Catatan : Ilham Bintang*
Heboh baru di tengah pandemi Covid19 : Anggota DPRD Kota Tangerang mendapat seragam berbahan merek terkenal Louis Vuitton.
Di tengah kesulitan masyarakat akibat pandemi virus Covid19, wajar jika masyarakat ramai-ramai menggugat kekurangpekaan 50 para wakil rakyat di DPRD Kota Tangerang dari 10 parpol itu.
Di wilayah Kota Tangerang sendiri menurut data Dinas Kesehatan Kota itu per 5 Agustus tercatat total kasus Covid-19 mencapai 26.314 jiwa. Sembuh : 21.761 orang. Wafat :373 jiwa.
Kehidupan masyarakat sejak pandemi Covid19 yang merebak Maret tahun lalu, praktis sejak itu terjadi pembatasan mereka mencari nafkah. Kita belum mencatat berapa usaha yang tutup dan berapa pula warga yang kehilangan pekerjaan.
Biaya seragam Rp 675 juta
Merujuk situs resmi Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) Kota Tangerang, jumlah anggaran yang dialokasikan untuk pengadaan pakaian anggota dewan mencapai Rp 675 juta. Jumlah itu naik dua kali lipat dibandingkan biaya yang dialokasikan pada 2020 sebanyak Rp 312 juta.
Ketua DPRD Kota Tangerang Gatot Wibowo mengatakan tidak mengetahui teknis pengadaan bahan seragam itu. “Secara teknis saya tidak tahu. Kami hanya menerima barang (baju) sudah jadi dari penjahit,” kata Gatot kepada Tempo, Kamis (5/8) lalu.
Tahun 2021 ini, kata Gatot, seluruh anggota Dewan belum menerima seragam itu. Tahun sebelumnya anggota dewan hanya menerima barang jadi. “Penjahit biasanya hanya menanyakan warna, namun teknis pengadaan termasuk uangnya langsung ke penjahit tidak (-mampir) ke Dewan,” tambah Gatot.
Dengan anggaran Rp.675 juta itu sebanyak 50 anggota DPRD Kota Tangerang akan menerima lima stel pakaian. Masing -masing pakaian sipil lengkap satu stel, pakaian sipil resmi satu setel, pakaian sipil harian satu stel dan dua stel pakaian dinas harian.
Pengamat Kebijakan Publik Kota Tangerang Adib Miftahul mempertanyakan kebijakan itu. “Apakah anggota Dewan Kota Tangerang masih punya hati pakai baju itu?” kata Adib yang juga pengajar di sebuah universitas di Tangerang.
“Memakai seragam dengan bahan pakaian ratusan juta itu sama dengan menyakiti hati rakyat,” kata Adib seperti dikutip banyak media. “Jika hendak memicu stimulus ekonomi dengan anggaran bahan pakaian itu, Adib menyebutkan lebih baik anggaran itu dialihkan ke sektor yang lebih produktif, “ sambungnya.
Hedonisme
Sikap wakil rakyat itu ‘ hedon’ sekali meminjam ungkapan anak-anak milenia. Mereka sering menggunakan istilah itu menyindir golongan masyarakat the haves yang mempertontonkan kesenangan hidup mereka di depan masyarakat..Hedon dari hedonisme. Kata itu diambil dari Bahasa Yunani hēdonismos dari akar kata hēdonē, artinya “kesenangan”
Merujuk literatur, hedonisme merupakan ajaran atau pandangan bahwa kesenangan atau kenikmatan merupakan tujuan hidup manusia.
Hedonisme muncul pada awal sejarah filsafat sekitar tahun 433 SM yang menjawab apa yang menjadi hal terbaik bagi manusia. Diawali pertanyaan Sokrates tentang apa yang sebenarnya menjadi tujuan akhir manusia.
Lalu Aristippas Kyrene (433-355 SM) menjawab bahwa yang menjadi hal terbaik bagi manusia adalah kesenangan. Aristippas memaparkan bahwa manusia sejak masa kecilnya selalu mencari kesenangan dan bila tidak mencapainya, manusia itu akan mencari sesuatu yang lain lagi. Pandangan tentang ‘kesenangan’ (hedonisme) ini kemudian dilanjutkan seorang filsuf Yunani lain bernama Epikuros (341-270 SM)
Menurutnya, tindakan manusia yang mencari kesenangan adalah kodrat alamiah. Meskipun demikian, hedonisme Epikurean lebih luas karena tidak hanya mencakup kesenangan badani saja—seperti Kaum Aristippas — melainkan kesenangan rohani juga, seperti terbebasnya jiwa dari keresahan.
Kapitalisme kemudian mengakomodasi itu. Memproduksi simbol- silmbol sosial tingkat pecapaian hidup sesuai persepsi para hedonis. Rumah mewah, super car, privat jet, yach, nomer mobil khusus satu angka ditambah tiga huruf yang bebas di jalan yang beraturan genap ganjil. Serta berbagai jenis benda yang menopang gaya hidup konsumtif lainnya.
Di bidang fashion dunia, Louis Vuitton memang salah satu simbol keramatnya. Louis Vuitton adalah perusahaan barang mewah dan rumah mode asal Prancis yang didirikan pada tahun 1854.
Sebagaian masyarakat Indonesia pasti mengenal Louis Vuitton dengan banderol harga fantastis pada seluruh produknya.. Elvi, nama singkatannnya, menjadi simbol keanggunan yang berkelas bagi para pencinta dunia fashion.
Elvi KW
Saya pernah mengintip beberapa butik mereka di Paris dan di kota-kota dunia lainnya. Menyaksikan dengan mata kepala sendiri antrean mengular panjang di depan outletnya yang mewah nan wangi..
Pengunjung sanggup berdiri mengantre beberapa jam sebelum dipersilahkan masuk butiknya dan membeli model terbaru. Antreannya serupa pemandangan masyarakat yang sedang mengantre mengisi oksigen ketika kritis pandemi Convid19 meledak bulan lalu.
Saya sempat bertanya apa yang mendorong pengunjung sampai histeria mengantre sekian jam? Jawaban seorang pengunjung asal Indonesia, masuk akal.
Berapapun harganya di Paris, masih murah dibandingkan kalau belinya di Tanah Air. Keuntungan lainnya, GST (pajak) sebesar 12 % dikembalikan kepada pembeli yang merupakan turis asing.
Itu cukup menjelaskan mengapa terjadi histeria sewaktu mengantre dan euforia ketika barang itu lolos dari pemeriksaan bea cukai di Bandara setiba di Tanah Air. Bekasnya saja pun masih memiliki harga bagus, marak diperdagangkan orang.
Membandingkan patokan harga di butik -butik resminya saya dapat memastikan bahan seragam wakil rakyat Kota Tahggerang bukanlah Louis Vuitton original atau asli.
Harga Elvi tidak rasional untuk ukuran kantong kebanyakan masyarakat kita. Namun jumlah biaya pengadaan seragam Elvi buat anggota DPRD Kota Tangerang jelas lebih tidak rasional lagi jika dibandingkan dengan realitas harga produk Elvi.
Taruhlah nilai terbesar Rp 675 juta yang dikeluarkan oleh negara untuk 5 pasang seragam X 50 anggota DPRD Kota Tangerang. Itu berarti hanya sekitar Rp 2,7 juta/ seragam. Tidak ada barang seharga itu di butik Elvi di mana pun. Sekedar membeli gantungan kuncinya saja rasanya kurang.
Harga itu hanya cukup buat membeli bahan Elvi di toko bahan di Pasar Baru atau Mayestik. Plus ongkos jahit secara borongan. Mereknya Louis Viutton juga. Tapi produk tembakan atau terkenal dengan istilah “ KW” buatan China. Seluruh produk palsu merek dunia sudah lama beredar di berbagai belahan dunia. Termasuk di Tanah Air ramai diperdagangkan orang.
Sampai di sini sempurna lah kesedihan kita sebagai bangsa Indonesia. Wakil-wakil kita dengan bangga ikut memamerkan barang-barang tiruan tersebut.
Ikut bangga menjadi agen dan mempertontonkan gaya hidup eksibisionis kalangan berpunya. Menjadikan simbol-simbol barang mewah dan mahal itu sebagai ukuran tingkat pencapaian optimal yang mereka telah raih.
Louis Vuitton memang menjadi lambang kedudukan atau status sosial golongan masyarakat berpunya, yang umumnya sulit ditagih komitmennya untu peduli pada kesulitan orang sekeliling seperti saat ini. Sayang sekali, justru ditunjukkan oleh wakil rakyat kita. Sudah pamer, barangnya palsu pula: Louis Vuitton From Tangerang Banten.(*)
–Penulis adalah wartawan senior*–