
KARANGANYAR, JOGLOSEMARNEWS.COM – Peternak ayam petelur di Kecamatan Jumantono, Karanganyar, Jateng menganggap anjloknya harga telur nasional yang terjadi pada setengah tahun terakhir ini adalah tragedi kehancuran peternak.
Hitung-hitung, kerugian yang ditanggung per kandang Rp 5 juta/bulan, sehingga untuk stabilitas produksi terpaksa mencari utang dengan agunan BPKB, sertifikat.
Tak pelak, karena terus merugi tapi disatu sisi menjaga kelangsungan pakan ayam, maka para peternak ayam petelur melakukan segala upaya.
Salah satunya dengan utang bank dengan jaminan sertifikat atau BPKB atau pragmatis menggadaikan dan menjual motor.
Nurtini (45) peternak ayam asal Desa Ngunut Jumantono, Karanganyar mengakui untuk satu musim panen telur atau sebulan dirinya harus nombok Rp 5 juta/bulan hanya khusus untuk biaya pakan ayam saja belum termasuk biaya operasional.
“Selama harga telur ambruk parah ini saya perbulan mau tidak mau sudah nombok Rp 5 juta per kandang maka terpaksa saya jual barang-barang untuk bisa membeli pakan ayam,” tandasnya kepada JOGLOSEMARNEWS.COM , Kamis (7/10/2021).
Nurtini menjelaskan, setiap satu kandang rata-rata berisi sebanyak 3.500 ayam, sedangkan dirinya memiliki empat kandang ayam sehingga potensi kerugian per bulan nencapai Rp 20 juta.
“Selama ambruknya harga telur ini tidak segera ada penyelesaian maka peternak ayam petelur pasti menjerit karena merugi terus menerus,” ungkapnya.
Sementara itu Ketua Kelompok Ternak Ayam Margo Seneng Desa Sedayu, Jumantono Budi Waluyo (48) mengatakan selama setengah tahun terakhir merupakan sejarah terpuruknya harga telur di Indonesia.
Bahkan keterpurukan itu sudah tidak rasional lagi antara biaya produksi dengan Harga Penjualan Produksi HPP sangat timpang.
“Sebenarnya tidak ada pilihan lagi bagi peternak ayam petelur karena HPP tidak sesuai, sehingga untuk membeli pakan ayam saja sudah tidak sanggup dan akhirnya menjual barang atau mencari utang dengan jaminan BPKB dan sertifikat demi kelangsungan pakan ayam,” ungkapnya.
Terpisah, Joko Gedong (40) peternak mengatakan istilah ayam makannya kertas yakni BPKB, sertifikat memang benar nyata terjadi karena anjloknya harga telur sulit dibangkitkan lagi kecuali pemerintah mau bertindak nyata.
Pasalnya, HPP secara nasional harga telur itu minimal Rp 19.500/Kg namun fakta di lapangan, peternak hanya bisa menjual dilevel Rp 14.000/Kg – Rp 16.000/Kg itu pun sudah merugi banyak.
“Makanya ini lelakon ayam makan sertifikat dan BPKB serta ayam makan Kredit Usaha Rakyat (KUR). Persoalannya seberapa lama dana utangan itu bisa menjaga stabilitas kelangsungannya karena ayam itu setiap hari butuh makan sedangkan telur sebagai produknya dijual merugi,” ujarnya.
Menurut Joko, beberapa waktu lalu Dinas Peternakan Provinsi Jateng juga berkunjung ke Karanganyar bertemu dengan hampir 500 orang peternak ayam petelur di Karanganyar, namun hingga sekarang belum ditemukan solusinya.
Menurut Joko, situasi anjloknya harga telur terus akan terjadi hingga tahun mendatang karena banyak faktor pertama banyaknya mafia spekulan yang bisa menjatuhkan harga kapanpun.
Kedua lemahnya keberpihakan pemerintah kepada peternak telur dan tidak ada nyali pemerintah memberantas mafia perdagangan telur.
Sebagai informasi di Soloraya terdapat sekitar 3,5 juta produksi ayam petelur yakni tersebar di Karanganyar, Sukoharjo, Sragen dan Boyolali.
Adapun khusus di Karanganyar, terdapat sekitar 500 orang peternak ayam dengan populasi sekitar 400.000 ekor ayam petelur. Beni Indra
Harap bersabar jika Anda menemukan iklan di laman ini. Iklan adalah sumber pendapatan utama kami untuk tetap dapat menyajikan berita berkualitas secara gratis.














