Beranda Panggung Sastra Tatkala Sang Jurnalis Memuisi

Tatkala Sang Jurnalis Memuisi

tempo.co

Judul buku          : Percakapan dengan Candi                              (Kumpulan Puisi)

Penulis                 : Amir Machmud NS

Penerbit              : Mimbar Media Utama                                      Semarang

Cetakan               : Pertama (2021)

Tebal buku          : xvi + 107 halaman, 15 x                                21 cm

 

TATKALA sang jurnalis memuisi, kadang bisa terjadi “campur kode” dua talenta. Saat menulis karya jurnalistik, terutama feature atau kolom, nalurinya sebagai pencinta diksi puitis menyeruak masuk. Sebaliknya, sewaktu menuntaskan hasrat menuangkan gagasan ke dalam karya sastra, seperti puisi, naluri jurnalisnya pun ikut membayangi.

Statemen di atas agaknya tepat dialamatkan kepada Amir Machmud NS. Kolom-kolom sepak bolanya, tak pelak lagi menunjukkan kemampuannya berpuitis ria sembari menyentuh rasa para pembacanya begitu kuat terpatrikan. Dan, ketika dia menulis puisi, gaya penulisan jurnalistiknya tetap menyisakan jejak.

Sungguh tepat jika Ramon Damora, penyair peraih Jembia Emas 2020, yang berdomisili di Kepulauan Riau, menyebut buku kumpulan puisi Amir Machmud NS yang bertajuk Percakapan dengan Candi ini sebagai “reportase puitis” terhadap senarai khazanah situs candi-candi di Jawa Tengah.

Sementara itu Handry TM, pemenang utama Lomba Puisi Esai Asia Tenggara 2019, meyakini puisi-puisi Amir dalam antologi ini berdasarkan catatan pikiran yang telah lama tersimpan. Dan, ledakan produktivitas pada rentang kurun penciptaan 2020-2021 menunjukkan kegairahan penyair saat berada di puncak pengalaman sastrawinya.

Feature puitis begitu terasa jejaknya dalam kemasan puisi, untuk menggapai semacam representasi, misalnya pada “Bulan di Atas Candi Sewu”. Bulan yang belum purnama sepenuhnya, justru lebih menegaskan keindahan candi yang bernama lain Manjusringha itu dan hanya berjarak 800 meter dari Candi Prambanan.

//baru separuh purnama pun/bulan tak segan menyembul elok/di atas Candi Sewu/apalagi

nanti/ketika purnama penuh membuktikan jiwa//

//dengan cahaya belum sempurna pun/siluet candi mengukir langit/sesekali menyusup uap kabut/suasana jiwa yang tak setiap saat bisa dicecap/suasana rasa yang tidak setiap waktu bisa diserap//

Aksentuasi keindahan itu kemudian menyentuh sejumlah properti tempat peribadatan itu:

//purnama di atas Manjusringha/menyiram bebatuan/perwara-perwara berkilat putih cahaya/pohon bodhi tenang menjaga/bersama sepasang Dwarapala/dengan gada mengukuhkan wibawa//

//pucuk-pucuk stupa/meraih tangan rembulan/mengabarkan syahdu malam/yang sudah terasa/tanpa menunggu embun/menyimak syair-syair nirwana// (halaman 15).

Masih dengan jejak feature puitis yang tidak kurang liat, ziarah cinta yang khusyuk pun tecermin pada “Teduh Bebatuan Candi Ijo”: //bertamu ke altarmu/di dingin hijau/wajah teduh bebatuan/di ketinggian bukit/membahasakan narasi pesan/bersemadilah dalam khusyuk jiwa//.

Ada pula kesamaran yang begitu memikat di balik gairah penyatuan lingga dan yoni: //di ketinggian candi/masih terlipat misteri/prasasti yang belum terbaca hati// //di ruang kemuliaan/penanda kuat melekat/lingga dan yoni/penyatuan Siwa dan Parwati//.

Dan, berujung menuju ke hasrat menjulurkan rasa kapang pada kesilaman: //bermesra di senyapmu/melaut getar rasa/mata menapak ke satu per satu tangga/menyiratkan luap rindu/ada masa lalu yang menuntun cahaya/mengetuk pintu swarga// (halaman 37).

Kekuatan Narasi

Kekuatan narasi sebagai salah satu ciri khas gaya kepenulisan Amir Machmud NS ternyata tidak hanya terkanalisasi dalam kolom-kolom sepak bolanya. Bahkan dengan gerak yang lebih gesit, rayuan merak ati kekuatan narasi itu juga muncul dalam puisinya.

“Darma Sunyi Maha Empu” bisa mewakili dari sisi keunggulan ini. Kali ini kisah tentang Empu Gunadarma yang dalam legenda Jawa merupakan arsitek perancang Candi Borobudur (Sambarabudara) dari abad ke-9.

//sunyi darma/atas nama guna/kemanfaatan manusia/engkaukah itu, Empu Gunadarma?// dalam semesta Sambarabudara/dia selalu ada/antara sejarah dan legenda/keagungan yang tak terpisahkan/di balik misteri tak terpecahkan//

//siapa yang mengusung visi besar/di situs Bara Budara/merancang anggun batu-batu/menyusun penyatuan relief ceritera/memberi arti pada tiap tanda/merias ritus dari sudut ke sudut/dengan presisi sejernih mata hati//

//ah, rencana yang tak kasat mata/dari bening pijar batin/menggerakkan tangan-tangan terampil/memberi daya dari alam tak terbaca// //dalam darma ide/dalam darma visi/dalam darma mewujudkannya/berenang di kedalaman mata Budha/tirakat yang mencerahkan semua//

Dan, ternyata keikhlasan Empu Gunadarma mencurahkan pengabdiannya dalam mewujudkan pembangunan Candi Borobudur itu, tersandung upaya pihak-pihak tertentu dengan sampiran motif masing-masing cenderung menunjukkan upaya menyamarkannya dari sapaan bahasa sejarah.

//demi jernih politik agama/dan kuasa negara/yang mengayomi semua/prasasti mana yang melipat Gunadarma/: di suar sinar Rakai Panangkaran/di karsa kuasa Samaratungga/di balik cerdik politik Rakai Pikatan?//

//senyap pun menoreh maha empu// //takkan cukup hanya ditera/sebagai pencipta/tanpa terang bahasa sejarah/: siapakah Gunadarma// (halaman 69-70).

Selanjutnya, hembusan kekuatan narasi itu makin terasa kuat dalam jalinan kisah kasih Rakai Pikatan dengan Pramodyawardhani lewat “Awan Tipis Membalut Candi”. Masih dengan memainkan kalimat interogativa (pertanyaan), Amir menghidupkan imajinasinya dalam ziarah cinta di Candi Plaosan.

//kau simakkah batu-batu candi berselimut awan?/tipis magis berpayung alam/bening embun melumur rerumputan/cahaya belum sempurna menyiram pagi//

//di pelataran itu samar-samar bersijingkat/langkah anggun Pramodyawardhani/Rakai

Pikatan gagah mengikuti/o, inikah candi cinta/yang menyempurnakan mahkota rasa/kuil

pemuja bertabur wangi bunga?//

Bait selanjutnya, Amir mengintertektualitaskan dengan kisah Bandung Bandawasa dan Rara Jonggrang:

//dalam terang memanjat/bebatuan bermandi matahari/menggenapi penyatuan paripurna/bukan, bukan seperti kisah Bandung Bandawasa/dengan sembilan ratus sembilan puluh sembilan candi/yang tersusun tergesa/menanda hasrat tak sampai/persembahan yang terbengkalai/Rara Jonggrang menampik asmara sang kesatria//

Sebaliknya, cinta Rakai Pikatan tidak bertepuk sebelah tangan. Pramodyawardhani pun nglanggati dengan energi asmara yang sama besar.

//di Candi Plaosan/Sang Rakai memprasastikan cinta/Rani Tanah Jawa meruntuhkan perintang/sejoli yang melawan sekat keyakinan/menguarkan aura kelembutan/: tentang asmara yang bermahkota daya rasa/cinta yang mengikat tenaga hasrat//

//kau hayatikah dengan bening mata hati/pucuk-pucuk candi menjulang/meraih langit asa/menegaskan jiwa yang menyatu/sempurna mengangkasa// (halaman 85-86).

Masih banyak puisi lain menawarkan kerlingan estetika yang menukik ke palung rasa, terutama (setidaknya menurut pilihan subjektif saya) trilogi percakapan hati Rakai Pikatan, Pramodyawardhani, dan Samarotungga. Penasaran bukan?

Membacai puisi-puisi dalam antologi ini, benar memang kata Ramon Damora, kita akan mendengar solilokui yang riang dan syahdu serta monolog intim-sublim. (Fauzan Haidar)