JAKARTA, JOGLOSEMARNEWS.COM – Kudeta yang terjadi di Guinea menjadi perhatian Peneliti Senior Populi Center, Usep S Ahyar.
Mengapa dan apa kaitannya dengan Indonesia? Terkait dengan hal itu, Usep justru mengingatkan agar pemerintah lebih memperhatikan efek yang ditimbulkan akibat wacana Amandemen UUD 1945 mengenai penambahan periode jabatan presiden.
Kasus yang terjadi di Guinea adalah sekadar contoh sebagai analogi. Seperti diketahui, kudeta yang terjadi di Guinea dilatarbelakangi oleh amandemen konstitusi pada 2020 yang memungkinkan presiden menjabat selama 3 periode.
Sementara di Indonesia, isu mengenai perubahan jabatan presiden menjadi 3 periode sedang menjadi perbincangan.
Meski wacana 3 periode masih sekadar kabar burung, namun Usep meminta pemerintah untuk mengantisipasi gejolak yang kemungkinan bisa terjadi.
“Walaupun isu jabatan presiden tiga periode itu belum menjadi keputusan formal, masih menjadi isu panas di antara elite politik, sebaiknya potensi-potensi gejolak politik itu harus tetap diantisipasi lebih dini,” kata Usep sebagaimana dikutip dari republika.co, Rabu (8/9/2021).
Menurut Usep, wacana jabatan presiden 3 periode cenderung mendapat tanggapan negatif di kalangan masyarakat.
Selama ini banyak masyarakat tidak setuju dengan masa jabatan presiden yang diubah menjadi 3 periode. Banyak yang menganggap tidak adanya urgensi yang mengharuskan keputusan 3 periode ini diambil.
Apabila wacana ini menjadi keputusan resmi, maka dapat menimbulkan gejolak di tengah rakyat.
“Jika masa jabatan tiga periode di Indonesia ini disetujui oleh para elite politik, mungkin juga berpotensi menimbulkan gejolak politik di tengah rakyat. Sampai hari ini sebagian rakyat tidak setuju dengan perpanjangan masa jabatan itu, karena rakyat juga masih belum melihat urgensinya,” ujar Usep.
Apa yang terjadi di Guinea memang belum tentu terjadi di Indonesia. Walau begitu, terdapat beberapa permasalahan yang sama-sama dihadapi oleh Guinea dan Indonesia. Kemiskinan dan korupsi adalah dua masalah yang sedang dihadapi kedua negara.
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), presentase jumlah penduduk miskin di Indonesia per Maret 2021 adalah 10,14 persen dari populasi. Artinya, masih ada 27,54 juta orang penduduk Indonesia yang termasuk golongan miskin.
Ditambah lagi permasalahan korupsi yang kian memburuk di mana skor Corruption Perception Index (CPI) Indonesia tahun 2020 mengalami penurunan. Dari skor 40/100 di tahun 2019 menjadi 37/100 di tahun 2020.
Usep berpesan kepada para elit politik untuk lebih berhati-hati dalam mengambil sikap dan keputusan. Pasalnya, kudeta yang terjadi di Guinea juga dilatarbelakangi oleh permasalahan kemiskinan dan korupsi.
“Salah satu pemicu kudeta di Guinea memang amendemen jabatan presiden tiga periode tetapi ada latarbelakang kondisi kemiskinan dan korupsi yang parah dalam periode jabatan ke-tiga itu,” ucap Usep. Grahita Narasetya