SRAGEN, JOGLOSEMARNEWS.COM – KPU Sragen bisa dijerat 3 tindak pelanggaran dari pelanggaran etik hingga pidana. Potensi itu muncul sebagai konsekuensi atas kasus ratusan pasien dan tenaga medis di beberapa rumah sakit di Sragen yang gagal nyoblos pada Pilkada 9 Desember 2020 lalu.
Padahal, sebagian besar pasien dan tenaga medis sudah siap mencoblos namun kala itu tak ada satu pun petugas KPPS terdekat yang mau datang ke rumah sakit.
Penegasan itu disampaikan Koordinator Divisi Sumber Daya Manusia (SDM) dan Organisasi Bawaslu Sragen, Edy Suprapto kepada wartawan, Jumat (18/12/2020). Ia menyampaikan kasus kegagalan nyoblos pasien di rumah sakit itu sangat berpotensi menjadi pelanggaran.
“Ada beberapa pihak yang menyayangkan tidak seluruh pasien di RSUD dr Soehadi Prijonegoro Sragen hak pilih tidak diberikan pelayanan secara menyeluruh oleh TPS-TPS berdekatan.Tentu saja itu ada potensi pelanggaran pasal 178 juga ada pelanggaran PKPU 6 bahwa semua pemilih harus dijamin artinya untuk memilih,” paparnya kepada wartawan, Jumat (18/12/2020).
Edy mengatakan hal tersebut masih menjadi dugaan pelanggaran mengenai pelayanan pemungutan suara di tumah sakit. Menurutnya untuk pasien di RSUD dr Soehadi Prijonegoro Sragen seharusnya diampu oleh enam TPS terdekat rumah sakit.
Yakni TPS 2-7, namun tidak seluruh petugas datang ke RS. Ia juga menyebut setidaknya hanya ada dua petugas KPPS dari TPS 3 dan TPS 6 yang mendatangi pasien. Sementara TPS 2, 5, 6 dan 7 tidak datang.
“TPS 5,6,7 dan 2 karena sesuatu hal mereka tidak datang ke RS. Ini yang kemudian potensi pelanggaran itu kami identifikasi sekarang, kami investasi dan kami pleno ada potensi dugaan pelanggaran,” terangnya.
Dari kasus itu, Edy menyampaikan ada 3 potensi pelanggaran yakni potensi dugaan pelanggaran pidana, pelanggaran administrasi dan etik. Saat ini, temuan-temuan itu sedang didalami oleh pihaknya.
“Bahkan sudah diregistrasi di Bawaslu Sragen dan telah dibahas di Penegakan Hukum Terpadu (Gakkumdu). Apabila ada unsur kesengajaan, yang bersangkutan bisa terkena pidana cukup berat yakni 1-2 tahun karena menghilangkan hak pilih orang lain,” tandasnya.
Sementara ihwal alasan dari KPPS waktu sudah selesai atau masih melayani pemilih di TPS, Edy menyampaikan boleh mengajukan argumentasi apapun.
Namun ia menggarisbawahi Bawaslu Sragen sudah melakukan penelusuran investasi bahwa hal tersebut merupakan dugaan pelanggaran.
Oleh sebab itu, saat ini proses klarifikasi di Bawaslu dilakukan dengan mengundang pihak terkait yakni semua KPPS yang terlibat, saksi, pengawas TPS dan KPU.
“Proses klarifikasi tentu harus kita tempuh. Kami tidak bisa menyampaikan justifikasi atas dasar asumsi. Semua dugaan tersebut baru dapat kami simpulkan jika sudah kita melakukan klarifikasi yang saat ini sedang berjalan,” terangnya.
Edy menyampaikan terkait jumlah pemilih yang tidak tersalurkan haknya belum bisa disampaikan karena masih dalam proses identifikasi.
RSUD dr Soeratno Gemolong dan RS Swasta sudah dilayani sesuai regulasi, namun yang paling menonjol adalah RSUD dr Soehadi Prijonegoro Sragen.
“Pemilih di RS yang memiliki form A4 dan A5 itu bisa dilayani pukul 12.00 sampai selesai, tidak terbatas sampai pukul 13.00. Semestinya hak-hak itu yang diberikan KPPS yang mengampu di RS,” tuturnya.
Sebelumnya, Bupati Sragen Kusdinar Untung Yuni Sukowati mengungkap ada ratusan pasien dan tenaga medis sejumlah rumah sakit di Sragen kehilangan hak pilihnya pada Pilkada Sragen, Rabu (9/12/2020).
Setidaknya di RSUD dr Soehadi Prijonegoro Sragen dan RSUD dr Soeratno Gemolong, ada lebih dari 150an pasien harus kehilangan haknya karena tak bisa mencoblos.
Bupati menyebut, meski tenaga medis sudah bersiap, hingga habis waktu tidak ada petugas KPPS yang datang ke dua rumah sakit tersebut.
“Kami minta teman-teman KPU untuk lebih bersiap ya, seperti tadi di rumah sakit petugas KPPS tidak ada yang datang. Di RSUD dr Soehadi tidak ada, di RSUD dr Soeratno juga tidak ada,” ujar Yuni, panggilan akrabnya, ditemui di Ndayu Park, Sragen, Rabu (9/12/2020).
Berdasarkan laporan yang diterima Yuni, ada lebih dari 100 pasien di RSUD Sragen yang kemarin sudah siap mencoblos. Kemudian dokter dan tenaga medis juga sudah menunggu.
Bahkan seluruh tenaga medis sudah menyatakan kesiapannya untuk menerima petugas pemungut suara. Namun ternyata petugas KPPS yang ditunggu tak nongol juga.
Karena tidak ada petugas KPPS yang datang, lanjut Yuni, para pasien terpaksa kehilangan hak pilih.
“Dokter perawat sudah siap, tapi petugas nggak ada yang datang. Ini berarti kan ada beberapa (pasien) yang mau menggunakan hak pilihnya tidak bisa karena ketakutan dari petugas,” sambungnya.
Yuni mengatakan, jumlah pasien yang kehilangan hak pilih berjumlah lebih dari 100 orang. Dirinya menduga, kejadian yang sama juga terjadi di 10 rumah sakit lain di Sragen.
“Padahal di RSUD dr Soehadi saja per hari ini ada 100 pasien. Belum di RSUD dr Soeratno Gemolong saya belum dapat laporan jumlahnya. Yang tadi sudah laporan sama saya dari RS negeri, yang lain belum saya cek. Tapi yang jelas kalo dari sampling dua RS besar di Sragen saja petugas tidak berani mungkin di tempat lain juga,” urainya.
Yuni berharap pihak penyelenggara Pilkada mencarikan solusi bagi para pasien agar tetap bisa menyaluran hak pilih. Hal tersebut sebenarnya sudah dilakukan KPU bagi para pasien isolasi mandiri di Technopark Sragen.
“Mungkin seharusnya dicarikan solusi seperti yang dilakukan di Technopark. Kemarin sudah disimulasi Alhamdulillah bisa. Tapi kenapa yang di rumah sakit tidak bisa,” keluhnya. Wardoyo