Lelaki berperawakan sedang itu datang menyambut. Penuh keramahan ia mempersilakan duduk JOGLOSEMARNEWS.COM kala bertandang ke panti asuhan Daarul Qolbi di Prigen, Widodomartani,Ngemplak, Sleman Yogyakarta Jumat (08/01/2021) lalu. Mengenakan sarung dan kaos ia memperkenalkan diri bernama Priyanggono, Pemilik sekaligus pengelola panti asuhan tersebut.
Tak ada yang aneh bila memandang lelaki itu dari kejauhan. Namun, mendekat dan mencoba berkomunikasi, terlihatlah tato yang melingkari lehernya persis seperti kalung. Membuat sisa-sisa kegarangan terbesit di wajahnya.
“Ya, beginilah saya, dan keadaan panti ini, “ucap Priyanggono. Ternyata suaranya tak sesangar seperti yang dibayangkan,bahkan terkesan halus.
Memandang sekeliling panti ini, tampak menarik bahkan dari halaman depan hingga lahan belakang. Bagian depan berupa pendhapa kayu, ornamennya penuh dengan benda-benda kuno dan jadul, ada lesung, klontong sapi, televisi jadul, cething (tempat nasi) , gong yang dipasang berderet di tembok. Pendapa itu berfungsi sebagai ruang tamu, sekaligus warung dan tempat pengajian umum.
Warung Kongsuu adalah nama yang melabelinya, singkatan dari Kongkow Ngunjuk Susu, menjual aneka minuman seperti es teh, es jeruk , susu dan lainnya, dilengkapi aneka camilan pisang goreng French fries, sosis, oreo goreng , mendoan dan masih banyak lainnya. Spesial di sini adalah mangut kepala mayung. Harganya cukup murah, mulai @Rp 1500. Adapun yang mengelola warung ini, mulai dari memasak, menyajikan, mencuci perkakas bagian dapur, kasir adalah para penghuni panti asuhan.
“Dulu sebelum Corona, warung ini ramai, yang mengelola anak-anak, tapi saya malah kasihan mereka kecapaian.Rencana mau saya tutup malahan, semua barang-barang jadul ini mau saya jual, jadi pendhapanya bisa buat pengajian lebih luas, “tandas lelaki kelahiran Semarang, November 1977 ini.
Panti yang berada di tengah sawah, dengan luas sekitar 654 meter persegi ini menjadi tempat tinggal bagi 25 anak yatim dhuafa dari berbagai daerah, Wonosobo, Cilacap,Riau, Lampung dan paling banyak dari Sumatera. Usianya ada yang balita, SD , SMP dan SMA. Mereka tinggal di sini dan disekolahkan gratis.
“Saya bikin panti asuhan ini modal nekat. Sudah 8 tahun berjalan. Gak ada modal, gak juga bikin proposal ke donatur atau yang lainnya. Semua karena Gusti Allah, “ujar Priyanggono yang biasa disapa Abah oleh anak-anaknya di panti tersebut.
Ikhwal membuat panti asuhan tersebut, serta Pondok Pesantren Tombo Ati yang sedang dirintis di area yang sama, imbuh Priyanggono tak lepas dari masa lalunya yang kelam. Hidup di Semarang kala itu, ia menjadi Debt Collector, dan preman yang cukup ditakuti. Kehidupan kelam kejahatan, memalak, minum-minuman pun menjadi keseharian yang melingkupinya. Pendapatan yang cukup besar pun turah-turah untuk Suhesti, sang istri tercinta.
“Gaji saya sangat besar waktu itu, apa-apa bisa beli, tercukupi. Tapi kok batin berontak, hidup kayak gini terus. Ada rasa jenuh dan isin (malu) dalam diri, istri saya mau dibawa kemana, mosok kayak gini terus, “ucapnya sesekali mengisap rokoknya.
Dari kejenuhan hebat itulah ia memutuskan bertobat dan hijrah. Ia menjadi mualaf, kemudian pindah ke Yogyakarta, dan memulai berjualan soto dengan sang istri. Dalam perjalanan hidup baru itu, ia bertemu banyak teman sharing agama cukup baik. Ia pun berusaha mendalami dan menjalani agama dengan serius penuh keikhlasan, termasuk kegiatan sedekah yang cukup mengusik hatinya. Hingga kata Priyanggono, dirinya punya mimpi bisa membangun sebuah panti asuhan.
“Ndilalah kalau saya pingin sesuatu, terus saya gambar, saya visualisasikan, eh bisa terwujud. Jadi, suatu hari waktu masih di kos, saya gambar sebuah panti asuhan, akhirnya Alhamdulillah bisa terwujud,”terangnya.
Pasang surut, suka duka pastilah dilalui Priyanggono bersama istrinya saat mengelola panti ini. Mereka pun tak pernah membatasi siapa saja yang hendak tinggal di sini. Banyak anak yatim, dhuafa dari luar pulau bahkan datang sendiri setelah diberitahu oleh saudara mereka, bahwa mereka bisa tinggal dan sekolah di sana. Beberapa di antara anak asuh ada pula yang titipan dari orangtua, single parents yang secara ekonomi sangat tidak mampu, sehingga harus berkerja jauh untuk kehidupan mereka.
“Sebagaimana orangtua pada umumnya, pasti senang kalau anak-anaknya patuh, tidak nakal. Tapi ya namanya anak-anak dari latar belakang yang berlainan, daerah yang berbeda, karakter yang beragam, maka memperlakukan mereka pun harus bersabar,”papar Priyanggono disinggung kesan selama mendirikan panti asuhan tersebut.
Kesabaran dan kepasrahan kepada Tuhan jugalah yang senantiasa dipegang oleh Suhesti, perempuan kelahiran 1980 ini. Suhesti yang oleh anak-anak asuhnya dipanggil Bunda ini berusaha menempatkan diri apa adanya. Terlihat dalam interaksinya ketika mendampingi anak-anak asuh perempuannya yang sedang menyiapkan makanan di dapur warungnya. Sesekali ia memberikan petunjuk tentang pesanan pembeli yang harus dibuat dan disajikan. Layaknya seorang ibu, namun juga teman seusia mereka.
“Merawat, mengasuh mereka itu sama seperti kayak anak sendiri. Dijalani aja pokoknya,tegasnya.
Diakui Hesti, bukan tanpa ujian ketika ia bersama suaminya membangun dan membesarkan panti ini. Di awal-awal berdirinya panti terutama, termasuk ketika masa lalu sang suami melekat, banyak yang belum percaya kepada mereka.
“Pernah dulu, pas awal-awal, beras yang kami miliki mau habis, gak ada uang , pokoknya bingung, anak-anak gimana makannya. Terus mau ngedak bangunan juga, tidak ada dana. Tapi ya itu tadi, ada-ada saja rezeki dari Allah. Suami kadang diundang ngisi acara atau pengajian, jadi bisa buat biaya macam-macam, juga tentang biaya sekolah, ada rezeki dari para donatur, “ucap Hesti penuh syukur.
Kini dalam perjalanannya tahun ke Sembilan ini, panti asuhan Daarul Qolbi terus berbenah. Berusaha mandiri dan membuat anak-anaknya berjiwa pantang menyerah . Caranya, selain membuat warung itu, ada pula pemeliharaan ikan lele, budidaya koi, kambing, jasa hapus tato, yang hasilnya untuk operasional panti. Kiki Dian S