Catatan : Ilham Bintang*
Mari sejenak kita mengheningkan cipta bagi 86.835 + jiwa saudara kita, para korban virus Covid 19 yang wafat. Itu angka total meninggal dunia selama pandemi berdasar data resmi harian Satgas Covid19 Selasa (27/7). Jumlah yang wafat hari itu saja 2069 jiwa. Rekor kematian baru Indonesia.
Sedangkan kasus positif baru sebesar 45.293. Mengalami kenaikan dibandingkan sehari sebelumnya.Total kasus positif selama pandemi di Tanah Air sebanyak 3.239.936 orang. Sedangkan yang sembuh 2.596. 820.
Sengaja saya menulis angka itu agar kita semua sungguh-sungguh memberi perhatian. Agar kita semua mentaati prokol kesehatan dan mentaati petunjuk kesalamatan dari pemerintah.
Jangan ada lagi pihak “mengecilkan” kematian itu dengan membandingkan dengan korban di negara lain, terutama di Amerika Serikat. Sikap itu lebih mengimpresikan tipisnya empati terhadap korban dan keluarga yang ditinggal.
Kenapa tidak mengambil sikap positif bangsa Amerika yang sering kita kutip sendiri — satu nyawa pun yang melayang negara adalah pertaruhannya — sebagai pembanding?
Dalam konteks itu kita sering kecil hati pada pernyataan sebagian pejabat yang malah menyalahkan rakyat. Rakyat dianggap pemicu meroketnya kembali penularan virus di Tanah Air.
Yaa ampun. Bagaimana bisa rakyat yang papa, tak berdaya, tak punya kuasa dimangsa virus harus dipikulkan kesalahan itu di pundaknya.
Benar. Yang tertangkap mata tampak di permukaan di setiap peristiwa kerumuman. Yang frontal berhadapan aparat di tempat- tempat – tempat penyekatan. Yang berhadapan dengan tindakan keras petugas karena bandel masih membuka warung, toko, lapak, padahal itu dilarang di masa PPKM Darurat maupun PPKM Level 4.
Kenapa kita gagal paham pada mengapa itu terjadi. Padahal, beragam kejadian cuma dilatarbelakangi satu hal. Mereka keluar rumah cari nafkah, karena di rumah keluarga perlu makan. Mereka kelaparan, mungkin juga sedang sakit tapi tak ada obat.
Rakyat yang terpaksa berjualan, buka toko karena pasti tidak tega melihat anak istrinya lemas kurang asupan nutrisi.
Kita mendukung langkah pemerintah membuat kebijakan lockdown atau apapun namanya. Intinya toh satu : membatasi kegiatannya.
Dalam bahasa UU, karantina wilayah. Secara hukum, dasar pemerintah berlakukan itu kuat. Pasal 14 Ayat 1) UU 6/2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan memang mengamanatkan ” dalam keadaan kedaruratan kesehatan masyarakat yang meresahkan dunia, pemerintah pusat dapat menetapkan Karantina Wilayah di Pintu Masuk”.
Adapun kewajiban pemerintah diatur dalam Pasal 55 Ayat 1) UU itu. ” Selama dalam karantina wilayah, kebutuhan hidup dasar orang dan makanan ternak yang berada di wilayah karantina menjadi tanggung jawab pemerintah pusat”.
Sudah berpuluh kali kita mengutarakan itu. Beri rakyat haknya supaya mau tinggal di rumah, mau bekerja dari rumah. Sejak tahun lalu, di awal – awal pandemi, ketika jumlah yang terpapar belum seberapa, sudah mengingatkan itu. Ibarat bocor di atap rumah masih keburu kita menambal sebelum turun hujan lebat.
Tapi apa respons pemerintah? Bikin sakit hati. Lihat saja jejak digitalnya. Boleh dibilang menteri-menteri sekabinet menyepelekan virus Covid19 itu. Termasuk Wakil Presiden RI KH Mar’uf Amin dan Presiden Jokowi sendiri. Setelah kita terluka oleh sikap tersebut sebagian pejabat — menteri menteri ekonomi dan politik — itu pula yang menjadi komando penanganan Covid19.
Suara JK
Sudahlah. Presiden Jokowi sudah mengumumkan pemerintah akan membantu masyarakat yang terdampak. Mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla usul kongrit. Supaya tidak lagi buang waktu dan energi banyak, pemerintah tidak usah bikin banyak ragam judul bantuan.
Nanti akan sulit pada waktu distribusinya. Cukup satu jenis bantuan saja tapi berfungsi mengcover semua kebutuhan rakyat. Nominalnya pun langsung dipatok JK. Rp. 1 juta / keluarga/ bulan. Anggap 30 juta yang terdampak.
Dengan bantuan Rp.1 juta selama 6 bulan total dibutuhkan anggaran 180 trilyun. Bagaimana dengan dananya? Muhammad Said Didu usulkan pembangunan Ibu Kota Baru, ditunda. Dananya alihkan untuk membiayai program bantuan sosial itu. Beres! kata mantan sekretaris Kementerian BUMM yang menjuluki dirinya ” Manusia Merdeka”
Hanya DKI
Begitu saja pun mungkin sulit merealisasikannya sekarang. Menyuruh rakyat tinggal di rumah malah berisiko berat manakala virus varian baru mengganas.
Menurut data, 40 persen rumah warga kita berukuran kurang dari 50m2. Kata lain hunian seperti itu berpotensi besar membuat satu anggota terdampak, serumah atau sekeluarga ikut tertular. Fenomena sekeluarga terpapar menjadi tren sebulan terakhir.
Pengeras suara dari masjid atau musalah di kampung- kampung mengkonfirmasi itu. Setiap waktu pengeras suara itu mengumumkan warga yang wafat.
Jumlah yang wafat hasil update harian Satgas Covid kita ragukan validitasnya mendata semua korban wafat. Data wafat resmi yang sudah melambung belum tentu mengcover kematian yang diumumkan melaluibpengeras suara di rumah – rumah ibadah tadi.
Apakah juga sudah mengcover kematian warga yang melakukan isolasi mandiri? Apakah mencatat kematian yang dikabarkan setiap hari di WAG -WAG komunal, di media sosial, dan japri – japri dari keluarga, kawan dekat, teman sekolah, teman pengajian yang wafat dalam masa isolasi mandiri? Kita khawatir data resmi itu hanya dipasok dari RS-RS.
“Khusus DKI saya jamin data kematiannya akurat, mengcover seluruh korban yang wafat di DKI, ” sahut Gubernur DKI Anies Baswedan yang dikontak Selasa (27/7) petang.
Menurut Anies, sejak awal pandemi, pemprov DKI care pada keterbukaan informasi publik. “Seluruh jajaran Pemprov DKI, sejak dari RT/RW wajib mencatat kematian warganya. Laporan kami valid, bersumber dari RT yang bertugas di lini terdepan, ” sambung Anies.
Bagaimana dengan provinsi lain? Marilah kita tengok Website : Laporcovid. Org. yang menampilkan data kematian Isolasi Mandiri dan di Luar RS Perprovinsi sejak bulan Juni 2021. Ternyata hanya Jakarta satu- satunya yang melaporkan kematian warganya seperti yang terlihat pada rekaman tiga hari lalu, tanggal 25 Juli.
Innalillahi Wainna Ilaihi Rojiun. Semoga seluruh almarhum dan almarhumah, yang merupakan saudara-saudara kita lebih terawat dan tentram di dalam pangkuan Ilahi Rabbi. Mendapat tempat lapang, nyaman, dan indah di sisiNya.(*)
—Penulis adalah wartawan senior*–