Beranda Umum Nasional Aksi Desak Penutupan Toba Pulp Lestari, Masyarakat Adat Tano Malah Ditangkap Polisi

Aksi Desak Penutupan Toba Pulp Lestari, Masyarakat Adat Tano Malah Ditangkap Polisi

Aksi unjuk rasa memprotes PT TPL. Foto : dok

 

JAKARTA, JOGLOSEMARNEWS.COM ­Sebanyak 21 orang dari masyarakat adat Tano Batak ditangkapi oleh polisi saat menggelar aksi unjuk rasa damai mendesak penutupan aktifitas perusahaan PT Toba Pulp (TPL).

Mereka tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil dengan menamakan kelompok aksi Aliansi GERAK Tutup TPL (PT Toba Pulp Lestari). Aksi digelar di Halaman Kantor Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Jumat (26/11/2021).

Massa bermaksud meminta dialog dengan Menteri LHK Siti Nurbaya Abubakar soal PT Toba Pulp Lestari. Namun bukannya dikabulkan permintaannya, para peserta aksi damai itu justru malah ditangkapi polisi.

“Bukannya dialog dan penyelesaian yang didapat, melainkan Masyarakat Adat Tano Batak malah mendapatkan perlakuan represif dari aparat kepolisian, yang berujung pada penangkapan masyarakat adat,” kata salah satu anggota Koalisi, Rukka Simbolangi dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), dalam keterangan tertulis.

Aksi damai itu awalnya menyerukan aspirasi perihal tuntutan penyelesaian konflik agraria melalui pencabutan izin PT Toba Pulp Lestari (TPL) dan pengembalian wilayah adat Tano Batak.

Aliansi menyebut sudah 30 tahun wilayah adat dirampas Toba Pulp. Massa datang untuk menagih janji Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Menteri LHK yang pada Agustus lalu akan menyelesaikan konflik agraria struktural masyarakat adat dengan Toba Pulp.

Baca Juga :  Soal Tambang Ormas, Yenny Wahid Sebut Ada Menteri Ngotot dan Beraroma Partisan  

Rukka mengatakan salah satu peserta aksi yang ditangkap adalah Maruli Simanjuntak. Bahkan Maruli dipukuli oleh aparat kepolisian ketika hendak dimasukkan ke dalam mobil polisi.

Masyarakat Adat Tano Batak datang dari kawasan Danau Toba, termasuk para ibu dan orang-orang tua dari perwakilan masyarakat adat. Mereka juga mengalami kekerasan dari aparat kepolisian.

“Tindakan aparat kepolisian tersebut merupakan gambaran pemerintah yang sangat represif dan anti kritik terhadap aspirasi keadilan yang disuarakan masyarakat,” kata Rukka.

Aliansi Gerakan Rakyat Tutup TPL yang terdiri dari AMAN, Konsorsium Pembaruan Agraria, Kelompok Studi Pengembangan dan Prakarsa Masyarakat, WALHI, dan Greenpeace, mengutuk keras langkah represif dari polisi.

Mereka pun menuntut tiga hal dari pemerintah. Pertama, membebaskan 21 orang Masyarakat Adat Tano Batak yang ditahan paksa oleh kepolisian. Kedua, mereka juga menuntut pemerintah untuk memberikan pengakuan penuh dan perlindungan hak atas tanah Masyarakat Adat Tano Batak. Ketiga, mereka meminta pemerintah mencabut izin PT Toba Pulp Lestari yang telah merampas wilayah adat Tano Batak.

Baca Juga :  Bupati Tapteng Siap Cabut IUP Sawit yang Picu Banjir dan Longsor

PT TPL sendiri pernah ditutup tahun 1999 pada masa pemerintahan Presiden Habibie. Keberadaannya sejak 35 tahun lalu, sama saja dan dinilai tidak ada perubahan. Tetap saja ada konflik, masih ada pencemaran lingkungan hidup, dan perampasan hak tanah masyarakat oleh negara.

PT TPL juga tidak memberi PDRB (Produk Domestik Regional Bruto) yang membaik. Kontribusi kepada negara dan masyarakat sangat kecil, hutang pajak triliunan, sementara dampak terhadap lingkungan hidup, dan konflik sosial-ekonomi tinggi. (Prabowo)

Harap bersabar jika Anda menemukan iklan di laman ini. Iklan adalah sumber pendapatan utama kami untuk tetap dapat menyajikan berita berkualitas secara gratis.