SRAGEN, JOGLOSEMARNEWS.COM – Pemkab Sragen meminta Pemdes dan pewakaf tanah di Desa Pengkol, Kecamatan Tanon, Sragen untuk menghentikan rencana pembangunan makam di tanah wakaf dukuh setempat.
Rencana pembangunan makam tidak boleh dipaksakan lantaran ada penolakan dari warga sekitar terdekat.
Sebaliknya, Pemdes dan pewakaf diminta mengalihkan pemanfaatan tanah wakaf untuk sosial kemasyarakatan lainnya.
Hal itu disampaikan Sekretaris Daerah (Sekda) Sragen, Tatag Prabawanto, Sabtu (28/8/2021) menyikapi polemik pro kontra tanah wakaf di Desa Pengkol itu.
Kepada JOGLOSEMARNEWS.COM , ia mengatakan secara prinsip, pembangunan makam tidak boleh dilakukan ketika ada penolakan dari lingkungan.
“Kalau lingkungan menolak, ya nggak boleh dilanjutkan. Harus dihentikan,” paparnya.
Tatag menyampaikan secara tata ruang, lokasi tanah wakaf itu sebenarnya memang tidak ada masalah.
Akan tetapi ketika akan dibuat untuk makam, persetujuan warga dan lingkungan sekitar mutlak harus dipertimbangkan.
Jika memang warga lingkungan sekitar melakukan penolakan, maka Pemdes dan pewakaf tidak bisa memaksakan untuk dibuat makam.
“Lingkungan sekitar tetap harus dipertimbangkan. Kalau lingkungan tidak mau di situ buat makam, ya jangan dipaksakan,” tandasnya.
Terlebih dari sertifikat wakaf yang diterbitkan dinas terkait, tanah wakaf di Pengkol itu untuk sosial kemasyarakatan (Sosmas).
Menurutnya pemanfaatan untuk kepentingan sosmas itu bisa diwujudkan dengan dibangun masjid, Taman Pendidikan Alquran (TPA), madrasah atau fasilitas lain yang bisa difungsikan untuk sosial masyarakat setempat.
“Sekali lagi tidak boleh dipaksakan untuk makam. Kalau Pemdes mau bangun makam atau lokasi makamnya sudah mau habis, bisa cari lokasi lain,” tandasnya.
Terpisah, Kades Pengkol Haryono mengatakan saat ini persoalan itu masih dalam proses penyelesaian.
“Masih saya proses bersama aparatur di desa. Sambil menunggu Petunjuk dari Dinas terkait Mas. Ini masih koordinasi,” paparnya melalui pesan WA.
Sebelumnya, sejumlah kepala keluarga (KK) di Dukuh Pengkol RT 9, Desa Pengkol, Kecamatan Tanon, Sragen menolak keras rencana tanah wakaf di dekat mereka dijadikan untuk pemakaman.
Selain tak ada sosialisasi ke warga terdekat, kehadiran makam dinilai bakal berdampak buruk bagi lingkungan sekitar.
Aksi penolakan juga diungkapkan melalui beberapa tulisan di papan dan karung yang dibentangkan di lokasi tanah wakaf sejak Minggu (22/8/2022) pagi.
Tanah wakaf yang memicu polemik itu berlokasi di RT 9 dengan luas 769 m². Tanah pekarangan itu diwakafkan oleh Gimin, warga desa setempat.
“Logikanya siapa yang mau tinggal bersebelahan dengan makam. Makanya kami menolak tanah wakaf ini jadi makam. Karena di dekatnya banyak rumah. Kalau takut sih enggak, yang kami pikirkan hanya masa depan anak cucu kita. Ketenangan dan kenyamanan jadi terganggu. Pokoknya kami menolak,” papar Jumahir, warga RT 9 yang rumahnya bersebelahan persis dengan lokasi wakaf.
Mbah Tukimin (70) warga lain yang tinggal hanya beberapa meter dari lokasi tanah itu menyampaikan dirinya menolak karena takut jika rumahnya memangku makam.
Selain itu, ia khawatir kehadiran makam akan memberi dampak psikis yang sama bagi anak cucunya kelak.
“Sampai sekarang yang punya tanah wakaf sama sekali belum minta ijin atau memberi tahu warga terdekat kalau mau dijadikan makam. Kami sebagai warga terdekat keberatan karena akan terdampak sekali ke lingkungan. Terutama air resapan, tanah juga nggak akan laku dijual. Ada rasa cemas dan takut juga,” timpal Katno (37) warga RT 9 lainnya.
Masa Depan Suram
Ketua RT 9, Karmin yang tinggal berhadapan dengan tanah wakaf itu, membenarkan penolakan warga. Ia mencatat setidaknya ada 8 KK di sekeliling tanah itu yang menolak keras rencana menjadikan makam.
Alasannya sepengetahuan warga terdekat, sejak awal tanah wakaf itu diperuntukkan sosial kemasyarakatan dan tidak ada klausul untuk makam.
Kehadiran makam juga dinilai tidak etis karena berada di lingkungan
permukiman padat penduduk.
Lantas adanya makam dikhawatirkan akan mengganggu kenyamanan dan psikis warga terdekat.
“Kalau saya pribadi juga keberatan. Bukan masalah takutnya, tapi efek masa depan kami. Karena ke depan pasti tanah jadi nggak laku dijual. Contohnya sudah ada di dekat makam sebelah itu tanahnya pada nggak laku dijual. Lalu sumber air tanah pasti terdampak. Yang jelas masa depan akan suram lah kalau dekat makam. Makanya kami menolak keras, mau dijadikan apa nggak masalah asal bukan makam,” terangnya.
Ia juga menyayangkan sikap pewakaf yang seolah mengabaikan kondisi warga sekitar. Padahal warga sudah pernah beberapa kali mengajukan keberatan.
Menurutnya, sejak awal tidak pernah ada penyampaian dan warga radius terdekat tak pernah diundang.
Hal itu akhirnya memicu pro kontra sehingga membuat warga terdekat akhirnya jadi merenggang dengan warga radius agak jauh yang mendukung dijadikan makam.
Termasuk aktivitas pembangunan pagar yang nekat dimulai beberapa hari lalu, makin memicu ketegangan antar warga.
“Sempat ada pertemuan mengundang semua perwakilan RT 7,8,9,10,11, difasilitasi Ketua BPD, sudah ada kesepakatan colling down dulu sampai ada titik temu. Malah paginya dilanggar, beberapa pekerja masih nekat membangun. Katanya mau dipagari dulu, biar warga nggak takut. Lha mau dipagar setinggi langit pun kan faktanya kami tetap dekat makam. Apa nggak kasihan kami sudah ekonomi susah kayak gini mau ditambah beban masa depan suram. Makanya kami akan terus berjuang. Harapan kami ada solusi, jangan dijadikan makam. Demi ketenangan warga,” tandasnya. Wardoyo