YOGYAKARTA, JOGLOSEMARNEWS.COM – Bukan sekadar sepi dari konsumen, namun lebih parah lagi, banyak pengusaha rumah kost di wilayah DIY yang terpaksa menjual bangunannya demi dapat bertahan hidup di tengah pandemi Covid-19.
Tidak main-main, karena jumlahnya di wilayah DIY mencapai ribuan rumah kost, yang diobral di situs online jual beli property.
Terpantau di salah satu situs jual beli property itu ada beragam jenis rumah kos mulai dari harga ratusan juta hingga puluhan miliar.
Salah satu contoh telah ditawarkan rumah kos berada di Jalan Kaliurang Km 7 dengan dicantumkan keterangan ‘turun harga’ yang semula dibanderol Rp 5,8 miliar menjadi Rp 4,5 miliar.
Salah satu penjual kos dari Optima Property, Beny Aditya mengatakan jual beli kos di Yogyakarta bukan menjadi hal baru.
Dikatakan oleh Beny, setiap harinya ada sekitar 1.000 lebih bangunan kos yang diobral dengan harga bervariatif.
Salah satunya bangunan kos yang ditawarkan Beni berupa kos ekslusif berada di Condong Catur, Depok, Kabupaten Sleman.
Di situ tertera diskripsi bangunan di antaranya luas tanah 168 meter persegi, luas bangunan 219 meter persegi, dengan jumlah kamar ada 10.
Harga yang ditawarkan olehnya tertera sebesar Rp 2,2 miliar dengan konsep bangunan dua lantai.
“Kalau di Yogyakarta banyak kos dijual sudah dari dulu, karena Jogja ini kota wisata dan pelajar. Setiap tahun puluhan ribu orang masuk ke Jogja,” katanya, saat dihubungi Tribun Jogja, Senin (20/9/2021).
Bagi mereka yang melihat itu potensi bisnis, maka sudah pasti investor akan datang untuk berburu indekos sesuai yang diinginkan.
Selain pebisnis, para pencari property indekos juga ada pula dari kalangan keluarga kelas menengah keatas, yang kebetulan anaknya sedang menempuh studi di Jogja.
“Selain pebisnis, mereka juga biasanya punya anak kuliah di Jogja. Daripada bayar kost perbulan, tak belikan kos aja. Kalau anak sudah lulus dijual lagi. Itu ada yang kayak gitu,” terang Beny.
“Jadi fenomena ini sudah dari dulu sebelum pandemi. Cuma ketika pandemi ini yang tadinya gak niat dijual, kemudian ada kebutuhan mendesak akhirnya dijual,” imbuhnya.
Menurut Beny, saat-saat seperti ini merupakan waktu yang tepat untuk berinvestasi melalui pembelian indekos.
Pasalnya, harga yang ditawarkan oleh kebanyakan orang lebih rendah dari harga sebelum pandemi Covid-19.
“Adanya pandemi mereka akan berpikir, karena banyak yang jualan, orang cari akhirnya mereka jual dengan harga yang rasional,” jelasnya.
Kondisi itu memang sudah menjadi fakta karena berdasarkan penelusuan di situs jual beli property Lamudi.co.id ada 1310 unit rumah indekos yang di DIY, dengan mayoritas berada di Kabupaten Sleman.
“Itu ada 1.000 lebih yang ditawarkan. Jadi mereka bukan bangkrut, karena ada banyak hal,” jelas dia.
Kendati demikian, Beny membenarkan untuk rumah kos non eksklusif bisa jadi mengalami kesulitan.
“Karena kos yang warisan itu kan tidak dipromosikan. Hanya ditempeli terima kost, jadi arahnya bukan bisnis. Ada ya silakan, enggak pun gak apa-apa. Cuma kalau saat ini ya bisa jadi mereka terdampak pandemi,” terang dia.
Itu pun tidak semuanya, karena analisanya mengatakan beberapa orang tua dari mahasiswa membayar tempat kos ada yang enam bulan sekali bahkan sampai satu tahun.
“Jadi mahasiswa di jogja ada yang bulanan, ada yang enam bulan dan setahun bayar kostnya. Orangtua nggak mau ribet satu tahun. Dan yang bulanan kan tetap bayar bagi mereka yang menitipkan barangnya di kost,” terang dia.
Plt Kepala Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset (BPKA) DIY, Beny Suharsono, menanggapi banyaknya indekos yang dijual tentu sangat mempengaruhi pendapatan asli daerah (PAD) yang bersumber dari pajak atau retribusi usaha rumah indekos.
Namun, dia belum bisa memperkirakan berapa besar penurunan pajak yang bersumber dari persewaan rumah indekos tersebut, sebab secara administratif pajak rumah indekos masuk ke pemerintah Kabupaten/Kota.
“Jelas itu berdampak pada pengurangan pajak. Tapi saya belum tahu, karena pajak indekos masuknya di Kabupaten/Kota,” kata Beny saat dikonfirmasi Selasa (21/9/2021).
Dia menjelaskan, pendapatan daerah saat ini dikatakan oleh Beny bergantung pada trimester ke tiga tahun ini.
Dipastikan pendapatan dari sektor pajak dan retribusi masih tertinggal jauh dengan sektor ekspor barang rajutan dari DIY.
“Sekarang terus berusaha meningkatkan, kemarin paling tinggi ya dari ekspor rajutan, produk olahan makanan juga. Kami harapkan trimester ketiga nanti biasanya ada kejutan,” pungkasnya.