Oleh: Zainal Bintang*
Peringatan Hari Kebebasan Pers Sedunia, 03 Mei 2021 mengusung tema: “Information as a Public Good” atau “Informasi Sebagai Milik Publik”. Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) menetapkan 3 Mei sebagai Hari Kebebasan Pers Se-dunia pada Sidang Umum tahun 1993 untuk memperingati penyelenggaraan “Deklarasi Windhoek” di Namibia (1991).
Itu adalah inisiatif pekerja pers Afrika untuk memperjuangkan media yang bebas, independen, dan pluralistik di tengah tekanan dan kekerasan yang terus-menerus terjadi pada jurnalis.
Deklarasi berisi: (1). Negara harus proaktif dalam melindungi jurnalis dan mengupayakan agar warga negara dapat menggunakan kebebasan berekspresi. (2). Negara harus menghindari pengendalian media.(3). Mencegah monopoli negara atas media.(4). Negara memastikan dukungan hukum dan dukungan praktis lainnya untuk sektor-sektor seperti pelayanan publik dan media komunitas.
Perlu diingat tema Hari Pers Sedunia Tahun 2020 di Belanda adalah : Journalism Withuot Fear and Favour (Jurnalisme Tanpa Ketakutan dan Bantuan).
Memang penting, merawat memori kolektif publik yang terus masih menyaksikan banyaknya negara yang melakukan sensor, memberlakukan denda, atau menghentikan beroperasinya media massa. Jurnalis, editor, dan penerbit bahkan menjadi korban penyerangan, dipenjara, hingga dibunuh.
Hari Kebebasan Pers Se-dunia menjadi momentum dukungan kepada media yang menjadi sasaran pengekangan, sekaligus mengenang para jurnalis yang kehilangan nyawa dalam menjalankan tugasnya.
Padahal para pekerja media suka rela memberikan kontribusi yang signifikan, mengolah informasi dan data ilmiah yang kompleks menjadi lebih mudah dicerna oleh publik, menyediakan data yang diperbaharui secara berkala, dan melakukan pengecekan fakta.
Kebebasan pers tidak hanya krusial bagi para juru warta, tetapi juga masyarakat umum. Pers yang bebas secara moral terikat mendukung kesinambungan partisipasi warga negara untuk berperan aktif dalam demokrasi.
Akan tetapi dalam perkembangannya, serangan masifitas pandemi Covid-19 sejak Maret 2020 telah memaksa mayoritas negara berperilaku represif menyikapi protes warga,- yang kebanyakan disuarakan lewat media pers ,- terhadap kebijakan penanganan pandemi yang tidak maksimal, tidak terkecuali Indonesia, yang mencatat banyak isu kebebasan berpendapat dan berekspresi di media yang perlu ditangani, terkait maraknya praktik kriminalisasi publik dengan menggunakan “kekebalan” pasal karet ” UU ITE.
Ancaman kebebasan berpendapat dan berekspresi di ruang virtual pun terus bermunculan sehingga warga semakin takut bersuara. Bayang–bayang kelam di kecerahan langit dunia pers mulai terlihat di depan mata.
Ancaman punahnya sejumlah komitmen kemandirian pers demi demokrasi tersandung opsi pengarusutamaan pengendalian serangan pandemi Covid 19. Terjadi di semua negara. Hanya pola gradasi dan antisipasinya yang berbeda- beda.
Paling mengenaskan, pemerintahan yang rapuh demokrasinya menemukan ruang perlindungan legitimasi praktik otoritarianisme. Alasan keselamatan jiwa rakyat menjadi pendulum gerakan represif yang terlegitimasi. Berlindung di balik prinsip:Salus populi, suprema lex esto (keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi).
Penulis buku Sapiens dan Homo Deus, sejarawan dan sastrawan Israel Yuval Noah Harari, melalui artikelnya berjudul The World After Coronavirus , yang ditulisnya di Financial Time, 20 Maret 2020, menggambarkan perubahan kondisi yang mungkin terjadi setelah pandemi virus Corona (Covid-19) berakhir.
Ia menyebutkan kasus pandemi Covid-19 berpotensi mendorong,- bahkan dapat menjadi preseden,- bangkitnya pemerintahan otoritarianisme.
Ia menyebutkan kuatnya signal kebangkitan otoritarianisme atau totalitarianisme ditandai munculnya indikasi surveillance state atau negara pengawasan.
Pemicunya diakibatkan tingginya tingkat penularan Covid-19. Mengisyaratkan pemerintah harus menjaga agar physical distancing tetap terjaga dengan menempatkan berbagai CCTV.
Menariknya, di luar aspek ekonomi, Harari justru menyebutkan, akibat tingginya tuntutan publik atas pengendalian pandemi Covid 19, membuat pemerintah dan masyarakat “terpaksa” sepakat menghadirkan “negara pengawasan” melakukan pelonggaran hak privasi.
Sebelumnya, ia juga telah mengkritik Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu karena menggunakan pandemi Covid-19 sebagai alasan untuk “membunuh” demokrasi di Israel.
Netanyahu yang kalah dalam pemilihan justru memanfaatkan momen Covid-19 untuk menutup parlemen Israel. Memerintahkan masyarakat untuk tetap di rumah, dan menetapkan keadaan darurat.
Atas hal tersebut, Netanyahu disebutnya sebagai seorang diktator. Karena menetapkan keadaan darurat padahal ia tidak memperoleh mandat dari masyarakat karena kalah dalam pemilihan.
Harari memberikan pandangan negatif terkait bangkitnya–atau setidaknya potensi kebangkitan – pemerintah otoriter dalam menangani pandemi Covid-19, berbagai pihak justru menempatkan diri berseberangan dan menyebutkan otoritarianisme memang bentuk pemerintah yang dibutuhkan untuk memerangi virus yang pertama kali diidentifikasi di Wuhan, Tiongkok.
Shaun Walker dalam tulisannya di The Guardian mengutip ilmuwan politik asal Bulgaria, Ivan Krastev –menyebutkan bersama pandemi Covid-19, masyarakat di berbagai belahan dunia telah memiliki toleransi atau penerimaan atas pemerintah yang berlaku otoriter dalam upayanya memerangi Covid-19.
Berbagai elemen masyarakat, seperti Kepala Daerah maupun Ikatan Dokter Indonesia (IDI) telah menyerukan pemerintah untuk menerapkan lockdown guna mencegah penularan Covid-19.
Dengan kata lain, seperti pernyataan Walker, masyarakat seyogianya telah memiliki toleransi atau penerimaan apabila nantinya pemerintah berlaku otoriter untuk memerangi virus tersebut.
Lalu, narasi antisipasi seperti apakah yang mesti dipilih pemerintahan Jokowi untuk memerangi pandemi Covid-19 di Indonesia?
Senang atau tidak senang pandemi Covid 19 telah memaksa penggiat demokrasi di banyak negara untuk menata ulang dan melakukan restrukturisasi pola kerja dan operasi demokrasi. Bukan cuma itu, bahkan dampak negatif pandemi Covid 19 serta merta merubah artikulasi demokrasi.
Kehadiran “sekutu” baru demokrasi, yang bernama “Negara pengawasan” itu, justru terhantar atas jaminan konstitusi atas nama: keselamatan rakyat.
Surveillance State dan Demokrasi telah “serumah” selaku sekutu temporer. Perpaduan keduanya adalah narasi baru demokrasi yang sudah ada di ruangan tidur publik.
Menarik merujuk kembali kepada pernyataan Harari yang menyebutkan, “konsekuensi luas dari pandemi telah membuat kesehatan masyarakat dibingkai ulang sebagai masalah keselamatan dan keamanan nasional secara global”.
Hal itu sendiri, katanya, tidak selalu buruk, tetapi di banyak negara sekuritisasi kesehatan masyarakat telah menghasilkan momentum tiba-tiba untuk melanggar batas privasi hingga saat ini, “dianggap tidak dapat diterima di negara demokrasi”.
Ini termasuk penggunaan alat yang mengintegrasikan kesehatan publik dan database telekomunikasi pribadi dan penggunaan data lokasi pribadi oleh pemerintah dari ponsel cerdas untuk melacak dengan cermat interaksi seluruh populasi atau untuk menegakkan kepatuhan karantina sukarela, ujar Harari.
Di luar perdebatan mengenai kebangkitan otoritarianisme tersebut, Rachel Kleinfeld dalam tulisannya Do Authoritarian or Democratic Countries Handle Pandemics Better? (31/3/20).
Ilmuwan perempuan Amerika itu memberikan penekanan yang cukup menarik. Menurutnya perihal penanganan Covid-19, sebenarnya bukanlah menjadi perdebatan apakah putusan yang diambil adalah otoriter atau demokratis, karena perdebatan yang seharusnya dilakukan adalah “seberapa efektif putusan tersebut mengatasi pandemic”.
Kleinfeld menegaskan, dalam situasi krisis seperti pandemi Covid-19, sudah seharusnya kebijakan-kebijakan merujuk pada sains medis.
“Oleh karenanya tidak perlu lagi ditemukan perdebatan terkait apakah penerapan lockdown ataupun hadirnya surveillance state misalnya, merupakan bentuk pemerintah otoriter atau tidak”.
Kembali kepada peringatan Hari Kebebasan Pers Se–Dunia. Lantas, bagaimana menempatkan pesan legendaris Nelson Mandela yang terucapkan belasan tahun sebelum ada pandemi Covid 19?
Revolusioner antiapartheid dan politisi Afrika Selatan yang menjabat sebagai Presiden Afrika Selatan sejak 1994 sampai 1999 itu, terkenal dengan ucapannya tentang peran pers yang sentral:
“Pers kritis, independen, dan investigatif adalah sumber kehidupan demokrasi apa pun. Pers harus bebas dari gangguan negara. Ia harus memiliki kekuatan ekonomi untuk bertahan menghadapi kebodohan pejabat pemerintah. Itu harus memiliki independensi yang cukup dari kepentingan pribadi untuk berani dan bertanya tanpa rasa takut atau bantuan. Ia harus menikmati perlindungan konstitusi, sehingga dapat melindungi hak-hak kita sebagai warga negara”.
Wartawan senior teman lama, kembali mengirim pesan WhatsApp, ia mengutip Martin Luther King Jr dan ia menulis begini: “Kebebasan tidak pernah secara sukarela diberikan oleh penindas; itu harus dituntut oleh yang tertindas”.
Mungkinkah?
—–*Penulis adalah wartawan senior dan pemerhati masalah sosial budaya.-—