Oleh: Muhammad Subarkah, Jurnalis Republika
Siapa tak kenal Harmoko kala Orde Baru dipuncak kejayaannya. Wajahnya wira-wiri nongol di layar televisi. Suara khas renyah. Dia selalu bicara setiap kali usai sidang kabinet. Pilihan bahasanya sederhana. Sangat merakyat.
Yang kerapkali diomongkan kala jumpa pers itu hal-hal yang mungkin pada masa sekarang dianggap remeh-temeh. Harmoko dengan lugas bicara soal harga-harga sembako dan sayuran. Harga kol bulet, wortel tanpa daun, cabai merah keriting, bawang merah-bawang putih, garam, dan komoditas sehari-harinya disebutkan dengan fasih. Tak lupa dia mengawali semua itu dengan frase legendaris: Menurut petunjuk bapak Presiden!
Kala itu juga banyak sekali mentertawakannya. Mereka yang anti rezim Orde Baru menyebut Harmoko yang merupakan menteri penerarangan dengan ‘pleseten’ akronim namanya: Hari-hari omong kosong. Tapi Harmoko dengan tangkas membalasnya bila dengan mengatakan: hari-hari omong koperasi, hari-hari omong sembako. Harus diakui mantan pelukis Senen dan kartunis harian Posko dengan inisial ‘Mok’ ini memang tangkas bicara.
Masa kecilnya di kota Nganjuk selalu membekas dalam kenangnya. Dia kerap menceritakan bila kala itu dia sudah tergila-gila nontong wayang. Kemanapun ada pertunjukan itu dia mengubernya. Dan di masa itu dia mengaku pula kerap pergi ke pesantren yang ada di dekat rumahnya.
Dia lakoni semua itu meski kerap harus dengan menyebrang sungai dengan cara ‘ngeli’ atau berenang. Harmoko mengaku sangat menikmatinya sembari kerap bercerita soal ingatannya pada gema ‘sholawatan dan puji-pujian’ yang berasal dari pesantren dan masjid yang ada di kampungnya.
Bakat dan minatnya pada dunia seni kemudian terbawa ketika di masa mudanya masuk ke kalangan perkumpulan seniman yang kala itu mangkal di kawasan Pasar Senen Jakarta. Di sanalah dia jadi kartunis yang kemudian membawanya menjadi salah satu pendiri koran legendaris ibu Kota: Pos Kota. Koran ini luar biasa karena sempat mempunyai tiras yang lebih dari 800 ribu eksemplar dalam setiap harinya. Bahkan terbesar di Indonesia.
Dari Pos Kota itulah jejak karier Harmoko moncer. Dia kemudian jadi Ketua PWI hingga kemudian mendapat tanggungjawab sebagai menteri penerangan. Tak tanggung-tanggung jabatan ini diembannya cukup lama, yakni mencapai dua periode. Ini tentu kalah jauh dengan masa jabatan menteri masa kini yang kebanyakan hanya selintas saja sehingga rakyat pun tak hapal nama serta sosoknya.
Ketika masa menjadi menteri penerangan itulah sosok ‘Mok’ mencapai puncak. Gaya komunikasi yang efektif –bahkan hingga mengadakan safari keliling selama Ramadhan ke seluruh pelosok Indonesia– membuat dia dikenal di mana-mana. Dan di sini peran dukungan Pak Harto jelas sangat besar. Pak Harto merestui dan malah menjadikan acara Safari Ramadhan Harmoko sebagai sarana mengecek kenyataan program pembangunan.
Bahkan, pada satu saat ketika Harmoko ditanya mengenai kebiasaanya memberi pengumuman rutin harga eceran bahan pokok rakyat di layar televisi, dia mengaku justru meski terkesan sepele itu sangatlah penting.
Berkat adanya pengumuman harga itu rakyat tahu berapa harga barang-barang tersebut sebenarnya di pasaran. Sehingga para tengkulak tak berani berbuat curang memainkan harga. Apalagi saat itu siapa pun yang berani memainkan harga-harga komoditi pangan maka akan ditangkap tentara. Tuduhannya sangat berat: melakukan makar!
Namun, di balik melambungnya nama itu, Harmoko juga pernah terantuk. Peristiwa ini terjadi pada sebuah ajang pertunjukan wayang kulit di Kota Solo dalam Festival Greget Dalang. Kala itu Harmoko yang juga pandai mendalang ketika melakukan ‘atawacana’ terkena keselo lidah. Dalam pertujukan wayang di bagian ini yang biasanya membicangkan soal kebiasan rakyat sehari-hari yang diperankan punakawan secara jenaka.
Nah, saat itulah lidah Harmoko terlipat. Mendadak dia tak hapal surat Alfatihah. Di ujung surat itu dia kepleset dengan mengatakan ‘dolan-dalen’. Sampai pertunjukan usai soal itu tak jadi masalah. Tapi ketika koran-koran memuatnya itu menjadi soal besar. Heboh.
Maka tentu saja Harmoko dikecam di mana-mana. Dan ini makin kencang karena kala itu mulai muncul perlawanan terhadap Orde Baru yang semakin kuat. Maka keseleonya lidah si-‘Mok’ ini menjadi bahan pembicaraan yang negatif di masyrakat. Umat Islam resah, banyak tokoh Islam diam-diam mengecamnya.
Hamoko selaku menteri penerangan jelas tahu soal ini. Dia mencari jalan keluar dan dia pun sudah melaporkannya kepada Pak Harto. Presiden paham dan dia diminta menyelesaikannya sendiri.
Uniknya, di samping melakukan lobby atas peristiwa keseleo lidah itu Harmoko menempuh laku spritual. Cerita ini didapat dari seorang penjaga di kawasan Studio TVRI di Senayan. Menurutnya, ketika soal itu merebak si-Mok ini selalu datang pada tengah malam untuk memintanya diantarkan ke sebuah ruangan yang ada di puncak menara televisi.
Uniknya, ketika sampai di atas sana Harmoko tidak berlaku aneh-aneh misalnya menabur kembang atau merapal mantera tak jelas (ini karena Harmoko kerap dituding publik sebagai penganut Kejawen). Harmoko ternyata ketika berada dipuncak menara TVRI itu menghadap kiblat untuk shalat sunah dua rakaat. Setelah itu dilanjutkan dengan berdoa seraya tetap menghadap kiblat.
Dan benar saja, setelah hingar-bingar kasus itu mereda, Harmoko kemudian diangkat menjadi Ketua Umum MPR/DPR. Jabatan ini dia dapat setelah sebagai Ketua Umum Golkar sukses memenangkan partai ‘pohon beringin’ ini dalam Pemilu 1997. Golkar menang mutlak karena dia dipilih rakyat hingga lebih dari 74 persen. Selain itu jabatan sebagai Ketua MPR/DPR juga didapat atas restu Pak Harto.
Dan kemudia peristiwa baru kembali timbul dalam perjalanan hidup si-‘Mok’. Dengan modal besar sebagai ketua umum MPR/DPR dan ketua partai pemenang pemilu, dia kembali mencalonkan Pak Harto yang saat itu sebenarnya sudah enggan menjadi presiden karena merasa TOP (Tua Ompong Perot). Dia berkali-kali menyatakan ingin ‘mandito’ menjadi begawan laksana semar saja seperti kisah dalam pewayangan yang juga sangat digemari Harmoko.
Namun Harmoko terus melaju. Dia beralasan Pak Harto belum saatnya mundur karena karena seluruh rakyat mendukungnya. Apalagi pada sisi lain kalau itu mulai muncul krisis keuangan dunia. Thailand dan kemudian Malaysia pun saat itu sudah mulai babak belur ekonominya.
Dan tak hanya Harmoko, para elit Orde Baru saat itu juga meminta agar Pak Harto menjabat sebagai presiden lagi. Bahkan ada yang mengingatkan dengan mengutip sikap satria dalam nasihat klasik Jawa: tan ninggalake glanggang colong playu. Satria itu tidak pernah meninggalkan gelanggang pertempuran dengan pengecut melarikan diri.
Suasana perang waktu itu dipadankan dengan krisis ekonomi. Pak Harto pun dalam pidatonya di sidang aripurna MPR menyebut sebagai badai. Frase ini berasal dari buah pemikiran Yusril Ihaza Mahendara yang kala itu sebagai salah seorang penulis pidato kenegaraan presiden.
Akhirnya setelah dipikir panjang Pak Harto bersedia kembali menjadi Presiden untuk masa jabatan yang ketujuh. Harmoko pun bergerak cepat melakukan konsolidasi.
Dan pada sisi lain, kala itu juga terlihat mulai merebaknya pagelaran wayang bertema menghadapi krisis ekonomi dan Semar. Lakon wayang Semar jadi begawan hingga lakon yag dimaksudkan semacam pengharapan dalam menghadapi krisis ekonomi seperti cerita ‘Rama Tambak’ ramai gencarkan.
Salah satunya adalah pagelaran yang dilakukan oleh Ki Manteb Sudarsono (baru berapa hari kemarin wafat,red) yang terkenal sebagai ‘dalang setan’ karena kemampuan sabetannya yang sangat luar biasa. Dia menampilkan lakon ini di Taman Mini Indonesia Indah. Sebutan kepada Ki Manteb inilah yang dahulu juga dikukuhkan oleh Harmoko ketika usai menonton pementasannya.
Namun, untung tak bisa diraup malang tak bisa ditolak. Akibat krisis ekonomi kemudian muncul rangkaian demonstrasi mahasiswa yang kemudian berujung pada munculnya kerusuhan massal yang berpuncak di tanggal 20 Mei 2020.
Bara api dan asap bentrokan muncul di mana-mana. Rumah Harmoko di Solo dibakar massa tanpa tersisa. Negara dalam posisi sangat gawat, bahkan disebut berada dalam proses Balkanisasi (perpecahan negara Yugoslavia yang berada di kawasan Balkan, Eropa Selatan).
Soeharto tiga hari kemudian akhirnya menyerah. Lengser. Ribuan mahasiswa pun sudah menduduki gedung di mana Harmoko sehari-hari berkantor. Pada masa itu Harmoko dengan gagah berani menyarankan agar Pak Harto mundur. Lagi-lagi tindakan ‘Moko’ itu kala itu dianggap sangat tak masuk akal atau kontroversial.
Apa alasannya? Ya karena ‘Moko’ itu orang Jawa yang kenal dunia wayang seperti Pak Harto. Dia tak mungkin berani berbuat ingkar dengan mengkhianatinya semua fasilitas yang selama ini diterima.
Tapi ternyata ‘Mok’ berani melakukannya. Pada sebuah wawancara beberapa waktu, lalu dia mengemukakan alasannya: bila dengan keputusan itu justru dia sangat menghormati Pak Harto. Apalagi keputusan itu bukan merupakan keputusan pribadinya. Namun diputuskan secara kolegial, yakni bersama semua pimpinan dan Ketua MPR/DPR.
Dan setelah reformasi, sama dengan nasib BJ Habibie, Harmoko juga tak bisa ketemu lagi dengan Pak Harto baik di kala masih hidup atau ketika tengah sakit. Keluarga Cendana seakan memasang pagar yang kasat mata kepadanya. Dan tampaknya Harmoko pun paham meski pasti dia merasa sakit sekali.
Setelah itu, sosok Harmoko pun menghilang. Sesekali tulisan dan karikaturnya masih muncul di Pos Kota. Topik bahasanya masih tetap saja enteng dan renyah membahas soal kehidupan rakyat sehari-hari.
Uniknya, bila dalam wayang Harmoko yang semula –dan memang– mengidolakan tokoh wayang Kresna, kini menjadi sosok punakawan. Kerjanya kembali berusaha menghibur rakyat dari keruwetan sehari-hari.
Dan kini, di kala Indonesia terjadi krisis ekonomi yang tak kalah dahysat (bahkan banyak disebut lebih dahsyat) dari krisis ekonomi di tahun 1997/1998, ‘Mok atau Harmoko berpulang ke alam keabadian. Semoga Allah mengampuni seluruh dosanya.
Dan sebagai orang Jawa yang sangat suka gambaran hidup seperti tercermin dalam kisah wayang Mahabarata, pasti dia tahu arti kesejatian hidup. Tidak ada orang yang sempurna. Yang ada adalah kesatuan antara hitam putih.
Semua orang punya kesalahan dan sekaligus jasa. Tapi apa pun itu Harmoko telah memberikan darma hidup terbaiknya. Penilaian akhirnya hanya menjadi hak Allah yang esa.(*)
Allahumaghfirlahu warhamhu…