Oleh : Dhimam Abror Djuraid*
Tidak ada orang yang bisa mengritik polisi di Indonesia selucu dan seunik almarhum Gus Dur (dan tetap aman..).
Suatu ketika, dalam sebuah wawancara, Gus Dur mengatakan bahwa polisi yang baik itu cuma ada tiga. Salah satunya Pak Hoegeng Iman Santoso yang menjadi kapolri 1968 sampai 1971.
Anda yang sudah cukup umur pasti lebih mengingat Pak Hoegeng dengan penampilannya di TVRI dalam program acara Musik Hawaiian. Dengan baju bermotif kembang cerah Pak Hoegeng mendayu-dayu menyanyikan lagu-lagu tradisional Hawaiaan.
Sampai sekarang tidak ada lagi sosok pecinta musik Hawaiian selegendaris Pak Hoegeng yang meninggal pada 2004 dalam usia 83 tahun.
Sepeninggal Pak Hoegeng sulit mencari polisi selegendaris Pak Hoegeng dengan segala profesionalisme dan integritasnya. Setidaknya menurut ukuran humor Gus Dur, kejujuran Pak Hoegeng belum ada duanya.
Dua polisi baik lainnya versi humor Gus Dur adalah patung polisi dan polisi tidur. Humor Gus Dur ini juga menjadi humor yang legendaris. Tidak sembarangan orang boleh menceritakan humor itu. Hanya Gus Dur yang punya maqom itu.
Kalau saja sekarang masih sugeng mungkin Gus Dur akan mengeluarkan joke-joke baru mengenai polisi yang beberapa waktu belakangan ini kiprahnya moncer banget. Polisi memang sedang menjadi sentra pusaran politik beberapa hari terakhir ini.
Di Amerika pilpres baru saja selesai meskipun belum tuntas. Joe Biden mengalahkan petahana Donald Trump yang belum mau mengakui kekalahan.
Kiprah polisi juga menjadi tema sentral dalam pusaran politik Amerika selama pilpres.
Polisi menjadi profesi yang paling dibenci di Minneapolis, negara bagian Minnesota. Sejak Mei sedikitnya 14 orang petugas polisi mengundurkan diri dari dinas kepolisian karena merasa bahwa masyarakat membenci polisi dan tidak mendukung tugas-tugas polisi.
Gerakan menentang polisi meluas menjadi huru-hara di seantero kota. Tidak lama kemudian meluas ke seluruh pelosok negeri sampai ke ibukota Washington dan mengepung sekitar Gedung Putih.
Bukan hanya di dalam negeri. Demonstrasi menentang polisi meluas di seluruh kota-kota besar dunia dan Eropa. Ribuan orang berkumpul meneriakkan tuntutan yang sama, hentikan kekejaman polisi, hentikan pembunuhan ngawur oleh polisi terhadap masyarakat sipil.
Di Amerika toko-toko dan restoran dirusak, dijarah, dibakar. Gerombolan perusuh bergelombang liar mengangkuti saja dari dalam toko, mulai dari sepatu, pakaian, peralatan listrik, apa saja.
Perkelahian terbuka demonstran melawan polisi pecah di mana-mana. Polisi menembak menjatuhkan beberapa demonstran. Bukannya mundur para demonstran malah semakin berani menyerang polisi.
Suatu petang, 25 Mei 2020, seorang laki-laki bernama George Floyd keluar dari sebuah mini market di Minneapolis untuk membeli sebungkus rokok. Ia menyeberang jalan menuju ke mobilnya yang diparkir di pinggiran jalan.
Tiga orang polisi langsung menyergap dan membantingnya. Tubuhnya yang tinggi besr berdemu ke aspal ketika salah seorang polisi, Derek Chauvin, dengan gerakan judo membanting dan memiting lehernya ke aspal.
Floyd mengerang kesakitan tertelungkup ke aspal jalan. Derek Chauvin memelintir lengan Floyd ke punggung dan menindihkan dengkulnya ke leher Floyd yang putus asa dan ketakutan. “I can’t breath..I can’t breath. Aku tak bisa bernafas, aku tak bisa bernafas. Tolong, aku tak bisa bernafas, Pak..”
Chauvin tidak mengendorkan tindihan dengkulnya ke leher Floyd. Malah sebaliknya dengkulnya makin keras menekan leher Floyd.
Seperti petarung MMA yang tak berdaya dan sudah memberi isyarat menyerah, Floyd berusaha menggerakkan tangannya yang sudah terkunci dan terborgol untuk memberi isyarat menyerah. Suaranya makin lemah, nafasnya tersedak, tangannya melambai pelan, melunglai, Floyd mati kehabisan nafas dan dengkul Floyd masih menindih lehernya.
Orang yang lewat di trotoar mengarahkan kamera hand phone merekam adegan itu. Beberapa pejalan kaki berteriak supaya Chauvin melepaskan Floyd, tapi Chauvin tidak peduli.
Hanya dalam hitungan menit adegan itu viral ke seluruh dunia. Rintihan “I can’t breath seolah menjadi war cry, teriakan perang, di seluruh dunia. Puluhan ribu orang, ratusan ribu orang, jutaan orang, turun ke jalan memprotes pembunuhan brutal itu.
Gelombang demonstrasi menentang pembunuhan biadab itu menyebar cepat seperti api membakar rumput kering. Para pemrotes mengangkat isu yang seragam, yaitu Black Lives Matter (BLM), Nyawa Orang-Orang Kulit Hitam Penting.
Gerakan ini sudah mulai muncul sejak 2013 setelah banyaknya pembunuhan oleh polisi terhadap orang-orang kulit hitam di Amerika. Gerakan yang semula merupakan protes sosial berubah menjadi gerakan politik.
Tujuan awal gerakan ini menuntut agar kekejaman polisi dihentikan, lalu meluas menjadi tuntutan agar anggaran negara kepada polisi dihentikan, lalu memuncak lagi menjadi tuntutan agar kepolisian dibubarkan.
Gerakan semakin luas dan sulit dikontrol. Berbagai elemen gerakan radikal menyusupi BLM. Dalam setiap demonstrasi elemen radikal dalam BLM selalu menyulut benturan dengan polisi. Semboyan kelompok radikal bermunculan dalam poster maupun posting media sosial.
Poster “ACAB” (all cops are bastards, semua polisi adalah penjahat) muncul di setiap demonstrasi.
Muncul tuduhan bahwa BLM sudah disusupi gerakan komunis dan gerakan kaum anarkis. Bahkan muncul pula tuduhan bahwa BLM adalah gerakan anti fasis yang sering disebut sebagai antifa.
Antifa dan anarko. Gerakan anti fasis dan gerakan anarkis yang menentang kekuasaan negara. Dua gerakan ini menjadi salah satu unsur radikal dalam BLM. Mereka menganggap pemerintahan Donald Trump adalah pemerintahan fasis ala Nazi Jerman.
Fasisme menginginkan adanya kekuasaan negara yang dominan dan melemahkan hak-hak demokratis warga negara. Donald Trump dianggap fasis karena kebijakannya yang rasialis dan merugikan orang-orang kulit hitam dan kulit berwarna. Donald Trump dan Partai Republik dituduh sebagai pendukung “White Supremacy”, supremasi kulit putih.
Dalam berbagai demo benturan antara BLM melawan kelompok White Supremacy tak terhindarkan. Demonstran tandingan kulit putih ini dengan mencolok membawa senjata api laras pendek dan panjang lengkap dengan peluru dan perlengkapan perang. Dalam beberapa insiden demonstran kulit hitam luka dan meninggal ditembak oleh demonstran kulit putih.
Masyarakat Amerika terbelah dua antara supremasi kulit putih dan kesetaraan semua warga negara. Diskriminasi terhadap kulit hitam menjadi penyakit yang menyeret Amerika ke dalam Perang Saudara 1861 sampai 1865.
Kelompok pendukung perbudakan di utara bertempur melawan pendukung anti perbudakan di bagian selatan. Hampir 600 ribu orang tewas dari kedua belah pihak.
Perang telah selesai. Tapi penyakit diskriminasi tetap ada sampai sekarang. Gerakab white supremacy masih mendapat dukungan luas sampai sekarang. Pilpres 3 November yang lalu adalah kelanjutan bawaan dari Perang Saudara itu. Kemenangan Joe Biden diharapkan bisa mengobati bangsa yang terpecah itu.
Beberapa hari terakhir ini kita di Indonesia terjadi dugaan pembunuhan oleh polisi terhadap enam warga sipil anggota FPI. Sorotan tajam terhadap polisi muncul karena insiden itu dianggap sebagai extra judicial killing.
Harus ada sikap bijaksana untuk menyelesaikan kasus ini agar tidak menjadi sorotan internasional sebagaimana di Amerika.
Kita jadi kangen Gus Dur dengan joke-jokenya mengenai polisi.
Kalau hanya tiga polisi itu yang baik, bagaimana polisi-polisi lainnya, Gus?
“Mereka lebih baik. Insya Allah”. Begitu (mungkin) jawaban Gus Dur. (*)
—*Penulis adalah wartawan senior—-