto dari sektor tenggara tanggal 26 November terhadap tanggal 19 November 2020 menunjukkan adanya perubahan

morfologi area puncak, yaitu runtuhnya sebagian kubah Lava 1954.

Analisis morfologi area puncak berdasarkan foto dari sektor tenggara tanggal 26 November terhadap tanggal 19 November 2020 menunjukkan adanya perubahan morfologi area puncak, yaitu runtuhnya sebagian kubah Lava 1954. (IST)

“Seperti saat ini, tidak ada misi ke puncak karena pemantauan visual dapat dilakukan melalui drone dan satelit,” imbuhnya.

Pengambilan data drone yang dilakukan secara berulang, dapat membantu analisis perubahan morfologi dari waktu ke waktu.

Agus menunjukkan hasil analisis profil morfologi, kubah lava 2018 berhenti tumbuh pada akhir Desember 2018.

Selain itu, perhitungan volume kubah lava lebih akurat karena volume dihitung secara 3 dimensi, berbeda dengan era krisis sebelum ini di mana hanya menggunakan foto 2 dimensi sehingga kurang representatif.

“Pemantauan dengan menggunakan drone telah dilakukan secara intensif sejak menjelang erupsi tahun 2018 hingga saat ini dengan periode setiap 1 minggu,” terang Agus.

 

Metode pemantauan visual lain yang telah diterapkan adalah melalui satelit. Prinsipnya sama dengan metode drone di mana kita mendapatkan data foto objek dari atas.

Data dapat diperoleh tergantung jadwal pengambilan data oleh satelit, sehingga bisa lebih rutin. Seperti pada metode drone, dengan menggunakan satelit, pengamat tidak perlu mengakses daerah-daerah yang berbahaya.

Resolusi foto satelit saat ini dapat mencapai orde centimeter, sehingga sangat cukup untuk keperluan analisis morfologi.

“Pada akhir-akhir ini terjadi pembentukan crack atau rekahan di kawah atau kubah lava paska 2010 dan 2018. Kemudian juga menunjukkan aktivitas guguran yang intensif,” tutur Agus saat menerangkan hasil analisis foto satelit terbaru.

Baca Juga :  Merasa Tertipu, Puluhan Pedagang Pasar Sambilegi Gugat BMT BUS di PA Sleman

Agus menambahkan, perkembangan rekahan dan aktivitas guguran menunjukkan bahwa magma sudah sangat dekat di permukaan, sehingga kita menunggu kapan magma ini membentuk kubah di permukaan.

Metode lain yang dapat diterapkan untuk data satelit citra radar adalah Interferometric Synthetic-Aperture Radar (InSAR).

Metode ini memberikan gambaran deformasi secara 3 dimensi dari perubahan fase gelombang radar yang dipancarkan ke obyek dan kembali ke satelit. Prinsip kerjanya mirip seperti metode Electronic Distance Measurements (EDM), namun dengan jumlah sinar yang jauh lebih banyak.

Kekurangan dari metode InSAR adalah resolusi yang tidak terlalu tinggi sehingga agak sulit untuk mendapatkan resolusi orde sentimeter pada deformasi di gunung api. Berbeda dengan metode EDM yang bisa mencapai orde milimeter meskipun hanya diukur dari 1 titik.

“Metode InSAR ini berguna jika ada suplai magma yang besar, sehingga orde deformasinya mampu terekam oleh satelit,” jelas Agus.

Menyinggung tentang misi pendakian ke puncak Gunung Merapi, Agus menegaskan, metode visual sudah cukup memadai sehingga tidak diperlukan misi ke puncak yang sangat berbahaya.

“Kejadian kemarin, ada teman kita yang mendaki ke puncak, itu tidak bisa dibenarkan karena dapat membahayakan diri sendiri,” bebernya.

Hal ini diperkuat dengan kejadian pada Minggu (22/11/2020) lalu saat terjadi guguran dinding kawah di Lava 1954 yang disebut sebagai kejadian luar biasa karena volume yang runtuh cukup besar dan kejadian tersebut merubah morfologi puncak.

Agus sangat tidak menyarankan ada misi apa pun ke puncak Gunung Merapi meskipun dengan alasan mitigasi karena kondisi saat ini masih sangat berbahaya.

“Masyarakat untuk tetap tenang dan bersabar menghadapi aktivitas Gunung Merapi ini. Kita berikan waktu kepada Gunung Merapi untuk berekspresi karena selama ini sudah memberikan manfaat yang luar biasa kepada kita semua,” tandas Agus.

www.tribunnews.com